Armada Hitam, Kala Para Pekerja Memboikot Kapal Belanda

12 hours ago 18

tirto.id - Oktober 1945, seribu lebih orang Indonesia yang hendak penumpang kapal Esperance Bay memadati pelabuhan Sydney. Para sahabat dan kekasih yang mengantar menambah sesak dermaga. Sebelum berpisah, orang-orang saling berpelukan dan mengucapkan selamat tinggal.

Kapal ini dianggap sebagai armada laut pertama yang kembali menautkan komunikasi antara Indonesia dan Australia. Menukil Muhammad Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan (2011), Esperance Bay merupakan kapal penumpang milik Inggris. Kapal itu memboyong 1.400 pelaut Indonesia ke Tanah Air setelah bertahun-tahun tak berkesempatan pulang dari Australia.

Sebelum kapal menarik jangkar, ribuan pelaut Indonesia itu sekonyong-konyong menggemakan warta gembira. Mereka berkumpul, membikin mimbar dadakan.

Di antara kerumunan manusia, ikut serta sejumlah perwakilan Gerakan Serikat Buruh Australia. Kehadirannya untuk memastikan jaminan keselamatan para pelaut Indonesia. Mereka dijanjikan turun di Jawa, di pelabuhan-pelabuhan yang tak dikuasai Belanda. Dengan begitu, diharapkan tak ada serangan dadakan atau potensi bahaya aparat kolonial yang membokong para penumpang.

Salah satu perwakilan itu bernama E.V. Elliot. Di atas mimbar, ia mengawali gema warta gembira.

"As Federal Secretary of the Seamen Union, on behalf of the Trade Union Movement of Australia, I present to you this flag. Take it with you to your young Republic, as a symbol of the support of the Australian workers in your fight for independence," kata Elliot sebagaimana direkam oleh Joris Ivens dalam film dokumenter Indonesia Calling (1946).

Di samping Elliot, seorang pemuda berperawakan Indonesia, tersenyum lepas setelah menerima bendera darinya. Giliran ia berbicara.

"Friends, in the name of the Indonesian Republic, I thank you for this flag. We will never forget the great help of Australian labor, has given us in a vital first day of our Republic when we need that help. And may Australia and Indonesia be united forever!"

Tetiba di tengah kerumunan, seorang menyeru, “Indonesia merdeka!”

Sontak, seruan dibalas pekik kemenangan bertalu-talu.

Hip hip, hore!

Hip hip, hore!

Hip hip, hore!

Hari itu, Esperance Bay sukses berlayar dari Australia ke Indonesia. Namun, kisah tak mandek di sini. Kesuksesan ini merupakan buah boikot dan pemogokan yang kira-kira berlangsung sebulan sebelumnya.

Kegembiraan Pekerja Indonesia dan Australia

Menurut Margaret George dalam Australia and the Indonesian Revolution (1980), hubungan sosial antara rakyat Australia dengan pendatang Indonesia berlangsung akrab. Mereka telah saling mengenal bertahun-tahun. Bukan sekadar ikatan antarkolega atau pekerja, tetapi lebih dari teman dan sesama warga kota.

Istri-istri pekerja Indonesia begitu giat mempelajari sayuran lokal. Mereka telah mampu beradaptasi dengan masakan khas Australia. Sementara anak-anak sanggup bergaul dengan sebayanya, memakai bahasa sehari-hari. Tiada perbedaan mencolok lagi. Rakyat Australia menilai para pekerja Indonesia sebagai barisan pejuang yang gigih.

Saat Sekutu berhasil membuat Jepang bertekuk lutut pada 14 Agustus 1945, rakyat Australia merayakan kemenangan mereka di jalanan Martin Place yang ikonik. Dalam perayaan itu, beberapa musisi Indonesia ikut mendendangkan musik khasnya. Lalu para penonton berduyun menyumbang saweran hingga beberapa ribu pounds. Di Australia, lagu-lagu daerah Indonesia cukup diminati, sekalipun mereka tak mengerti maksud liriknya.

Keesokan harinya, pesta-pesta jalanan semakin meriah. Terlebih ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di telinga mereka yang tinggal di Australia. Warta menggembirakan itu disiarkan lewat radio.

Merayakan kemerdekaan, tarian dan bebunyian digelar. Tidak hanya para perantau, tetapi hampir seluruh warga kota Sydney khidmat menyaksikan. Dari kesaksian salah seorang Indonesia, tarian yang mereka pentaskan telah berusia 1.500 tahun lamanya. Jauh sebelum Portugis dan Belanda tiba untuk menjarah kekayaan pulau-pulau di Indonesia.

Meski malam hanyut makin jauh dalam sorak-sorai gembira ria, keesokan paginya 18 Agustus 1945, orang-orang Indonesia kembali memadati jalan. Hersri dalam artikel berjudul “The exemplary life of Joris Ivens (1898-1989)” yang dimuat buletin Inside Indonesia (No. 22 March 1990) menulis, di hari itu, sumpah tumpah darah digemakan. Orang-orang Indonesia menyatakan kebebasan hidup mereka. Tidak hanya berujung kata-kata, tetapi juga berlanjut dengan aksi nyata.

TukliwonSekretaris Federal Buruh Pelaut Austrailia EV Elliot (kedua dari kiri) menyerahkan bendera republik Indonesia kepada Tukliwon (ketiga dari kiri). FOTO/Istimewa

Boikot dan Pemogokan

Menurut Martin O’Hare dan Anthony Reid dalam Australia dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (1995), pada September 1945, E.V. Elliot mendorong pentolan pelaut Indonesia bernama Tukliwon untuk melakukan boikot. Ia mengatur boikot terhadap 25 kapal Belanda di Australia yang mengangkut barang-barang mereka ke Indonesia.

Dukungan diteruskan sampai ke Waterside Workers Federation di Sydney, yang menghimpun sebagian besar pelaut Australia. Sehubungan dengan itu, agitasi dan propaganda boikot dan pemogokan makin gencar.

Pelaut Indonesia sadar bahwa tongkang, kapal curah, dan kontainer Belanda berisi muatan untuk mendukung perang mereka di Indonesia. Kapal-kapal itu ditunggangi ribuan tentara. Mereka jelas membawa senjata.

Melihat dorongan dan fakta tersebut, nasionalisme pelaut Indonesia terpanggil. Mereka tak mungkin bekerja untuk kepentingan kolonialisme.

Kesepakatan sudah bulat. Serikat pekerja laut Indonesia tak akan mengoperasikan kapal-kapal Belanda. Mereka tak mau memobilisasi senjata untuk mencabut nyawa saudara sendiri di Tanah Air.

Aksi boikot dan pemogokan itu dikenal sebagai Black Armada, salah satu boikot maritim terbesar sepanjang sejarah.

Ribuan pekerja serentak meninggalkan kapal-kapal. Deru mesin kapal di dermaga tak lagi berbunyi, dan kantor-kantor mendadak kosong. Bahkan beberapa tentara yang bersimpati terhadap aksi itu menolak bertugas.

Butuh keberanian dan nyali tinggi melakukan serangan langsung kepada musuh di tanah asing. Tetapi gerakan Black Armada betul-betul luar biasa.

Para pekerja yang mogok membentuk perkumpulan dadakan di dermaga. Mereka saling mengobral ramu satu sama lain. Bertukar pikir soal penjajahan, kondisi buruk, upah rendah, dan arti dari penjajahan Belanda selama ratusan tahun bagi rakyat Indonesia.

Demi menguatkan dukungan terhadap boikot dan pemogokan itu, para buruh melakukan arak-arakan untuk menyiarkan makna dan tujuan aksi. Rupert Lockwood dalam Black Armada (1975) menyatakan, beberapa mobil dan long march dipenuhi kumandang semangat kemerdekaan Indonesia. Semangat itu dinilai sesuai dengan komitmen Atlantic Charter 27 September 1945. Salah satu isinya menyatakan kebebasan dan kemandirian mendeklarasikan kemerdekaan.

Tidak hanya para pelaut, aksi boikot dan mogok juga diwarnai protes beragam dari berbagai pekerja Australia. Tukang cat kapal berhenti bekerja. Bagi mereka, kapal-kapal Belanda terlampau “hitam” untuk mereka lapisi dengan cat lagi. Perusahaan pelayaran Clarks menutup telepon niaga Belanda.

Para pekerja dari setiap negara di Australia mendukung penuh aksi boikot dan pemogokan Black Armada. Di pelabuhan Sydney, seluruh serikat pekerja di Australia berkumpul. Pembuat kapal, tukang ledeng, buruh tambang batu bara, pedagang, pemadam kebakaran, buruh bongkar muat barang, pegawai percetakan, belum lagi pandai besi dan pegawai kelistrikan. Mereka bermain kartu, berkumpul. Tetapi senantiasa mengawasi agar tidak ada satu pun kapal Belanda yang berhasil berlayar.

Boikot dan pemogokan juga diikuti aksi ekspresionis. Film dokumenter Indonesian Calling merekam vandalisme para pekerja pelabuhan. Tembok dan trotoar jalan jadi medium ekspresi, penuh corat-coret kritikan.

1938 NO SCRAP FOR THE JAPS

1945 NO ARMS FOR THE DUTCH

Di Brisbane, Melbourne, Adelaide, Sydney, dan pelabuhan Australia lainnya menyajikan pemandangan mengharukan. Semenanjung dan tepian pantai penuh dengan tambatan kapal-kapal Belanda yang megah. Tetapi yang sebetulnya terlihat hanyalah besi-besi mengapung yang lumpuh tanpa daya.

Sekonyong-konyong para pekerja laut memergoki kapal Mercy di dermaga Melbourne membawa senjata tommy-gun dan amunisi. Padahal daftar muatan kapal ini hanya tertulis makanan dan obat-obatan.

Anasir Belanda yang bertanggung jawab berkilah ia tak tahu soal penyelundupan senjata dan amunisi ke dalam muatan Mercy. Namun segera fakta itu terjawab setelah temuan dan investagasi dikonfirmasi Perdana Menteri Australia, Chifley. Sebagaimana surat kabar Daily Mirror 28 September 1945 mengabarkan.

Mereka akhirnya tak dapat menyangkal lagi.

Peristiwa Black ArmadaPeristiwa Black Armada. FOTO/Wikipedia

Sementara itu, 1.600 tentara Belanda yang gagal dikirim ke Jawa terpaku lesu. Mereka berjejer di geladak Sterling Castle, dibiarkan termangu.

Salah seorang penambang dari Australia berbicara menghadap ribuan tentara Belanda, diikuti di belakangnya seorang mengatasnamakan serikat pekerja Belanda, turut menegaskan pernyataan dukungan kemerdekaan Indonesia.

Australian support to free Indonesia!

Balasan sinis dilontarkan para tentara Belanda.

"Huuu... huuu... huuu..."

Mereka tak sanggup mendengar kenyataan yang menampar-nampar.

Aksi Black Armada juga mendapat dukungan dari para pemimpin dunia. Di antaranya Pandit Nehru dan Jinnah dari India, Manuilsky dan Vyshinsky dari Uni Soviet, serta Presiden Romulo dari Filipina. Mereka memprotes represi bersenjata untuk mengancam rakyat Indonesia.

Selanjutnya Sekretaris Jenderal Waterside Workers Federation, Jim Haley mengemukakan bahwa Atlantic Charter telah disepakati oleh Inggris dan Amerika Serikat, juga disetujui Uni Soviet. Selama itu, seluruh barisan di Pasifik harus mendukung dan melakukan segala daya upaya memerangi imperialisme Belanda di Indonesia.

Black Armada sukses besar dan mendapat sambutan meriah dari segala penjuru di dunia. Selama masa boikot dan pemogokan, kapal-kapal Belanda di pelabuhan Australia tak pernah beranjak dari dermaga. Tetapi kapal Republik Indonesia, yang masih berusia muda dapat terus berlayar dan menggemakan loncengnya.


tirto.id - News

Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |