tirto.id - Jam menunjukkan sekitar pukul 00.40 WIB, ketika band The Adams mengakhiri penampilannya di festival musik Pestapora, Minggu (22/9/2024). Tampil kurang lebih 45 menit, band asal Jakarta ini menjadi sajian penutup di salah satu panggung besar di gelaran tersebut.
Selesai penampilan The Adams, terlihat ratusan muda-mudi pengunjung konser mulai memadati pintu keluar. Ruas jalan Kemayoran pun macet dan tersendat dipenuhi kendaraan yang berusaha meninggalkan lokasi konser.
Acara festival musik seperti Pestapora ataupun Synchronize Fest sudah menjadi agenda tahunan yang mengundang ratusan musisi kenamaan dalam negeri. Setiap tahunnya, pengunjung acara tersebut juga terbilang tinggi. Pestapora misalnya, dalam dua tahun terakhir selalu mengumpulkan setidaknya 90 ribu penonton.
Antusiasme masyarakat, secara khusus anak-anak muda, terhadap pertunjukan musik ini, bisa menunjukkan bagaimana industri seni pertunjukkan mulai punya daya tarik tersendiri.
Jofie (31), menjadi salah satu penonton setia acara festival musik di Indonesia. Dia mengaku setidaknya menonton satu pertunjukan musik setiap tahunnya, sejak tahun 2012, atau dalam 12 tahun terakhir.
“Kesenangan saja sih ya, hobi dari dulu gitu. Seneng saja gitu nonton konser, denger musik yang biasa gue dengerin sehari-hari, nonton langsung live-nya gitu, ikutan nyanyi kayak gitu sih ya kesenangan aja. Ya, liat aksi panggung langsung gitu band-band yang selama ini didengerin gitu. Sama itu sih ikutan nyanyi-nyanyinya, itu seru,” ceritanya kepada Tirto, Senin (21/10/2024).
Penggemar konser musik seperti Jofie juga mulai banyak jumlahnya. Berdasarkan survei Jakpat pada Agustus 2024, yang melibatkan sekitar 2 ribu responden, sekitar 80 persen di antaranya mengaku senang menghadiri konser musik secara langsung.
Dari responden yang senang menghadiri konser musik tersebut, mayoritas mengatakan kebutuhan akan hiburan (55 persen) dan meredakan stres (50 persen) sebagai dua alasan utama pergi menonton pertunjukan konser musik.
Senada, hasil survei Populix terhadap sekitar seribu responden, pada Oktober 2023, menunjukkan sekitar 77 persen orang punya ketertarikan untuk menonton pertunjukan musik. Sebanyak 68 persen responden mengaku menonton 1-3 konser dalam satu tahun.
Namun, dari besarnya minat untuk menonton konser musik, ada hambatan finansial yang kadang menghalangi para pecinta musik untuk bisa menonton pertunjukan artis idolanya.
“Artis yang tampil dan harga tiket merupakan pertimbangan penting saat menghadiri konser musik. Waktu dan lokasi juga penting. Memiliki pendamping konser merupakan pertimbangan penting bagi wanita dan Gen Z,” begitu bunyi salah satu temuan dalam laporan survei Jakpat tersebut.
Apalagi, dalam beberapa waktu belakangan, harga tiket konser musik juga mulai dirasa mahal. Hal ini juga yang menjadi keluhan Jofie. Menurutnya, memang ada sejumlah konser musik yang harganya cukup layak, tapi tidak sedikit juga yang kelewat mahal. Khususnya untuk harga tiket konser penampil/band dari luar negeri.
“Nah, yang gue pertanyakan tuh kemarin acara BMTH (band Bring Me the Horizon) itu sih, yang Nex Fest di Ancol ya –yang sama Baby Metal. Awalnya sebenarnya mikir ini masih normal gitu harganya soalnya Rp2,9 juta, itu sama kayak yang tahun lalu. Tapi ketika gue bandingkan (dengan konser di Malaysia), lah ini harganya beda Rp1 juta. Jadi di Malaysia lebih murah 1 juta. Padahal penampilnya sama, BMTH sama Baby Metal juga,” cerita Jofie.
