tirto.id - Sidang kasus dugaan korupsi dan rekayasa jual beli emas PT Antam dengan terdakwa Budi Said kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada Senin (28/10/2024) hingga Selasa (29/10/2024). Sidang nomor perkara 78/Pid.Sus.TPK/2024/PNJkt.Pst ini berupa pemeriksaan saksi-saksi dari penuntut umum.
Salah satu saksi yang dihadirkan, Eksi Anggraeni, mengaku diminta terdakwa merekayasa surat keterangan transaksi emas. Eksi merupakan broker dalam praktik jual beli ini.
"Yang meminta Pak Budi Said. Jadi, saya bisa jelaskan sekitar Oktober-November itu saya ditelepon oleh Pak Budi Said untuk mencatat semua transaksi yang berkaitan dengan pembelian emas," kata Eksi di ruang sidang Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (29/10/2024).
Eksi mengatakan, surat keterangan tersebut memuat tanggal transaksi, jumlah uang masuk, dan keterangan penyerahan barang. Proses penulisan transaksi pun dituntun oleh Budi Said.
"Itu dituntun sama Pak Budi Said semuanya. Dalam arti hitung-hitungannya semua itu dari Pak Budi Said," tutur dia.
Sepengetahuan Eksi, Budi meminta pembuatan surat keterangan tersebut demi menaikkan limit pinjaman ke bank. "Disuruh minta surat buat pegangan, terkait pengajuan limit," ucapnya.
Eksi pun pergi ke Butik Emas Logam Mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam untuk menemui Kepala BELM Surabaya 01 PT Antam, Endang Kumoro, demi memenuhi niat Budi Said. Akan tetapi, Eksi hanya bisa menemui dua karyawan Endang, yakni Ahmad Purwanto dan Misdianto.
"Saya bilang ini ada permintaan dari Pak Budi Said untuk meminta surat keterangan. Saya tanyakan, saya telepon di depannya mereka waktu itu," jelas Eksi.
Ahmad pun membuatkan surat keterangan sebagaimana keinginan Budi Said. Ahmad dan Misdi pun tahu bahwa Budi berkomunikasi dengan Eksi soal pembuatan surat keterangan.
Usai dibuatkan surat keterangan, Eksi langsung menyerahkan surat kepada Budi Said. Namun, terdakwa enggan menerima surat itu karena surat keterangan tidak ditandatangani langsung oleh Endang Kumoro selaku Kepala BELM Surabaya 01 PT Antam.
Eksi pun akhirnya kembali ke butik dan bertemu dengan Endang. Usai menerima surat dengan tanda tangan Endang, Eksi kembali menyerahkan surat tersebut ke Budi Said.
Pengusaha properti asal Surabaya, Budi Said yang merupakan terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada emas pada PT Antam, saat menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024). tirto.id/Umay
Merespons kesaksian itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung menunjukkan bukti berupa surat yang diserahkan Eksi kepada Budi Said. Surat itu sudah ditandatangani Endang. Dalam surat itu, ada angka yang dicoret dan ada tulisan 1.136 kg.
Eksi menjelaskan, angka tersebut sebenarnya sebesar 1.186 kg. Namun, Budi mengaku telah menerima 50 kg emas sebelumnya, sehingga dia menggantinya jadi 1.136.
"Ini saya yang coret, karena Pak Budi Said bilang sudah terima 50, jadi 1.136," ungkap dia.
Eksi menerangkan, di dalam surat tersebut tertulis bahwa Budi ingin membeli emas dengan harga Rp505 juta per kg. Sepengetahuan Eksi, harga tersebut memang tidak sesuai dengan harga asli emas yang dijual PT Antam. Eksi menyebut, harga emas PT Antam paling rendah adalah di atas Rp590 juta per kg, bahkan bisa mencapai Rp600 juta pada tahun 2019.
"Pembayaran tidak sesuai dengan tanggal itu, Pak. Itu kan memang dituntun seperti itu," ucapnya.
Kendati demikian, Eksi mengakui harga emas Rp505 juta per kilogram adalah harga yang disarankan oleh Eksi ke Budi Said.
Eksi mengaku bertemu eks General Manager PT Antam, Abdul Hadi. Abdul menanyakan kepada Eksi tentang pembelian emas berjumlah besar di BELM Surabaya 01. Eksi menjawab, pembelian besar di BELM Surabaya 01 karena dirinya ingin membeli emas Antam dengan harga Rp505 juta per kilogram sesuai keinginannya. Eksi pun menyerahkan surat keterangan Budi Said yang sudah ditandatangani Endang Kumoro.
Tidak lama berselang, Budi menggugat PT Antam dan menyebut baru menerima 5.935 kg dari total pembelian 7.071 kg emas yang dibeli dengan harga diskon dari perusahaan tersebut. Budi menuntut emas yang tersisa 1.136 kg segera dikirimkan kepadanya.
Eksi pun menyebut, gugatan itu disampaikan kuasa hukum Budi kepadanya. Selain itu, Eksi juga menyebut, uang yang dibayarkan oleh Budi tidak pernah sesuai dengan penyerahan barang dan faktur dari PT Antam.
"Walaupun saya menawarkan 550, 555, Pak Budi Said tetap bilang 505," katanya.
Hotman Paris, kuasa hukum terdakwa Budi Said, menyebut Eksi Anggraeni telah menipu kliennya. Eksi disebut menjanjikan emas dengan harga diskon, tapi barang yang dikirimkan tidak sesuai dengan informasi awal.
"Lu menipu, lu janji kasih emas diskon, lu nggak ngasih, [Eksi] dihukum tiga tahun 10 bulan, sudah selesai, sekarang dia dihukum Tipikor, itu makanya saya persoalkan," ujar Hotman di sela persidangan.
Hotman menuding perkara yang sedang disidangkan saat ini hanya untuk menghambat eksekusi putusan Mahkamah Agung yang menyatakan PT Antam harus menyerahkan 1.136 kg emas pada Budi.
"Jadi ini perkara sama, diadili berkali-kali. Tiga-tiganya selalu salah mereka. Sekarang dibikin lagi yang keempat, coba, apa nggak kejam negeri ini," tegas dia.
Hotman mengeklaim Budi Said belum menerima emas yang disebut sebagai kerugian negara. Oleh sebab itu ia berharap kliennya bebas dari jerat hukum. " Katanya korupsi emas diskon, orang emasnya belum dikasih," tandasnya.
Terdakwa kasus korupsi rekayasa transaksi emas Antam Budi Said (tengah) mengikuti sidang pembacaan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Selasa (27/8/2024). JPU pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur mendakwa pengusaha asal Surabaya Budi Said bekerja sama dengan mantan General Manager PT Antam Abdul Hadi Avicena melakukan rekayasa pembelian emas dengan harga dibawah prosedur di butik emas logam mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam yang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,1 triliun. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Duduk Perkara
Budi Said merupakan pengusaha properti asal Surabaya. Ia didakwa merugikan negara sebesar Rp1,1 triliun dalam kasus dugaan korupsi dan rekayasa transaksi jual beli emas di BELM Surabaya 01 PT Antam.
"Kerugian keuangan negara sebesar 1.136 kg emas atau setara dengan Rp1.073.786.839.584," kata kata JPU Nurachman Adikusumo di ruang sidang Pengadilan Tipikor, beberapa waktu lalu.
Budi Said diduga melakukan kerja sama dengan Eksi Anggraeni selaku broker; Kepala BELM Surabaya 1, Endang Kumoro; dan back office BELM Surabaya 1, Misdianto. Kerja sama dilakukan juga dengan General Trading Manufacturing and Service Senior Officer PT Antam Pulo Gadung yang diperbantukan ke BELM Surabaya sejak 2018, Ahmad Purwanto; dan eks General Manager PT Antam, Abdul Hadi.
Seluruh pihak tersebut diduga melakukan kongkalikong dalam transaksi pembelian emas di bawah harga jual resmi PT Antam.
Jaksa kemudian mendakwa Budi melalui Eksi menerima 100 kg emas PT Antam dari Endang, Ahmad, dan Misdianto pada BELM surabaya 01 melalui pengiriman UBPPLM PT Antam di Pulo Gadung dengan hanya membayar sebesar Rp25 miliar. Seharusnya sesuai dengan faktur dan harga resmi dari PT Antam uang tersebut hanya bisa dibelikan emas sebanyak 41,865 kg.
"Sehingga terdakwa Budi Said telah mendapatkan selisih lebih emas Antam seberat 58,135 kg yang tidak ada pembayarannya oleh terdakwa," ujar jaksa.
Modus yang dilakukan Budi Said dalam transaksi emas Antam ini sempat terkuak juga dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Selasa (8/10/2024) lalu.
Mantan pejabat PT Antam, Nur Prahesti Waluyo alias Yuki, sempat memberikan keterangan terkait alur transaksi pembelian emas yang dilakukan Budi Said, yang menurutnya tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan.
Yuki yang pernah menjabat sebagai Trading Assistant Manager Unit Bisnis Pemurnian dan Pengolahan Logam Mulia (UBPP LM) Antam di Pulo Gadung, Jakarta Timur, mengatakan bahwa transaksi yang dilakukan Budi Said menimbulkan ketidaksesuaian antara uang yang masuk dengan jumlah emas yang diserahkan.
"Uangnya (Budi Said) masuk dulu, penawaran harganya tidak ada, reference tidak ada," ungkap Yuki di hadapan majelis hakim, dikutip dalam keterangannya.
Yuki menjelaskan, seharusnya dalam setiap transaksi pembelian emas di butik Antam, pembeli mengetahui harga emas harian dan reference barang terlebih dahulu, kemudian menyetorkan uang sesuai harga yang tercantum. Namun, Budi Said melakukan transaksi dengan menyetorkan uang ke rekening Antam terlebih dahulu tanpa adanya penawaran harga harian (PH) dan reference emas yang akan dibeli.
Selain itu, Yuki juga mengungkapkan pernah menawarkan kepada Budi Said untuk menjadi reseller emas PT Antam, namun tawaran tersebut tidak ditindaklanjuti. Penawaran tersebut muncul setelah Budi Said meminta diskon dalam jumlah besar saat melakukan pembelian emas di BELM Surabaya 01 pada April 2018 sebesar 100 kilogram per minggu.
Dia menerangkan, diskon hanya dapat diberikan kepada reseller, sedangkan Budi Said bukan reseller. Diskon sebesar 0,6 persen dari harga dasar untuk jenis transaksi reseller pun hanya ada di UBPP LM Antam di Pulo Gadung selaku trading penjualan emas.
"Informasi dari butik Surabaya bahwa Pak Budi mau melakukan transaksinya di Surabaya saja, tidak mau di Jakarta (UBPP LM)," terang Yuki.
Penolakan tawaran menjadi reseller memperkuat dugaan upaya Budi Said memperoleh diskon yang lebih besar secara tidak sah atas pembelian emas tersebut. Terlebih lagi dalam amar putusan Nomor 86/Pid.Sus-TPK/2023/PN Sby untuk terdakwa Eksi Anggraeni yang menjadi penghubung atau broker dalam kasus ini terungkap adanya dugaan keterlibatan Budi Said terkait suap dan gratifikasi kepada pegawai PT Antam.
Untuk memudahkan kerja sama dengan pihak PT Antam Butik Surabaya 01, Eksi memberikan sesuatu atas permintaan dari Budi Said kepada Endang Kumoro selaku pimpinan cabang Butik Surabaya 1 berupa satu unit mobil, uang tunai, serta biaya umrah.
Budi Said juga memerintahkan Eksi untuk memberikan satu unit mobil serta uang tunai kepada karyawan Butik Surabaya 1 Misdianto dan juga uang tunai kepada Achmad Purwanto sebagai admin pada Butik Surabaya 1.
Atas perbuatannya, Budi Said dijerat primair Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 Ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Budi Said juga terancam pidana sesuai dengan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Saling Gugat Berujung Penjara
Pertama-tama, Budi Said melayangkan gugatan terhadap PT Antam ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya pada Januari 2020. PN Surabaya pada Rabu (13/1/2021), lantas memutuskan memenangkan gugatan Budi setelah melalui proses tahap persidangan. Majelis hakim sempat menghukum PT Antam senilai Rp1,3 triliun. Angka ini terdiri dari ganti rugi materiel emas 1,13 ton (Rp817,4 miliar) dan ganti rugi imateriel Rp500 miliar.
PN Surabaya juga menghukum empat pihak lain yang turut digugat. Di antaranya Eksi Anggraeni (3 tahun 10 bulan) dan Endang Kumoro selaku Kepala BELM Surabaya 01 PT Antam (2,5 tahun). Hukuman juga dijatuhkan kepada Misdianto selaku Tenaga Administrasi BELM Surabaya 01 Antam (3,5 tahun) dan Ahmad Purwanto selaku General Trading Manufacturing and Service Senior Officer (1,5 tahun).
Atas putusan PN Surabaya tersebut, Antam menyatakan banding. Mereka menolak mengembalikan dana senilai Rp1,3 triliun lebih kepada Budi Said. Pada Agustus 2021, pihak PT Antam akhirnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya. Majelis hakim selanjutnya memutuskan membatalkan putusan PN Surabaya dan menganulir kemenangan Budi Said.
Budi Said kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) pada Juli 2022. MA mengabulkan gugatan yang diajukan Budi dan membatalkan putusan PT Surabaya. MA memerintahkan PT Antam untuk membayar kerugian yang dialami Budi. Selanjutnya, PT Antam masih berupaya melawan dengan mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun upaya PK yang diajukan PT Antam ditolak MA pada 12 September 2023. PT Antam tetap diperintah untuk membayar kekurangan 1.136 kilogram emas yang belum diberikan kepada Budi. Dengan putusan itu, maka putusan kasasi yang sebelumnya diajukan Budi telah berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Seiring dengan polemik ini, Kejagung menaruh kecurigaan dalam kasus hukum antara Budi dan PT Antam. Kejagung akhirnya menyatakan Budi Said bekerja sama dengan orang dalam PT Antam dalam dugaan rekayasa pembelian emas. Budi telah ditetapkan sebagai tersangka dan dijebloskan ke penjara.
Persidangan praperadilan Budi Said melawan Kejagung di PN Jaksel, Rabu (6/3/2024). (Tirto.id/Ayu Mumpuni)
Negara Tak Boleh Kalah
Pengamat BUMN dari Datanesia Institute, Herry Gunawan, mengatakan PT Antam sebagai representasi negara tidak boleh kalah dari individu yang diduga memanipulasi sistem. Jika mereka kalah, maka berpotensi mencoreng nama baik negara dan menunjukkan kelemahan dalam melindungi aset nasional.
“Sebagai perusahaan, sudah semestinya Antam seperti itu, jangan mau kalah. Sebab kasus ini kan dilakukan oleh oknum yang dimanfaatkan oleh Budi Said.” ujar Herry kepada reporter Tirto, Rabu (30/10/2024).
Herry menuturkan, secara tata kelola sebenarnya PT Antam sudah bagus, seperti halnya sudah diungkapkan di pengadilan. Mekanisme jual beli antara PT Antam dengan konsumen sangat jelas.
“Tapi memang Budi Said yang memang rada aneh. Ditawari reseller agar dapat mekanisme diskon justru tidak mau. Ini mengindikasikan adanya niat yang kurang baik,” jelas dia.
Maka, dalam kasus ini seharusnya PT Antam tidak kalah. Apalagi, Eksi Anggraeni yang menjadi bagian dari peristiwa yang dialami Budi Said sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan PT Antam adalah berpegang teguh pada tata kelola perusahaan yang baik dan transparan, seperti yang sudah diungkap di pengadilan.
“Ini yang harus dipertahankan,” ujar dia.
Dalam keterangan terpisah, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, berharap majelis hakim dapat memutuskan perkara ini untuk menyelamatkan PT Antam dari dugaan kongkalikong antara Budi Said dengan orang dalam perusahaan pelat merah tersebut.
"Sangat tidak bisa ditoleransi terhadap perbuatan jahat yang merugikan keuangan negara dalam hal ini, untuk itu JPU dan majelis hakim dapat memberikan hukuman yang maksimal terhadap pelakunya," jelas Yusri kepada reporter Tirto, Rabu (30/10/2024).
Kejadian ini pun, lanjut Yusri, harus menjadi pelajaran penting bagi pejabat PT Antam dan BUMN lainya dalam menjalankan proses bisnis yang transparan, akuntabel serta amanah.
tirto.id - News
Reporter: Auliya Umayna Andani & Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fahreza Rizky