tirto.id - Anggota polisi Polrestabes Semarang, Jawa Tengah, tiga bulan terakhir ini banyak yang tersandung kasus pelanggaran etik cum pidana. Polisi yang seharusnya menjadi aparat penegak hukum malah bertingkah melanggar hukum.
Kasus yang menyeret anggota kepolisian di Semarang berbeda-beda. Mulai dari polisi menjadi tersangka penembakan siswa SMK; polisi menjadi tersangka pemerasan wisatawan; hingga polisi menjadi terdakwa judi sabung ayam.
Deretan kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan anggota kepolisian tersebut memang tidak saling berkaitan, tetapi tempus peristiwanya terjadi berdekatan, antara kurun waktu 2024--2025.
Bahkan kasus polisi tembak siswa, menyorot perhatian publik sampai-sampai Komisi III DPR RI memanggil petinggi kepolisian setempat untuk menjelaskan duduk perkara dan progres penanganannya.
Insiden penembakan siswa itu terjadi pada Minggu (24/11/2024) dini hari. Pelakunya merupakan Aipda Robig Zaenudin, anggota Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Semarang.
Ada tiga korban yang tertembak, semuanya merupakan siswa SMK Negeri 4 Semarang. Satu korban bernama Gamma Rizkynata Oktafandy tewas tak lama usai peluru bersarang di pinggangnya.
Menurut korban selamat berinisial AD, saat ia dan rekan-rekannya melintasi Jalan Candi Penataran Raya Kota Semarang dengan sepeda motor, tiba-tiba ada pria berhenti sembari menodongkan pistol ke arahnya.
Pria bersenjata api yang kelak diketahui bernama Aipda Robig tersebut melesatkan beberapa kali tembakan ke arah korban dalam jarak dekat tanpa didahului peringatan.
Kini Aipda Robig telah dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) alias dipecat dari anggota Polri berdasarkan putusan sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) pada Senin (9/12/2024). Namun, Aipda Robig mengajukan banding dan sampai saat ini belum ada sidang lanjutan.
Sisi lain, Aipda Robig ditetapkan sebagai tersangka. Ia dijerat Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian, dan atau Pasal 80 ayat (3) jo Pasal 76C UU Perlindungan Anak.
Hingga kini berkas perkara pidananya masih diteliti Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Ada petunjuk dari JPU untuk melengkapi dan sudah dilengkapi. Saat ini sudah dikembalikan lagi untuk diteliti ulang," jelas Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Pol Artanto, Selasa (4/2/2025).
Polisi Pemeras hingga Pejudi
Kasus polisi tembak siswa belum tuntas, malah ada kasus lain yang melibatkan anggota Polrestabes Semarang. Dua polisi bernama Aiptu Kusno dan Aipda Roy Legowo dilaporkan atas kasus pemerasan di Pantai Marina Semarang.
Peristiwa bermula ketika Aiptu Kusno dan Aipda Roy bersama seorang warga bernama Suyatno, pergi mencari makan di kawaan wisata Pantai Marina pada Jumat (31/1/2025) malam.
Saat itu mereka melihat mobil Honda Civic yang terparkir dan mendapati dua sejoli sedang berduaan di dalamnya. Lalu, polisi lapar tersebut menuduh remaja pria dan wanita melakukan tindak pidana.
Lantas, remaja pria disuruh masuk ke mobil pelaku dan diminta menyerahkan uang Rp2,5 juta dengan ancaman supaya kasusnya tidak diproses. Korban pun diarahkan ke ATM di daerah Telaga Mas untuk menarik uang.
Aiptu Kusno dan Aipda Roy kini telah ditetapkan sebagai tersangka dengan jerat Pasal 368 KUHP tentang pemerasan. Perkara dugaan pidananya ditangani Polrestabes Semarang.
Sementara kasus etiknya ditangani Polda Jawa Tengah. “Sidang etik secepatanya, ini atensi pimpinan, jadi penyidik segera melakukan pemberkasan untuk sidang kode etik,” kata Artanto, Selasa (4/2/2025).
Ada lagi kasus yang tak kalah mengherakan: anggota polisi di Semarang ikut menjadi penyelenggara judi sabung ayam.
Anggota Polsek Genuk Polrestabes Semarang, Aipda Junaedy, turut ditangkap dalam rangkaian penggerebekan praktik perjudian sabung ayam di area Pasar Banjardowo, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
Dalam penggerebekan yang berlangsung Senin (7/10/2024), tim Polrestabes Semarang mengamankan 19 ayam petarung, perlengkapan judi sabung ayam, hingga 35 sepeda motor.
Setelah didalami, ternyata Aipda Junaedy berperan sebagai ketua pelaksana judi sabung ayam. Junaedy menyalahgunakan profesinya sebagai anggota Polri untuk membekengi praktik perjudian.
Kini Aipda Junaedy tengah diproses hukum. Jaksa Penuntut Umum Kejari Kota Semarang baru saja membacakan surat dakwaan terdakwa Junaedy di Pengadilan Negeri (PN) Semarang.
Aipda Junaedy didakwa melanggar Pasal 303 ayat (1) ke-1 atau ke-2 KUHP dengan acaman hukuman maksimal 10 tahun penjara. Namun, terdakwa tidak terima dan menyatakan bakal mengajukan eksepsi pada sidang berikutnya.
Perlu Diusut Tuntas
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengingatkan perlunya mengusut tuntas kasus sekalipun pelakunya merupakan aparat kepolisian.
Dalam sistem hukum modern terdapat asas equality before the law yang berarti semua orang sama di hadapan hukum. Implementasi asas ini berupa penegakan hukum tanpa tebang pilih.
“Equality before the law itu juga berlaku bagi personel kepolisian pelanggar pidana. Jadi proses pidana bagi personel yang diduga melakukan tindak pidana itu wajib dilaksanakan," tegas Bambang kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).
Sidang Komite Kode Etik Polri (KKEP) terhadap polisi pelaku pidana juga tak kalah penting. Demi menjaga muruah instansi kepolisian, penegakan hukum harus tegas.
“Harusnya polisi sebagai penegak hukum negara, sanksinya lebih tegas karena tanggung jawabnya lebih besar, dan negara sudah memberikan kewenangan yg besar pada mereka," kata dia.
Namun, menurut Bambang, sidang etik internal kepolisian seharusnya dilakukan setelah sidang pidana. Sehingga, vonis hasil pengadilan pidana bisa menjadi landasan sanksi sidang KKEP. "Bukan sebaliknya," kritik dia.
Dia khawatir putusan sidang KKEP akan mendegradasi peran peradilan umum. Hal itu bisa terjadi apabila ada yang polisi divonis bersalah oleh pengadilan tetapi sebelumnya pada sidang etik ia tidak dipecat.
Dampaknya, akan ada polisi berlatar belakang mantan narapidana. “Jadi, bagaimana mungkin penegakan hukum bisa berjalan dengan bagus kalau kepolisian diisi para personel mantan napi?" uap Bambang.
Sayangnya, di beberapa kasus, seperti perkara suap seleksi Bintara Polri 2022 dengan pelaku dua anggota Polda Jawa Tengah, sidang KKEP digelar sebelum sidang pidana di pengadilan.
Bahkan untuk kasus calo masuk Bintara dengan terdakwa Dwi Erwinta dan Zainal Abidin ini, putusan sidang KKEP justru dijadikan sebagai salah satu pertimbangan yang memperingan tuntutan hukuman terdakwa.
Atasan Perlu Ditindak
Mengusut kasus tindak pidana yang melibatkan aparat kepolisian dinilai tidak cukup hanya menjerat personel pelanggar, melainkan perlu menindak atasannya. Hal itu mengacu pada Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 2 Tahun 2022.
“Kalau konsisten melaksanakan Perkap tentang pengawasan melekat, harusnya juga melakukan penindakan pada atasan yang bersangkutan saat terjadi peristiwa," papar Bambang.
Peneliti ISESS ini mengkritik Polri yang hanya mengganti atasan personel pelanggar tanpa ada upaya pertanggungjawaban.
Salah satu kasus yang dikritik Bambang ialah mutasi Kombes Pol Irwan Anwar dari jabatan Kapolrestabes Semarang menjadi pejabat di STIK Lemdiklat Polri. Mutasi dilakukan di tengah santernya desakan pemecatan Irwan.
Desakan publik tersebut muncul imbas tak becusnya Irwan mengusut kasus penembakan siswa SMK yang pelakunya merupakan anggota Polrestabes Semarang atau bawahan Irwan.
Irwan selaku pimpinan Polrestabes Semarang cenderung membela anggotanya dan justru melabeli korban penembakan sebagai gangster pelaku tawuran. Ia juga terkesan menutup-nutupi kasus tersebut.
Sayangnya, Irwan hanya diganti jabatannya dan mutasi tersebut tidak ada kaitannya dengan penanganan kasus penembakan siswa SMK sebagaimana keterangan Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto.
“Rotasi ini adalah bagian dari penyegaran. Tour of duty, tour of area itu dalam satu organisasi adalah hal yang wajar untuk penyegaran dan meningkatkan kinerja personel maupun organisasi," jelas Artanto, Senin (30/12/2024).
Menurut Bambang, lepasnya Irwan dari sanksi merupakan preseden buruk yang tidak mengindahkan Perkap Nomor 2 Tahun 2022 tentang pengawasan melekat.
“Selama Polri tidak konsisten menegakkan peraturannya sendiri, selama itulah peraturan tidak akan memberi efek deterens bagi personil lainnya untuk melakukan pelanggaran,” kata dia.
tirto.id - News
Kontributor: Baihaqi Annizar
Penulis: Baihaqi Annizar
Editor: Abdul Aziz