tirto.id - Perguruan tinggi semestinya menjadi gelanggang terbuka untuk memproduksi pengetahuan dan sikap ilmiah yang dapat menjadi acuan di tengah masyarakat. Perkembangan ilmu dan pengetahuan itu tidak bakal tumbuh subur tanpa didukung kebebasan berpendapat dan berekspresi di kampus.
Kritik terhadap status quo dan kekuasaan yang dinilai keluar jalur dari pengabdiannya untuk kepentingan rakyat, menjadi satu bentuk praktik dari ekspresi kebebasan di tubuh perguruan tinggi tersebut.
Kultur kritik yang dirawat turut menandakan negara demokrasi yang berjalan secara substantif. Sayangnya, gejala “pendisiplinan” di tubuh kampus semakin menguat. Hal ini menjadi satu alarm bagi kebebasan akademik di kampus dan demokrasi secara luas.
Pada Jumat (25/10/2024) lalu, BEM FISIP Universitas Airlangga (Unair) sempat dibekukan dekanat setelah menampilkan karangan bunga satire di Taman Barat kampus. Aksi ini dilakukan oleh Kementerian Politik dan Kajian Strategis BEM FISIP Unair selang dua hari pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Karangan bunga itu bukan berisi ucapan selamat atau puja-puji bagi presiden baru. Justru isinya merupakan sindiran keras terhadap Prabowo dan Gibran.
“Selamat Atas Dilantiknya Jenderal Bengis Pelanggar HAM dan Profesor IPK 2,3”, bunyi penggalan narasi di karangan bunga tersebut. Setelah dipanggil Dewan Etika, kepengurusan BEM FISIP Unair dibekukan oleh Dekanat FISIP Unair.
Presiden BEM FISIP Unair, Tuffahati Ulayyah, menuturkan karangan bunga satire itu adalah ungkapan ekspresi kekecewaan terhadap fenomena Pemilu 2024. Beberapa hari kemudian, pada Senin (28/10/2024), Dekan FISIP Unair, Bagong Suyanto, akhirnya mencabut pembekuan BEM FISIP Unair.
Bagong mengeklaim pencabutan ini dilakukan karena BEM FISIP Unair berjanji untuk tidak melakukan ujaran kebencian lagi. Ia juga mengatakan bahwa pencabutan pembekuan BEM tak ada kaitannya dengan perintah Rektor Unair atau pemerintah.
“Bukan karena perintah rektor. Tapi karena janji BEM untuk tidak lagi menggunakan hate speech," kata Bagong kepada Tirto, Senin.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, memandang momen pembekuan kepengurusan BEM FISIP Unair tidak bisa dilepaskan dari birokrasi kampus--khususnya di perguruan tinggi negeri--yang kental dengan pengaruh kekuasaan.
Menurut Satria, infrastruktur politik kekuasaan begitu kuat mengendalikan tubuh kampus karena menteri urusan pendidikan tinggi memiliki kuasa untuk memilih calon rektor.
“Posisi ini menjadi penjelas relasi kuasa antara pemerintah dengan kampus,” ucap Satria kepada Tirto, Selasa (29/10/2024).
Berbasis rekam jejak relasi negara dan kampus, hal mendasar berkaitan dengan kekuasaan menteri bidang pendidikan tinggi yang memiliki hak suara 35 persen dalam pemilihan rektor di perguruan tinggi negeri. Ini membuat intervensi politik-ekonomi terhadap arah kebijakan pendidikan tinggi.
Pemerintah seharusnya memahami dan sadar bahwa upaya-upaya pembatasan kebebasan akademik merupakan masalah yang serius. Aparatur negara perlu memahami prinsip-prinsip kebebasan akademik yang dikenal sebagai Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademi pada 2017 yang sudah diadopsi pada Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2021.
Jaminan kebebasan akademik berhubungan erat dengan negara yang demokratis. Jika hal tersebut tidak terjamin, maka akan sangat sulit memelihara perlindungan sivitas akademika.
Satria menilai, narasi demokrasi santun yang dilontarkan Presiden Prabowo adalah salah satu upaya pelemahan kebebasan sipil dan kebebasan akademik. Demokrasi santun ala Prabowo dikemukakan saat dia menyampaikan pidato inagurasi usai dilantik menjadi presiden. Presiden Prabowo menginginkan demokrasi yang minim permusuhan dan tanpa caci maki.
“Mendisiplinkan kampus-kampus di Indonesia justru sinyal menguatnya praktik militeristik dan meredam isu kebebasan akademik,” ucap Satria.
Presiden Prabowo Subianto bersama seluruh menteri, wakil menteri, kepala badan, utusan khusus hingga penasihat khusus yang tergabung dalam Kabinet merah Putih pada retret hari pertama di Akademi Militer (Akmil) Magelang, Jumat (25/10/2024). tirto.id/Irfan Amin
Demokrasi Santun atau Membungkam Kritik?
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratraman, menilai pembekuan kepengurusan BEM FISIP Unair menjadi tanda bahwa gejala antikritik semakin menguat di kampus. Dalam derajat tertentu, sikap reaktif kampus terhadap kritik dari sivitas akademika merupakan bentuk pendisiplinan di dunia kampus yang melemahkan kultur kritis.
Herlambang menilai sikap antkritik kampus sudah terjadi sejak era pemerintahan Presiden Jokowi. Misalnya, kata dia, sempat ada instruksi dari Kementerian Pendidikan kepada kampus agar mengimbau mahasiswa tidak berdemonstrasi dalam aksi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan Revisi UU KPK.
Menurut Herlambang, kampus merupakan gelanggang pertukaran gagasan dan pemikiran. Kampus menjadi bagian penting produksi ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Untuk memproduksi pengetahuan, harus dilengkapi dengan budaya kritik dan kebebasan akademik.
“Itu harus berkembang dalam segala bentuknya,” ucap Herlambang kepada Tirto, Selasa.
Kuasa terselubung pemerintah semakin kuat lewat penunjukkan Majelis Wali Amanat (MWA) kampus yang berasal dari kalangan politikus, penegak hukum, dan sosok berpengaruh di pemerintahan. Herlambang mengingatkan, kebebasan akademik adalah bagian esensi demokrasi dan HAM yang secara khusus menjadi hak atas kebebasan akademik (right to academic freedom).
Kebebasan akademik merupakan rezim hukum sektor HAM yang telah diakui di Indonesia. Di dalamnya meliputi kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi. Hak ini melekat pada seluruh sivitas akademika, dan masuk dalam pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.
“Sehingga perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM,” terang Herlambang.
Ia turut menilai, pendisiplinan kultur kritik di kampus tidak lepas dari narasi demokrasi santun yang digembar-gemborkan oleh Presiden Prabowo. Menurutnya, demokrasi santun kontraproduktif dengan esensi demokrasi substantif.
Demokrasi yang dikontrol kekuasaan semacam itu, secara tidak langsung melemahkan ekspresi kritis yang terbuka dalam bentuk protes terhadap kekuasaan. Herlambang bahkan menilai narasi demokrasi santun mejadi refleksi dari cara berpikir yang feodal.
“Seakan-akan kritik harus dengan sopan santun dan sangat memistifikasi kekuasaan yang sebenarnya represif tapi dibenarkan seolah-olah lewat standar etika,” ucapnya.
Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, menilai ketergantungan birokratis kampus terhadap pemerintah memang menciptakan ketergantungan. Ini membuat kampus kehilangan independensi untuk bersikap kritis terhadap status quo dan penguasa.
Imbas dari hal ini adalah suburnya gejala antikritik yang ditampilkan kampus kepada sivitas akademika. Padahal, kata Kunto, bisa jadi sebetulnya pemerintah sendiri santai-santai saja menerima kritik yang dilontarkan warga kampus.
“Tapi rektornya ingin meredam kritik agar tidak bocor keluar dan mereka harus bertanggung jawab atas apa yang dilakukan mahasiswa,” ucap Kunto kepada Tirto, Selasa.
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (kiri) mengucapkan sumpah jabatan dalam sidang paripurna MPR dengan agenda pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa bakti 2024-2029 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/app/YU
Di sisi lain, Kunto menilai ada hal yang problematik dalam narasi demokrasi santun. Sekilas, memang tampak tidak ada masalah dari narasi demokrasi santun yang erat dengan kultur etika masyarakat Indonesia. Namun masalahnya, praktik demokrasi santun tidak disertai jaminan bahwa pemerintah akan mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi masyarakat yang disampaikan secara sopan santun.
“Jadi kita berdemonstrasi kepada pemerintah agar tuntutan warga didengar. Kalau nggak gitu ya gak akan ada jaminan didengerin,” sambung Kunto.
Reporter Tirto sudah berupaya menghubungi Juru Bicara Presiden Prabowo, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, terkait komitmen pemerintah menjamin kebebasan akademik di tengah narasi demokrasi santun ala Presiden Prabowo. Namun, permintaan wawancara yang dilayangkan ke gawai mereka berdua tidak direspons dan hanya menandakan bahwa pesan sudah terkirim.
Kendati demikian, sebelumnya Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, menegaskan kampus harus tetap menjalankan kebebasan akademik sebagai tanggung jawab kepada publik. Hal ini ia sampaikan saat memberikan pernyataan terhadap pembekuan BEM FISIP Unair.
Kendati demikian, Satryo menegaskan bahwa kebebasan akademik harus dibarengi dengan akuntabilitas. Ia juga mengaku meminta Rektor Unair agar BEM FISIP Unair bisa diaktifkan kembali.
"Tapi saya minta pada mereka, 'Bapak Ibu rektor, tolong jaga dengan baik karena kebebasan itu harus dibarengi dengan akuntabilitas, terus tanggung jawab pada publik itu yang harus dipastikan," kata Satryo kepada wartawan di Plaza Insan Berprestasi Gedung A Kemendikbudristek, Senin (28/10/2024).
Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menegaskan bahwa kampus adalah salah satu penjaga demokrasi di tanah air. Kampus berisi sivitas akademika yang tugas sejatinya bukan hanya mengajar, meneliti, dan memberikan program pendampingan ke masyarakat.
Tetapi juga memberikan pencerahan ke masyarakat dan mengingatkan pemerintah jika keluar dari rel amanah konstitusi. Oleh karena itu, kampus seharusnya otonom dan tidak terkooptasi oleh rezim pemerintah yang berkuasa.
“Kalau terkooptasi maka kampus akan cenderung tidak dapat memerankan tanggung jawabnya,” ucap Edi kepada Tirto, Selasa.
Menurut Edi, narasi demokrasi yang santun barangkali dipahami sebagai bentuk menyuarakan pendapat dengan santun. Bagi sivitas akademika, anjuran ini dinilai Edi tidak menjadi masalah dan bisa dijalankan asal saluran demokrasi tetap dibuka dengan baik.
Asalkan, kata dia, suara-suara kritis warga kampus tidak sekadar ditampung, melainkan direspons dan diakomodasi oleh pemerintah.
“Namun pada titik tertentu, ketika demokrasi dibungkam dan situasi darurat, maka protes keras seperti tahun 1998 sah dilakukan,” tegas Edi.
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi