Kisah Abi Thalib yang merupakan paman Nabi Muhammad SAW perlu kita ketahui sebagai umat Islam. Dalam sejarah Islam, kiprah sosok yang memiliki nama lengkap Abdul Manaf bin Abdul Muthalib begitu penting dalam kehidupan Nabi.
Sebagaimana catatan sejarah, Abi Thalib terkenal sebagai salah satu tokoh dari Suku Quraisy yang begitu terhormat. Bukan hanya karena ia adalah anak dari pemimpin Suku Quraisy saat itu, namun sifatnya begitu mulia dalam membantu orang lain.
Sepeninggal ayahnya di tahun 578 M, ia mendapatkan tugas untuk mengelola sebuah lembaga amal yang bernama Rifadah. Lembaga tersebut selalu menyediakan berbagai makanan bagi mereka orang miskin yang sengaja datang ke Makkah serta melaksanakan ibadah haji.
Tak hanya itu, Rifadah juga selalu membantu bagi mereka datang ke Makkah meski di luar musim haji.
Kisah Abi Thalib Merawat Nabi Muhammad SAW
Sebagai sosok yang sederhana dan tidak bergelimang harta, Abi Thalib mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat saat itu.
Ia memiliki saudara tertua yang bernama Haris, namun kondisinya kekurangan harta. Berbeda dengan saudaranya yang bernama Abbas yang kaya raya, namun terkenal pelit alias kikir.
Kendati begitu, Abi Thalib tetap mau merawat serta mengasuh keponakannya, yakni Nabi Muhammad SAW yang mana kedua orang tuanya meninggal dunia. Bahkan, ia memperlakukan keponakannya seperti anak sendiri.
Saat dewasa, Abi Thalib membawa Nabi Muhammad melakukan perjalanan ke Syam atau Syria untuk berdagang. Di saat itu pula di tengah perjalanan ia bertemu pendeta Nasrani yang bernama Bahira.
Dalam pertemuan itu, Bahira melihat Nabi Muhammad SAW memiliki tanda-tanda kenabian. Sehingga ia pun menyampaikan hal itu ke Abi Thalib dan berpesan supaya menjaga dengan baik keponakannya itu.
Dari perjalanan dagang ini, menjadi titik awal Nabi Muhammad belajar berdagang dan mendapatkan bantuan modal untuk usaha dari Khadijah yang kelak menjadi istrinya.
Tantangan setelah Pengangkatan Nabi Muhammad SAW
Ketika Nabi Muhammad SAW berusia 40 tahun dan diangkat oleh Allah SWT menjadi Nabi, tantangan semakin besar dari kaum Quraisy. Sebagai paman, Abi Thalib tetap setia menjaga keponakannya itu dari berbagai penolakan masyarakat saat itu.
Walaupun secara kepercayaan Abi Thalib tidak menyatakan masuk Islam, namun ia selalu mendukung gerakan dakwah nabi kepada kaum Quraisy.
Bahkan, saat para pemuka Suku Quraisy mendesak agar Nabi menghentikan dakwahnya, namun Abi Thalib bersikeras memilih mempertahankan Nabi Muhammad agar bisa menyebarkan agama Islam.
Dari sikapnya itu, tentu saja berdampak besar terhadap Nabi Muhammad maupun pengikutnya, termasuk Abi Thalib juga mengalami penderitaan yang sama.
Sementara itu, di tahun 619 M, Abi Thalib meninggal dunia dan membuat keponakannya itu sangat berduka.
Bahkan, tahun meninggalnya itu terkenal dengan sebutan ‘Am al-Khuzn atau tahun berduka cita. Apalagi di tahun yang sama istri Nabi, yakni Khadijah, meninggal dunia.
Meski meninggal dalam keadaan tidak memeluk Islam, beberapa kalangan seperti halnya Syiah meyakini jika Abi Thalib sudah Islam. Akan tetapi ia menyembunyikan keyakinannya itu demi kepentingan dakwah Islam keponakannya.
Sementara itu, sepeninggal Abi Thalib, anak-anaknya lah yang melanjutkan perjuangan untuk mensyiarkan ajaran Islam bersama Nabi Muhammad, seperti Ja’far, Ali, serta Uqail.
Dari kisah Abi Thalib ini, kita bisa mengambil pelajaran yang begitu berharga, yakni perjuangan seorang paman yang senantiasa merawat dan melindungi keponakannya hingga akhir hayat. (Muhafid/R6/HR-Online)