tirto.id - Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Bali terus mengalami lonjakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 616.641 turis asing yang berkunjung ke Pulau Dewata pada bulan Agustus 2024.
Namun, peningkatan jumlah WNA di Bali turut mengakibatkan menjamurnya berbagai permasalahan pariwisata, seperti kasus overstay dan penyalahgunaan izin tinggal.
Pada September 2024, Imigrasi Ngurah Rai mencatat 130 WNA telah dideportasi dengan sebanyak 107 kasus merupakan overstay.
Kasus-kasus terkait wisatawan mancanegara menjadi tantangan tersendiri untuk sosok yang akan duduk di kursi Gubernur Bali kelak.
Pada hearing yang diselenggarakan di Jimbaran Grand Ballroom, Jumat (25/10/2024), kedua Pasangan Calon (Paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur Bali memaparkan komitmennya dalam menyelesaikan tantangan pariwisata.
Paslon nomor urut 1, Made Muliawan Arya dan Putu Agus Suradnyana (Mulia-PAS) mencanangkan aplikasi Bali Mulia untuk mempermudah pengawasan wisatawan di Bali.
Aplikasi ini akan terintegrasi dengan imigrasi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, sampai asosiasi pelaku pariwisata. Selain itu, aplikasi juga memuat do and don’ts (aturan) bagi turis yang berkunjung ke Bali, termasuk perihal biaya masuk.
“Dalam aplikasi ini, tentunya selain terintegrasi ke pajak, imigrasi, pemprov, dan aparat penegak hukum, tentunya juga asuransi. Sebelum terbang ke Bali, mereka ada scan barcode. Setelah scan barcode keluar do and don’ts,” ungkap sosok yang akrab disapa De Gadjah itu.
Sementara itu, paslon nomor urut 2, I Wayan Koster dan I Nyoman Giri Prasta (Koster-Giri), memilih untuk menguatkan dan menyempurnakan lembaga-lembaga yang sudah ada, seperti Bali Tourism Board (BTB), untuk menggapai quality tourism. Penyempurnaan ini turut didukung dengan konektivitas antara insan pariwisata dengan imigrasi, sehingga mampu diperoleh detail mengenai wisatawan asing yang berkunjung ke Bali.
“Kami akan lakukan konektivitas dengan imigrasi, sehingga kedatangan tamu yang sekarang ini, dengan autogate misalnya, bisa diketahui siapa [yang] datang, dari mana, berapa lama, ngapain, dan seterusnya,” terang Giri Prasta.
Menyokong Pariwisata Bali
Kedua paslon memiliki langkah yang cukup berbeda untuk menyokong pariwisata Bali. Mulia-PAS menginginkan Bali memiliki badan otorita pariwisata, seperti di Batam, Magelang (Borobudur), dan Labuan Bajo. Mereka optimistis mampu membuat badan otorita tersebut apabila terpilih menjadi pemimpin kelak, apalagi ada modal jaringan yang erat dengan pemerintah pusat.
“Di Batam sudah ada badan otorita, di Labuan Bajo sudah ada otorita, di Borobudur sudah ada otorita. Kenapa Bali yang pionir pariwisata tidak ada badan otorita? Dengan koneksi yang kami punya, kedekatan yang kami punya, itulah kami datang ke Jakarta, bagaimana agar Bali ini diberikan kekhususan, mungkin melalui Perpres,” terang politikus Gerindra tersebut.
Selain badan otorita, Mulia-PAS juga ingin Bali Tourism Board sebagai organisasi yang menaungi asosiasi-asosiasi pariwisata di Bali memiliki sarana dan prasarana, serta kantor yang layak.
Apabila terpilih sebagai Gubernur Bali, Muliawan ingin memfasilitasi kantor Bali Tourism Board yang representatif. Dirinya juga ingin secara rutin bertemu asosiasi pariwisata dengan melakukan coffee morning setiap bulannya atau rapat kerja (raker) setiap tiga bulan.
“Minimal Bali Tourism Board ini harus punya tempat yang layak, tempat yang representatif. Selama ini saya lihat tidak ada tempat yang representatif. Jadi ke depannya kami mau ada tempat yang representatif,” ujarnya.
Sementara itu, Koster-Giri berjanji memperluas kesempatan promosi pariwisata ke luar negeri dengan menyediakan anggaran kurang lebih sebesar Rp100 miliar. Cawagub nomor urut 2, Nyoman Giri Prasta, turut berharap para pelaku pariwisata Bali bisa menjadi pemimpin dalam usaha promosi.
“Kami akan sediakan anggaran paling tidak Rp100 miliar untuk melaksanakan promosi pariwisata ke luar negeri. Silakan dibuat sales mission, silakan dibuat ambassador,” tutur Nyoman Giri.
Guna menyokong masifnya anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan pariwisata, pasangan Koster-Giri menginisiasi Bali Development Fund (BDF) yang bersumber dari corporate social responsibility (CSR), hibah, atau sumbangan-sumbangan lainnya.
Koster berpendapat, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali yang digunakan untuk pembangunan banyak berasal dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik kendaraan bermotor. Apabila Bali hanya bergantung pada PAD Provinsi Bali, maka sama saja dengan mendorong pertumbuhan kendaraan bermotor untuk meningkatkan pendapatan.
“Dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, ini harus dikendalikan karena makin banyak sepeda motor, makin banyak mobil, infrastruktur harus diperluas. Di Bali, pertumbuhan kendaraan bermotor lebih tinggi daripada laju pembangunan jalannya, jadi macet pasti. Kalau begitu harus dikendalikan, harus cari sumber baru. Di antaranya yang saya rancang bersama Pak Menteri Bappenas itu membuat lembaga yang dinamakan Bali Development Fund,” kata Koster.
Blueprint atau Peraturan Daerah
Terkait rencana jangka panjang, Mulia-PAS menyoroti bahwa Bali belum memiliki blueprint, sehingga selama ini pariwisata Bali berjalan dengan mode auto-pilot atau tanpa arah kebijakan yang jelas.
Menurut Muliawan, ketiadaan blueprint mengakibatkan pola pembangunan pariwisata Bali menjadi sporadis dan di luar kendali pemerintah, serta mengabaikan dampak jangka panjang bagi masyarakat, lingkungan, dan budaya. Kelak Bali berisiko kehilangan daya tarik budaya dan alamnya apabila tidak ada panduan.
“Selama ini yang saya tahu, Bali belum punya blueprint pariwisata. Jadi kita tidak tahu mau ke mana arahnya pariwisata ini,” ujar Muliawan.
Cawagub nomor urut 1, Putu Agus Suradnyana, menambahkan bahwa infrastruktur yang tidak merata turut menjadi permasalahan pola auto-pilot yang harus diakhiri. Menurutnya, kebutuhan terkait infrastruktur, terutama yang ramah lingkungan, harus diimbangi dengan perangkat kebijakan distribusi ekonomi antara seluruh wilayah Bali.
“Kami ingin mengakhiri pola auto-pilot dengan pembangunan infrastruktur yang terencana dan merata,” beber Putu Agus.
Berbeda dengan Mulia-PAS, Koster-Giri berpendapat bahwa yang belum ada di Bali justru peraturan daerah (perda) nominee atau praktik pinjam nama WNI oleh WNA. Regulasi ini dinilai akan membantu mengatasi permasalahan alih fungsi lahan menjadi akomodasi pariwisata, sekaligus mengantisipasi pembangunan ilegal.
“Yang belum ada di Pulau Bali ini adalah perda nominee. Karena ini, kita jadi tidak bisa mengeksekusi penanam modal asing (PMA) atau vila-vila bodong, apalagi [WNA] yang menikah dengan orang Indonesia,” tegas Giri.
Sehubungan dengan rencana pengembangan pariwisata, Koster menyebutkan bahwa sudah ada roadmap yang tertuang dalam Perda Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Bali 2015-2029. Peraturan tersebut yang nantinya akan ditinjau dan diberlakukan secara tegas oleh Koster-Giri untuk membangun pariwisata ke depan.
“Jadi sebenarnya sudah ada semacam roadmap-nya untuk pembangunan pariwisata Bali ke depan. Bukan tidak ada, [perda-nya] sudah ada,” pungkas Koster.
tirto.id - Politik
Kontributor: Sandra Gisela
Penulis: Sandra Gisela
Editor: Irfan Teguh Pribadi