Dia pun mengaku hanya bisa pasrah dan akhirnya mengumpulkan uang untuk menonton salah satu band idolanya dari masa kuliah tersebut.
Hal senada juga disampaikan Karen (33). Perempuan pecinta Korean Pop/K-Pop ini mengaku merasakan betul kenaikan harga tiket konser setelah pandemi COVID-19. “Sejak itu juga semua tiket harus war,” ujarnya.
Istilah war merujuk ke fenomena berebut tiket konser yang terbatas jumlahnya. Biasanya sistem ini dipakai para distributor tiket dengan menentukan jam resmi penjualan tiket di satu waktu. Nantinya para pencari tiket akan "berperang" untuk mengamankan tempat mereka di konser tersebut.
Kondisi harga tiket yang cenderung mahal, membuat orang-orang seperti Jofie dan Karen sangat mempertimbangkan untuk pergi menonton konser di luar negeri saja. “Mempertimbangkan, kalo tau venue-nya lebih nyaman dan aman, kalo lebih gede peluang menang war-nya, walau pasti lebih mahal juga,” ujar Karen.
Karen berkata begitu juga bukan tanpa pertimbangan. Dia sebelumnya sempat menonton beberapa pertunjukan di negeri tetangga seperti di Singapura dan punya pengalaman yang memuaskan.
“Di sana bisa pilih seat sejak beli tiket, aturan jelas, nyaman, alur datang-pulang jelas. Penontonnya juga nurut antre, lebih kalem dan gak rusuh. Bisa naik kendaraan umum sampai malem. Kalau di Indonesia kadang aturan gak jelas, flow datang-pulang seringnya gak dipikirin. Gak bisa naik kendaraan umum kecuali nginep. Penonton lebih reog tapi lebih seru dan lebih kenceng nyanyinya. Kalo [konser] K-pop biasanya penontonnya juga baik dan kompak,” ceritanya membandingkan kesan menonton konser dalam dan luar negeri.
Survei Populix pun menyingkap, minat pegiat konser dalam negeri untuk pergi ke luar negeri juga cukup tinggi. Dari sekitar 600 responden yang berencana menonton konser, 61 persen di antaranya berencana menonton pertunjukkan konser di luar negeri.
Promotor festival musik lokal Cherrypop, Ahmad Sobirin, pun memaklumi keputusan orang-orang memilih melihat pertunjukan musik di luar negeri. Menurutnya, orang yang memilih melancong ke demi nonton konser dipengaruhi oleh penanganan promotor yang lebih baik.
“Kalau kita baca di Indonesia kan banyak sekali apa ya, kasus-kasus yang memang itu aduh lumayan ini sih, lumayan bikin trauma,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Asob ini, Rabu (23/10/2024), merefleksikan pengalaman konser musik di Tanah Air yang berujung miris.
Harga Tiket Konser Makin Mahal Tak Hanya Terjadi di Indonesia?
Harga tiket mahal penampil internasional yang dikeluhkan beberapa penikmat konser bisa jadi sudah terjadi sebelum pandemi COVID-19 melanda.
Hasil penelusuran Tirto terhadap beberapa acara konser besar artis internasional yang berlangsung di Indonesia, menunjukkan, harga tiket konser cenderung tinggi, bahkan sejak tahun 2018.
Konser Katy Perry pada 14 April 2018 misalnya, berkisar antara Rp900 ribu sampai dengan Rp5 juta. Kala itu harga tiket ini juga dikeluhkan oleh netizen.
Fenomena harga tiket yang lebih murah di negara lain juga terjadi di konser ini, setidaknya untuk kategori teratas. Berdasar rangkuman CNN Indonesia, tiket konser Katy Perry di beberapa negara Asia lain diketahui lebih murah.
Di Singapura misalnya, harga tiket Katy Perry berada di rentang 128- 328 dolar Singapura, sekitar Rp1,2 juta - 3,4 juta. Sedangkan di Jepang, tiket konser Katy Perry dimulai dari 10 ribu yen hingga 30 ribu yen atau sekira Rp1,2 juta - Rp3,6 juta.
Dari sembilan konser besar artis internasional di Indonesia yang kami jadikan sampel, rata-rata harga tiket kategori paling bawah adalah Rp1 juta. Sementara harga tiket termahal menyentuh angka Rp5 juta.
Kami juga mencoba melihat harga tiket konser dalam format festival. Festival musik metal, Hammersonic, yang secara konsisten berlangsung sejak tahun 2012, menunjukkan kecenderungan kenaikan harga yang signifikan juga.
Pada tahun 2012, tiket acara festival musik tersebut dibanderol Rp150 ribu-Rp200 ribu. Sementara pada gelaran teranyar, pada tahun 2024, harga tiket event yang menjadi dua hari itu menjadi Rp1,2 juta-Rp2,5 juta, atau naik hampir 10 kali lipat, cukup tinggi, bahkan jika memasukkan faktor inflasi tahunan.
Vokalis dan gitaris grup band Trivium Matt Heafy tampil pada hari ke-2 Hammersonic 2023 di Pantai Karnaval Ancol, Jakarta, Minggu (19/3/2023). Band heavy metal asal Orlando, Florida, tersebut membawakan sejumlah lagu diantaranya Until the World Goes Cold, The Heart from Your Hate, dan The Phalanx. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU
Namun, menurut Jofie, yang tidak pernah absen hadir di pesta musik metal itu, kenaikan harga yang signifikan ini masih bisa sangat dipahami.
“Kalau menurut gue, mungkin ya karena memang harga band-nya juga ikut mahal ya. Karena mungkin 10 tahun lalu mereka belum setenar sekarang juga. Awal-awal Hammersonic itu kayaknya Rp100 ribuan, sekarang sudah Rp2 juta. Cuman ya emang headliner-nya juga beda, kelasnya juga beda. Wajar sih kalau Slipknot (yang tampil di Hammersonic 2023), harganya jadi segitu,” tutur Jofie.
Fenomena melesatnya harga tiket konser musik tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara Eropa. Sebuah studi baru dari konsultan Prancis, PMP Strategy, menunjukkan, penyelenggara festival dan tur musik internasional telah mengerek harga tiket–dengan harga konser termahal naik hampir dua kali lipat dari tingkat inflasi sejak 2019.
Menurut analisis firma konsultan tersebut, selama lima tahun terakhir, alias dari 2019 - 2023, tingkat inflasi kumulatif telah mencapai 13,6 persen. Meski harga tiket konser terendah naik lebih kecil dari tingkat inflasi selama kurun waktu tersebut, yakni sebesar 13,4 persen, harga tiket konser termahal diketahui membengkak hingga 22,7 persen, jauh melebihi kenaikan inflasi.
Riset YouGov tahun 2022 di kalangan warga Inggris bahkan mengungkap, sebanyak 51 persen dari sekitar 2 ribu responden mengatakan bahwa harga tiket membuat mereka tidak dapat menghadiri konser setidaknya sekali dalam 5 tahun terakhir, terhitung sejak pertunjukan musik pada 2017.
Lebih dari tiga perempat responden (77 persen) menilai bahwa harga tiket untuk menonton konser musik secara live mahal, di mana 44 persen di antaranya mengatakan bahwa harganya "sangat" mahal.
Meski mayoritas responden survei tersebut mengatakan harga tiket konser yang wajar tidak lebih dari 40 pound (sekira Rp800 ribu), namun sebagian besar penonton konser pernah membayar setidaknya dua kali lipat harga tersebut.
Ada Komponen Pajak dan Biaya Admin yang Terselip
Di tengah keluhan masyarakat soal mahalnya harga tiket konser musik di Indonesia, pengamat musik, Wendi Putranto, beranggapan konser musik jenis festival yang digelar di Tanah Air justru sangat terjangkau.
Wendi memberi contoh festival musik Synchronize, yang tahun ini menampilkan 160 musisi, tapi bisa dinikmati hanya dengan merogoh kocek senilai Rp Rp275 ribu-Rp375 ribu untuk sehari. Sementara untuk menikmati penampilan musik di Synchronize selama tiga hari penuh, tiketnya dibanderol Rp800 ribu.
“Jadi sebenarnya kalau dibilang mahal untuk festival musik, justru nggak. Karena mereka dengan bayar segitu, sehari mereka bisa nonton lebih dari 10 band kalau kuat. Karena panggungnya ada delapan, kan musti mondar mandir. Tinggal mereka tandain saja sesuai selera, yang mana yang mereka suka, yang mana yang mereka mau tonton,” ujarnya ketika mengobrol dengan Tirto, Rabu (23/10/2024).
Wendi menjelaskan, berbeda kasusnya ketika membicarakan soal festival musik internasional. Misalnya, kata Wendi, festival musik metal Hammersonic tahun ini yang mendatangkan band asal Amerika Serikat, Lamb of God, wajar jika dihargai Rp1 juta - Rp2 juta.
“Ketika dibilang mahal ya sangat beralasan. Karena kebanyakan line-up [artis] yang tampil itu band-band luar negeri. Dari berbagai penjuru dunia lah asalnya. Yang pastinya untuk menerbangkan mereka biaya tiketnya mahal. Jadi itu sangat masuk akal sih untuk tiket Hammersonic segitu,” kata Wendi.
Menurut Wendi, fenomena mahalnya tiket konser justru terlihat di konser musik K-pop. Meski begitu, antusiasme gelaran musik dari artis Negeri Ginseng ini selalu membludak, bahkan seringkali diwarnai oleh usaha pedagang yang bervariasi di sekitaran lokasi konser.
Eks Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, sebelumnya pernah mengungkap alasan di balik mahalnya harga tiket konser di Tanah Air, terlebih jika melibatkan musisi luar negeri. Salah satu faktor yang dikatakan memengaruhi yakni biaya pengurusan izin acara yang tidak murah dan prosesnya yang cukup panjang.
"Ini karena biaya mengurusnya super mahal. Biaya resmi, non-resmi, dan biaya pengamanannya ini tidak fixed dan tidak transparan," kata Sandiaga dalam Indonesia Tourism Outlook (ITO) 2023 di Jakarta, Selasa (28/11/2023).
Salah satu promotor musik di Indonesia, Ahmad Sobirin, menjelaskan harga tiket yang dipatok umumnya digunakan untuk membayar biaya produksi acara. Meski begitu, angka tersebut kerap kali belum mencakupi komponen pajak dan biaya admin, yang disebut cukup tinggi.
“Jadi memang ada apa ya, jadi ada instrumen yang tinggi banget di situ, ada 20 persen kan, 15 persen pajak, lima persen admin fee, tinggi banget. Tapi memang itu cost yang memang harus kita keluarkan, pajak itu kan pasti kita laporan. Kemudian admin fee juga, kita kerjasama dengan Ticketbox itu kan pasti ada instrumen biaya di sana juga. Memang itu mau nggak mau harus ada,” ujar Asob.
Menurut Asob–yang jadi tokoh penting di balik perhelatan Cherrypop di Yogyakarta, kisaran pajak untuk tiket konser tergantung pada daerah konser masing-masing, tapi rata-rata berada di kisaran 10 sampai 15 persen.
“Seperti di Jogja itu sekitar segitu, Jakarta juga sekitar segitu. Mungkin yang aku tau pajak yang paling tinggi dulu itu di Surabaya itu lebih dari 20 persen pajak itu kan. Tapi sekarang kayaknya juga udah menyesuaikan,” kata Asob.
Suasana di Record Store. tirto.id/Dina T Wijaya
Lebih lanjut, Asob bilang, pajak yang dimasukkan jadi komponen harga tiket konser itu nantinya disetorkan ke pajak daerah setempat.
Berbicara tentang perhitungan harga tiket konser, Asob mengungkap, pihaknya kerap melakukan survei terkait acara serupa, sebelum menggelar konser musik. Sebab jika harga tiket melebihi harga pasar, maka bisa dipastikan bakal kalah saing.
“Kemudian kedua, pasti bobot line-up yang kita bawa itu akan menentukan harga tiket juga. Kemudian konsep yang kita bawa pun juga akan saya kira akan mempengaruhi keberanian kita menentukan harga tiket. Tiga hal itu mungkin ya,” ujar Asob.
Asob juga menyampaikan, sebelum membuat festival musik, ia terlebih dahulu mencari data survei terkait berapa kali orang menonton konser dalam satu bulan. Angka itu kemudian ia sesuaikan dengan Upah Minimum Regional (UMR) setempat.
“Artinya ketika orang nonton konser setahun 5 kali dan UMR Jogja yang mungkin nggak sampai Rp3 juta itu kan nggak mungkin akan kita bebani umpamanya 5 kali, dikali Rp300 ribu, kemudian jatuhnya Rp1,5 [juta]. 50 persen sendiri untuk nonton konser itu kan ga mungkin,” katanya.
Perizinan Acara Digital Jadi Solusi?
Beberapa upaya mengurangi kerumitan pengurusan izin acara konser musik sudah dilakukan pemerintah, salah satunya dengan digitalisasi perizinan konser.
Sandiaga menyatakan, lewat digitalisasi, proses perizinan pihak promotor kepada pemerintah dan pihak terkait bisa menjadi lebih singkat dan tak sulit, sehingga biayanya pun jadi lebih murah.
"Jadi menggunakan digital, atas arahan dari pemerintah, kita mendigitalisasi. Kami berharap proses perizinan event, khususnya musik, bisa kita lakukan cepat, murah, dan tidak berbelit-belit," terangnya.
Terbaru pada awal tahun ini, Sandiaga menyampaikan kalau proses finalisasi digitalisasi perizinan event masih terus bergulir. Pihaknya mengaku sedang menunggu konfirmasi dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait mekanisme distribusi PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) biaya pengamanan event oleh Polri.
"SuperApp Presisi milik Polri sedang dalam proses integrasi dengan Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI) dari Kemenkeu agar proses pembayaran lebih cepat di OSS (Online Single Submission)," kata Sandiaga, dalam The Weekly Brief with Sandi Uno di Gedung Sapta Pesona, Jakarta Pusat, Senin (29/1/2024).
Selain itu, Sandiaga menyebut, Kemenparekraf saat ini sedang menambahkan layanan perizinan event musik berskala internasional KBLI 90030 (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) terkait Aktivitas Impresariat Bidang Seni dan Festival Seni.
"Jadi para promotor berskala internasional bisa menggunakan KBLI tersebut dan akan kita migrasikan ke digitalisasi dan kita harapkan OSS bermigrasi ke versi 2.0," ujarnya.
Menyoal perizinan konser musik di Indonesia, Asob mewakili promotor merasa proses yang telah dilalui sepanjang 10 tahun berkecimpung di industri ini tak pernah menjumpai kendala. Meski demikian, ia belum merasakan adanya perizinan digital dan satu pintu.
“Kalau di Jogja belum sih, kalau untuk artis lokal itu saya kira belum. Konser-konser internasional kemungkinan sudah [ada perizinan digital] disitu,” kata Asob.
Asob memberi contoh sejumlah lapis perizinan yang mesti ditempuh untuk sebuah festival musik lokal yang dihelat, mulai dari level kelurahan dan kecamatan, hingga level paling atas, kepolisian daerah setempat.
“[perizinan digital dan satu pintu] itu kan karena banyak keluhan bagaimana untuk mengurus izin itu kita harus ngeluarin invitation, kadang-kadang susahnya di situ, karena harus ngeluarin invitation yang sangat banyak untuk perizinan gitu sih, terutama untuk konser/festival yang mendatangkan artis-artis yang sangat terkenal," pungkas Asob, menutup percakapan.
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email [email protected].
tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty