tirto.id - Ratusan siswa dari sejumlah sekolah tingkat menengah menggelar protes di tempat mereka mengenyam pendidikan, usai terancam tidak bisa mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Hal ini disebabkan pihak sekolah belum menuntaskan pengisian finalisasi pangkalan data sekolah dan siswa atau PDSS. Imbasnya siswa merasa dirugikan karena kehilangan kesempatan mengikuti Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru 2025 jalur prestasi.
Pengisian PDSS semula dibuka sejak 6-31 Januari 2025. Pengisian PDSS menjadi tahapan yang harus dilakukan pihak sekolah untuk mengikutsertakan siswa di SNBP 2025. Karena terdapat alur pengisian data, seperti untuk daftar siswa peserta. Ini ditentukan lewat kriteria unggulan (eligible). Jumlah kuota berbeda-beda berdasarkan akreditasi.
Namun hingga penutupan, terdapat ratusan sekolah yang belum finalisasi PDSS. Dalih yang mengemuka beragam: mulai dari keteledoran hingga alasan teknis seperti sistem yang error. Imbasnya, gelombang protes dilayangkan siswa karena sudah diperlakukan semena-mena.
Sebagaimana protes ratusan siswa kelas 12 yang terjadi di SMKN 2 Solo, Senin (3/2/2025). Sekolah mereka belum menyelesaikan PDSS hingga waktu pengisian ditutup. Unjuk rasa para siswa ditemani wali murid, dengan menggelar aksi membentangkan spanduk protes. Tertulis: 'Kami Berhak SNBP' di depan dan halaman sekolah.
Salah satu siswa kelas XII SMKN 2 Solo, Aura, menerangkan bahwa dirinya dan ratusan rekannya kecewa atas kegagalan finalisasi PDSS yang dilakukan pihak sekolah. Pasalnya mereka jadi hanya mendapat kesempatan masuk perguruan tinggi lewat SNBT alias jalur tes. Sementara salah satu wali murid yang ikut hadir dalam aksi protes siswa, Nayla, menilai pihak sekolah lalai karena mengorbankan kesempatan siswa untuk bisa mengikuti SNBP.
"Ternyata pihak sekolah lalai. Bisa lupa, bisa dibilang dia tuh ya leha-leha gitu. Kan dari tanggal 6 sampai 31 Januari ya, tapi enggak diregistrasi,” kata Nayla.
Peristiwa unjuk rasa serupa terjadi di SMAN 7 Cirebon. Ratusan siswa itu melakukan protes karena pihak sekolah terlambat mendaftarkan PDSS. Pihak sekolah berdalih belum finalisasi data sebab ada perubahan keikutsertaan siswa. Namun, alasan itu dianggap tak memuaskan karena tidak diberikan solusi.
Logo SNBP. foto/https://snpmb.bppp.kemdikbud.go.id/snbp/daftar-ptn-snbp
Masih di hari yang sama, siswa SMAN 1 Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar), melakukan aksi unjuk rasa serupa karena pihak sekolah belum membereskan PDSS. Mereka khawatir kelalaian sekolah membuat siswa harus menanggung akibat tidak bisa mengikuti SNBP. Siswa yang kecewa menggelar aksi demonstrasi di halaman sekolah yang terletak di Jalan Raden Kusno, Kecamatan Mempawah Hilir. Pihak sekolah mengaku terkendala oleh persoalan teknis yang membuat input data PDSS sering gagal hingga waktu tenggat habis.
Kesemrawutan proses pendaftaran SNBP 2025 ini mengindikasikan lemahnya akuntabilitas institusi pendidikan terhadap masa depan peserta didik. Padahal, saban tahun SNBP adalah kesempatan jalur masuk perguruan tinggi negeri bagi siswa dengan prestasi akademik yang baik. Jika sekolah lalai dalam tahap PDSS, maka siswa yang berhak untuk mengikuti SNBP otomatis kehilangan kesempatan. Situasi ini tidak hanya mengecewakan, tetapi merampas hak siswa memperoleh akses pendidikan tinggi tanpa kesalahan yang mereka buat sendiri.
Untungnya, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah membuka lagi kesempatan bagi sekolah yang belum melakukan finalisasi PDSS. Sekolah diberikan waktu hingga 5 Februari 2025 hingga pukul 15.00 WIB untuk melengkapi pendaftaran. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, mengungkapkan kebijakan ini diambil karena sebanyak 373 sekolah yang sudah melengkapi data isian siswa memenuhi syarat (eligible), namun belum melakukan finalisasi.
Mu’ti tak ingin hal itu menyebabkan siswa di sekolah-sekolah tersebut tidak dapat mendaftar SNBP. Hingga Selasa (4/2/2024), sekolah yang sudah melengkapi pendaftaran ada sebanyak 228 sekolah dari total 373 sekolah. Ratusan sekolah yang belum melakukan finalisasi itu, harus mengirimkan dokumen pernyataan surat kuasa kepada Panitia SNPMB.
Surat kuasa itu berisi identitas sekolah, pernyataan PDSS lengkap atau tinggal pemfinalan, dan memberikan kuasa pada Panitia SNPMB membantu finalisasi. Mu’ti pun menegaskan, dampak yang ditimbulkan dari kelalaian PDSS sepenuhnya menjadi tanggung jawab kepala sekolah. Pasalnya, sekolah yang berhasil menyelesaikan PDSS tepat waktu, sudah tercatat sebanyak 21.003 sekolah dan siswa yang melakukan finalisasi nilai 908.128 siswa.
Artinya, banyak sekolah yang berkomitmen penuh dan peduli terhadap jadwal dan tahapan pengisian PDSS. Jumlah sekolah yang menuntaskan PPDS turut mengalami peningkatan 1.513 sekolah, dengan jumlah 63.465 siswa lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Mu’ti akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi soal perubahan jadwal SNPMB ini.
"Sekolah tidak boleh karena kami berikan kesempatan kemudian menjadi alasan untuk tidak segera memproses, supaya ini tidak menjadi alasan untuk sekolah merasa mendapat kelonggaran dan kemudian tidak segera memenuhinya," kata Mu’ti dalam keterangannya, Rabu (5/2/2025).
Sementara itu, Ketua Umum Tim Penanggung Jawab Panitia SNPMB 2025, Eduart Wolok, menyatakan kesempatan ini hanya diberikan bagi sekolah yang telah melengkapi data isian siswa eligible, seperti melengkapi nilai siswa dalam 5 semester, namun belum melakukan finalisasi. Sehingga, peserta yang belum melengkapi data tidak difasilitasi karena menghargai sekolah yang telah tertib dan disiplin.
Bagi sekolah yang memenuhi kriteria, panitia akan membantu finalisasi dengan mengajukan dokumen pernyataan surat kuasa kepada Panitia SNPMB yang isinya meliputi Identitas Sekolah (Nama Kepala Sekolah, NIP, Jabatan, NPSN, Nama Sekolah, Alamat, Kota/Kab).
“Bagi sekolah yang tidak memenuhi kriteria, Panitia SNPMB tidak dapat mengakomodasi finalisasi pengisian PDSS dengan mempertimbangkan faktor akuntabilitas, keberadilan, dan audit sistem, serta menghargai sekolah yang telah tertib dan berdisiplin dalam pengisian PDSS,” kata Eduart.
Jangan Abaikan Hak Anak
Keputusan Kemdikdasmen untuk memperpanjang pengisian finalisasi PDSS memang patut diapresiasi. Hal itu dapat memastikan kesempatan bagi siswa yang pantas mengikuti SNBP bisa melakoni haknya untuk mencoba menembus perguruan tinggi jalur prestasi. Namun, ini perlu menjadi evaluasi bagi otoritas pendidikan dan sekolah agar menjaga hak pendidikan tinggi yang terbuka bagi seluruh siswa.
Pendidikan bukan cuma pengajaran di kelas, tetapi juga memastikan setiap siswa mendapat aksesibilitas yang sama. Keteledoran mengelola data sekolah bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan bentuk pengabaian terhadap hak peserta didik. Kemdiktisaintek dan Kemdikdasmen seharusnya lebih proaktif dalam mengawal proses SNPMB. Jika memang banyak sekolah lalai, ini menjadi indikasi bahwa sistem pengawasan dan pendampingan dari otoritas terkait masih lemah.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai akar persoalan ini jelas melibatkan kelalaian banyak pihak. Sekolah tidak melakukan update, dinas pendidikan tidak cakap mengawasi, pengawas sekolah tidak perhatian, dan pemerintah di level kementerian seakan tidak berkoordinasi dengan baik. Kelalaian kolektif ini yang akhirnya mengorbankan siswa yang tidak tahu-menahu.
Ubaid menilai kelalaian ini seharusnya tak boleh terulang dari tahun ke tahun. Peserta didik adalah penerima manfaat dari jalur SNBP. Maka sebagai penerima manfaat, tak seharusnya kegagalan akibat kelalaian pihak ketiga membuat mereka yang berhak, jadi dikorbankan.
“Jadi pangkalan data yang online atau SNBP adalah alat untuk mencapai tujuan yakni akses pendidikan tinggi yang lebih luas dan inklusif. Kalau sistemnya tidak sampai ke tujuan itu ya maka perlu dievaluasi,” ucap Ubaid kepada wartawan Tirto, Rabu.
Ubaid menekankan, pihak-pihak yang lalai sudah melanggar hak anak dalam mengenyam pendidikan. Tugas pemerintah adalah menjamin hak ini. Sebab kesemrawutan ini bukan kesalahan peserta didik. Ini kesalahan sekolah dan para pemangku kebijakan.
Ubai berpendapat seharusnya waktu pendaftaran diperpanjang lewat sistem gelombang. Di sisi lain, sekolah dengan akses internet dan sistem yang kurang mumpuni sebaiknya dikasih kelonggaran dengan opsi mekanisme lainnya dalam pendaftaran SNBP.
Sementara itu, Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, memandang wajar jka siswa harus sampai berdemonstrasi terhadap sekolah akibat lalai saat pengisian PDSS. Pasalnya, kata dia, mengikuti SNBP merupakan hak peserta didik dan tidak bisa dihapuskan hanya karena sekolah telah melakukan tindakan yang abai. Rakhmat setuju jika masalah ini berulang, maka harus ada evaluasi terhadap sistem PDSS.
Ilustrasi Ujian Tertulis. (ANTARA FOTO/M Rusman)
Sebab tidak semua sekolah memiliki kemampuan dalam mengakses informasi dan sistem internet yang baik. Jika dengan sistem sekaran ini, tentu kelalaian hanya akan mengorbakan siswa. Padahal ada siswa sudah tercatat dan eligible untuk mengikuti seleksi PDSS.
“Ketika mereka tidak bisa mendaftar maka dia adalah korban dari human error atau technical error. Sekolah harusnya aware dan rutin melakukan pengecekan dan monitoring PDSS karena ini sudah program tahunan,” ucap Rakhmat kepada wartawan Tirto, Rabu.
Rakhmat menilai, pemerintah perlu melakukan opsi sanksi bagi sekolah yang sengaja lalai dan abai terhadap kewajiban mendaftarkan siswanya dalam seleksi SNBP. Kemdikdasmen diharapkan tidak hanya melihat masalah dari atas, namun harus turun langsung ke bawah untuk menggali keteledoran sekolah dengan investigasi kesemrawutan pengisian PDSS.
Pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, menilai sektor pendidikan saat ini relatif belum memiliki kualitas layanan berbasis internet yang memadai. Kesemrawutan ini bukan cuma terjadi dalam pengisian PDSS, namun juga pada PPDB yang selalu muncul setiap tahun. Artinya, pemerintah perlu betul-betul memperhatikan kendala teknis tersebut.
Perlu mitigasi untuk mengurangi atau mengeliminasi risiko eror terjadi kembali. Di sini perlu tim yang kuat, solid, profesional, dan tidak ada potensi konfik kepentingan terkait pendataan.
Di sisi lain, bisa saja berdalih terus menyalahkan sistem teknologi untuk hal yang sebetulnya disebabkan kelalaian manusia alias human error. Dengan demikian, evaluasi dan sasaran perbaikan bukan cuma dari sisi teknis-teknologinya saja, tapi juga sistem dan sumber daya manusia di balik teknologi yang dijalankan.
“Di masa-masa kritis pendaftaran, pimpinan perlu turun langsung menonitor, tim komunikasi perlu berjaga-jaga, memonitoring dan evaluasi secara responsif, sehingga potensi eror bisa dideteksi sejak awal dan hak-hak siswa tidak terlanggar,” ujar Edi kepada wartawan Tirto, Rabu.
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang