Saat 58 Persen Pemilih Pilkada Bali Anggap Politik Uang Wajar

13 hours ago 8

tirto.id - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah usai dengan ditetapkannya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk masing-masing daerah. Namun, proses panjang tarung politik tersebut perlu dicermati lebih lanjut untuk mendapatkan pelajaran bagi helat serupa di tahun-tahun mendatang, terutama dari segi perilaku pemilih.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali menggandeng Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Udayana (LPPM Unud) untuk menggelar survei bertajuk “Perilaku Memilih Masyarakat dalam Pilkada Bali 2024”. Metode survei menggunakan teknik multistage random sampling atau proses pengambilan sampel yang dilakukan melalui dua atau lebih tahap pengambilan sampel. Kerangka sampel (sampling frame) yang digunakan adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pilkada Bali 2024.

Peneliti lantas menggunakan 800 orang yang tersebar di 8 kabupaten dan 1 kota di Provinsi Bali dengan Margin of Error (MoE) ditetapkan 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka dengan butir-butir pertanyaan mengenai potret pola pemilih dalam menentukan pilihan, ditambah faktor-faktor yang memengaruhi keputusan mereka saat Pilkada dilangsungkan.

Hasilnya dapat dikatakan penuh dengan kejutan. Peran sosialisasi penyelenggara menempati urutan pertama dari alasan seseorang menggunakan hak pilih pada Pilkada Bali 2024, yakni sebesar 42,4 persen responden. Hal tersebut disusul dengan ketakutan hak pilih dimanfaatkan untuk hal yang tidak benar sebesar 17,1 persen, lalu diingatkan oleh orang-orang sekitar bahwa harus menggunakan hak pilih sebesar 14,2 persen.

grafik prevalensi politik uang Lampiran grafik prevalensi politik uang dalam Pilkada Bali 2024. Sumber grafik: LPPM Universitas Udayana, dipaparkan Jumat (14/03/2025).

Gencarnya sosialisasi tidak hanya dilakukan oleh KPU Provinsi Bali, tetapi juga menyentuh akar rumput dengan mengoptimalkan KPU Kabupaten, KPU Kota, badan adhoc, hingga instansi lainnya yang terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada. Upaya yang digunakan meliputi pertemuan tatap muka, kegiatan yang melibatkan komunitas, hingga pemanfaatan media sosial untuk komunikasi massa (mass communication).

Namun, sebanyak 58 persen pemilih dalam Pilkada Bali 2024 rupanya mewajarkan politik uang (money politics), sehingga kontradiktif terhadap sosialisasi penyelenggara untuk menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan tidak menoleransi politik uang. Lebih lanjut, sebanyak 52,8 persen responden memilih untuk menerima uang dari kandidat atau tim sukses (timses) kandidat, tetapi tetap memilih sesuai hati nurani. Ditambah sebanyak 15,1 persen lainnya menerima uang dan memilih kandidat yang memberi uang.

Tingginya angka pemilih yang permisif terhadap politik uang menjadi tanda tanya besar bagi penyelenggara Pilkada, sebab hal tersebut dapat membangkitkan stigma negatif terhadap jalannya Pilkada di Pulau Dewata.

Memotret Wajarnya Politik Uang di Mata Masyarakat

Ketua Tim Peneliti LPPM Unud, Kadek Dwita Apriani, dalam pemaparannya menyebutkan bahwa terdapat salah satu cara untuk mengukur toleransi masyarakat terhadap politik uang. Cara tersebut dengan bertanya kepada masyarakat mengenai tindakan yang akan mereka lakukan saat suatu kandidat atau tim suksesnya memberikan uang saat masa Pilkada berlangsung. Ternyata, sebanyak 58 persen di antaranya menganggap hal tersebut wajar, jauh dari prevalensi politik uang di tingkat nasional pada 2019.

“Kita melihat alarm bahwa masyarakat semakin permisif terhadap politik uang melalui serangkaian pemilihan yang sudah mereka lalui sampai hari ini,” kata Dwita sewaktu diwawancarai media, Jumat (14/03/2025).

Lebih lanjut, dari hasil risetnya, terungkap sejumlah bentuk pemberian yang paling masyarakat sukai dari calon kepala daerah. Posisi pertama ditempati oleh uang tunai sebesar 35,8 persen, diikuti oleh sembako sebesar 26,6 persen, sumbangan perbaikan tempat ibadah sebesar 17,9 persen, sumbangan upacara adat sebesar 8,4 persen, dan safari kesehatan gratis sebesar 8,1 persen.

Pemberian berupa sumbangan terhadap perbaikan tempat ibadah dan upacara adat dikategorisasikan sebagai variasi dari money politics, yaitu pengadaan club goods atau bantuan terhadap pengadaan barang publik. Dwita meyakini, angka masyarakat yang memilih club goods mengalami peningkatan dibandingkan Pilkada periode sebelumnya.

“Di Pilkada sebelumnya, angka yang memilih bantuan pembangunan tempat ibadah ini, angkanya itu di bawah. Enggak besar,” terangnya.

Bagi Dwita, persentase masyarakat yang permisif terhadap politik uang tersebut cukup mengkhawatirkan, sebab dapat menjadi persoalan bagi masyarakat dan masa depan demokrasi apabila terus dibiarkan.

Pihaknya juga melihat anomali dalam persepsi masyarakat Bali yang menyatakan politik di Pulau Dewata masuk kategori demokratis, padahal terjadi normalisasi terhadap politik uang. Secara rinci, terdapat 80,3 persen responden yang menyatakan Pilkada Bali 2024 sudah berjalan dengan demokratis, sementara 17,8 persen responden menyatakan sangat demokratis.

“Indikator demokratis dari masyarakat itu yang perlu dipertanyakan. Dengan angka politik uang itu, apakah pragmatisme seperti itu yang disebut demokratis? Ini yang kemudian jadi berbahaya,” ungkap Dwita.

Namun, Dwita menambahkan, permisifnya masyarakat terhadap politik uang tidak dapat dikatakan sebagai indikator kegagalan sosialisasi penyelenggara Pilkada di Bali. Terdapat banyak indikator yang harus ditelaah dalam menyatakan kegagalan atau keberhasilan dari pihak penyelenggara.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati (Unmas) Denpasar, I Ketut Sukewati Lanang Putra Perbawa, mengatakan bahwa wajarnya politik uang di mata masyarakat menjadi catatan penting bagi pemangku kepentingan kepemiluan. Masalah politik uang melibatkan setidaknya tiga komponen, yaitu dari segi peraturan atau regulasi, law enforcement atau penegakan hukum, dan budaya hukum masyarakat.

“Kalau masyarakat yang menerima senang, yang memberikan juga senang, tanpa diberikan sanksi, ini akan sulit. Secara filosofis, ini tidak boleh. Namun, kita bicara sosiologis, bagaimana caranya mau menyelesaikan kalau begini polanya?” ucap Lanang ketika ditemui usai diseminasi, Jumat (14/03/2025).

Kadek Dwita AprianiKetua LPPM Unud, Kadek Dwita Apriani, ketika diwawancarai media seusai diseminasi kajian publik di Gedung KPU Provinsi Bali, Jumat (14/03/2025). tirto.id/Sandra Gisela

Namun, Lanang menilai regulasi politik uang yang ada saat ini masih abu-abu mengenai peserta Pemilu yang merupakan petahana atau memiliki relasi dengan petahana. Terdapat celah yang menjadi ruang bagi praktik-praktik politik uang yang dibalut dengan kedok realisasi program pemerintah, misalnya bantuan sosial.

“Sehingga perlu jeda waktu. Kapan saatnya tidak boleh memberikan sesuatu? Karena kalau tidak ada, namanya jurus politik semuanya harus dimanfaatkan,” katanya.

Kelemahan regulasi politik uang yang tampak dianggap telah mencoreng aspek fairness (keadilan) dalam Pemilu. Lanang menilai, fairness tidak akan tercapai apabila terdapat salah satu kandidat yang diuntungkan dengan posisinya, entah itu sebagai petahana atau seseorang yang mempunyai relasi biologis atau politis dengan petahana.

“Pemilu yang bagus adalah predictable process, unpredictable result (proses yang terprediksi, hasil yang tidak terprediksi). Bukan predictable process, predictable result (sudah tahu siapa pemenangnya). Semua kapasitas, semua kekuatan power politik pemerintahan mendukung salah satu calon. Itu tidak baik namanya,” jelas Lanang.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, menyatakan kondisi masyarakat yang masih menoleransi politik uang dipengaruhi oleh beberapa dimensi, yakni pendidikan politik, integritas peserta Pilkada, dan integritas pemilih. Namun, dalam konteks kontestasi Pilkada, aktor sentral dari politik uang adalah peserta Pilkada beserta tim kampanyenya.

“Kalau peserta Pilkada berkomitmen tidak akan memberikan uang, tidak akan melakukan money politics, tidak akan ada yang diterima oleh masyarakat. Persoalannya selalu saja, jika sudah ada calon peserta Pilkada yang berkomitmen tidak melakukan politik uang, ada calon lain yang melakukan itu. Hal tersebut membuat mereka menjadi insecure, merasa tidak percaya diri,” terang Fadli kepada Tirto, Senin (17/03/2025).

Menurut Fadli, nilai (value) dari demokrasi dan nilai dari demokrasi yang berintegritas belum tersampaikan kepada masyarakat. Esensi dari demokrasi elektoral sejatinya adalah relasi antara pemilih dan kandidat berjalan dalam satu siklus periodisasi masa jabatan atau relasi programatik dan dialogis.

“Tidak boleh pemilih mau menerima uang untuk memberi pilihan. Pemilih tidak boleh dipengaruhi kemurnian hak pilihnya hanya karena uang. Karena ketika mereka menerima uang, transaksi antara pemilih dan calon peserta pemilu itu selesai. Itu yang seharusnya dijelaskan kepada pemilih dan memang tidak mudah untuk mengubah paradigma pemilih, mengubah tabiat peserta Pilkada. Itu yang menjadi tantangan terbesar demokrasi kita hari ini,” jelasnya.

Evaluasi Bagi Penyelenggara Pemilu

Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Bali, I Gede John Darmawan, mengaku terkejut dengan temuan oleh LPPM Unud mengenai permisifnya pemilih terhadap politik uang. Dia juga khawatir fenomena mewajarkan politik uang ini dapat berubah menjadi budaya.

“Pragmatisme dalam proses demokrasi menjadi hal yang menonjol dalam kajian ini. Saya menyepakati bahwa suatu hal yang permisif akan menjadi kebiasaan. Ketika menjadi kebiasaan, akan menjadi budaya. Ketika sudah menjadi budaya, kita tidak akan kembali ke titik nol mengenai apa yang dianggap baik,” ucap John ketika ditemui setelah diseminasi publik.

John menyadari KPU memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk menghadapi helat demokrasi di masa mendatang, terlebih dalam meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Sebab, esensi kepemiluan adalah memilih dengan hati nurani.

Sejatinya, KPU mengeklaim larangan politik uang dan perihal memilih dengan hati nurani selalu diselipkan ke dalam bahan sosialisasi, bahkan terdapat produk hukum yang mencegah adanya politik uang. Namun, demand (permintaan) dari pemilih yang terus dipenuhi oleh para peserta Pemilu membuat masyarakat permisif dengan politik uang.

“Kalau ini dibiarkan terus, tentu saja cost (biaya) politik itu akan tinggi. Yang rugi siapa? Peserta Pemilu juga. Ini sudah menjadi banyak kajian lembaga publik terhadap mengapa Pilkada ini mahal, salah satunya karena memang ada ikatan kontrak atau janji yang memang pragmatismenya tinggi,” ungkapnya.

Selain itu, menurut John, budaya gotong royong dan kebiasaan masyarakat Bali untuk berdana punia (memberi sumbangan) kepada tempat ibadah atau kegiatan sosial turut menjadi faktor yang menyamarkan batas antara politik dan sumbangan sosial di mata masyarakat.

“Kita masyarakat komunal. Ada kebiasaan berdana punia (memberi sumbangan) untuk membantu, itu sifat gotong royong yang ada. Ini yang akhirnya dianggap bahwa ketika seseorang berdana punia di luar masa kampanye atau di luar dia ditetapkan sebagai calon, itu tidak termasuk politik uang,” bebernya.

I Gede John DarmawanKetua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan SDM KPU Bali, I Gede John Darmawan, ketika diwawancarai media seusai diseminasi kajian publik di Gedung KPU Provinsi Bali, Jumat (14/03/2025). tirto.id/Sandra Gisela

Dalam menumpas politik uang, Dwita dari LPPM Unud menyatakan edukasi politik sebagai salah satu jalan keluar yang sangat mungkin diterapkan untuk masyarakat. Dari edukasi tersebut, masyarakat mengetahui secara spesifik apa yang dimaksud dengan demokrasi dan proses pemilihan yang demokratis.

“Apalagi nanti kalau 2029, pemilih barunya dari generasi alpha. Generasi alpha ini perlu mendapatkan pendidikan politik. Kita harus upayakan dari media sosial, melalui media baru yang nantinya ada itu. Misalnya, simulasi ballot box untuk mereka yang baru akan menggunakan hak pilihnya di 2029, agar mereka punya pengalaman untuk berada di dalam ballot box,” jelas Dwita.

Dwita juga menyorot peran sosialisasi yang dilakukan oleh penyelenggara Pilkada terhadap penggunaan hak pilih oleh masyarakat Bali. Melalui riset, diketahui hanya 12 persen masyarakat Bali yang tidak terpapar atau tidak menggunakan internet, sementara sisanya memakai internet untuk menunjang kegiatan sehari-hari.

Berdasarkan riset dari segi kebiasaan bermedia, sosialisasi melalui kanal-kanal daring, seperti sosial media, mengambil porsi yang besar untuk menginformasikan mengenai Pilkada dan calon kepala daerah kepada masyarakat. Selain itu, tayangan debat yang disiarkan oleh stasiun televisi tertentu juga menjadi preferensi masyarakat.

“Namun, seperti yang kita ketahui, perilaku masyarakat kita tidak suka memverifikasi berita. Kecil sekali jumlahnya mereka menyatakan selalu memverifikasi berita. Nah, ini yang menjadi tantangan; perilaku bermedianya, akses internet yang sangat luas, dan kemudian urgensi edukasi politik yang masih cukup tinggi,” bebernya.

Sementara itu, Lanang menyatakan bahwa rantai politik uang harus diputus dari kandidat atau dari proses penegakan hukum. Dalam kepemiluan, hukum Pemilu ditegakkan melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Polri, dan Kejaksaan. Ditambah, budaya hukum aparatur negara dan masyarakat harus diperkuat melalui pendidikan pemilih yang menjadi ranah KPU.

“Selain itu, harus pernahlah ditangkap kandidat yang melakukan politik uang. Dihukum tidak boleh atau digugurkan kepesertaannya. Sampai sekarang tidak ada yang begitu,” tegasnya.


tirto.id - News

Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |