tirto.id - Pada suatu malam di hari kelima belas bulan Ramadhan tahun 358 Hijriah, penduduk Kairo bersiap menyambut kedatangan Khalifah Al-Mu’izz Lidinillah, pemimpin Kekhalifahan Fathimiyah yang akan memasuki kota. Sebelum kedatangannya, penduduk Kairo telah diberitahu bahwa mereka akan menyambutnya dengan cara yang istimewa.
Sebagai bentuk penghormatan dan kegembiraan, mereka diminta membawa obor dan lilin untuk menerangi jalan. Saat malam tiba, penduduk mulai berkumpul di sepanjang jalan Taht el-Rab yang akan dilalui oleh khalifah.
Lilin diletakkan dalam telapak kayu, lantas ditutupi telapak tangan agar terhindar dari sapuan angin. Begitu juga obor yang dipegang erat dalam genggaman penduduk. Cahayanya memancar ke segala penjuru, menciptakan pemandangan yang magis. Jalan-jalan yang biasanya gelap kini diterangi oleh ribuan titik cahaya, seolah-olah bintang-bintang turun ke bumi.
Suasana semakin meriah ketika terdengar kabar bahwa sang khalifah telah mendekati kota. Ia menunggangi kuda dari Bab Zuweila, gerbang kekhalifahan yang melintasi beberapa desa dan Markas Keamanan Kairo.
Penduduk bersorak gembira, mengangkat penerangan mereka tinggi-tinggi sebagai tanda penghormatan saat khalifah tiba. Anak-anak dan remaja berlarian, sementara orang dewasa berdiri di pinggir jalan, menyanyikan pujian dan doa untuk sang pemimpin.
Obor dan lilin itu kemudian bertransformasi menjadi lentera yang dikenal dengan fanus dalam bahasa Arab tunggal, sedangkan jamaknya menjadi fawanis.
Lentera ini salah satunya digunakan pada bulan Ramadhan yang disebut Fanus Ramadhan atau Lentera Ramadhan. Ia tidak hanya menjadi alat penerangan, tetapi juga simbol kebahagiaan, persatuan, dan semangat menyambut bulan penuh berkah.
Di jalan-jalan, para mesaharati--orang atau kelompok yang berkeliling membangunkan orang sahur--kerap membawa lentera. Tradisi ini terus dilestarikan hingga hari ini dengan bentuknya yang khas dan cahayanya yang menawan.
Pada era Khalifah Al-Hakim Biamrillah di abad ke-10 M, ia membuat aturan yang membatasi perempuan untuk keluar rumah. Tetapi pada bulan Ramadhan, aturan itu dikecualikan sehingga kaum perempuan dapat salat di luar serta berkunjung ke rumah tetangga dan saudara usai matahari terbenam.
Lentera Fanus membantu mereka menemukan jalan sekaligus melindungi perempuan dari kegelapan. Hal ini menjadikan fanus bukan hanya sebagai benda dekoratif, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang penting.
Fanus Ramadhan menjadi ikon yang tak tergantikan di Kairo, Damaskus, Allepo, Yerusalem, Gaza, dan Jazirah Arab lainnya. Desainnya berkembang seiring waktu, dari yang berisi lilin atau minyak dan sumbu, menjadi versi modern dengan lampu dan pengeras suara yang berkelap-kelip. Bahkan ada lentera yang dibentuk seperti tokoh budaya populer dan dihiasi dengan gambar pemain sepak bola dan aktor terkemuka.
Tradisi Kuno yang Bersinar
Cahaya menjadi simbol universal dalam berbagai budaya dan tradisi di seluruh dunia. Ia melambangkan harapan, kebahagiaan, dan kemenangan atas kegelapan.
Di Cina, cahaya menjadi pusat perayaan Tahun Baru Imlek melalui berbagai festival, yang diadakan pada bulan purnama pertama dalam kalender lunar. Lentera-lentera dihiasi dengan tulisan atau gambar yang mengandung pesan positif, seperti kemakmuran, kesehatan, dan kebahagiaan.
Dalam tradisi Kristen, cahaya memiliki makna spiritual, terutama dalam perayaan Natal dan Paskah. Seturut sejarawan era Mamluk, Taqi al-Maqrizi dalam Al-Mawa'iz wa Al-I'tibar Bi Dzikir Al-Khitat wa Al-Athar (1913), perayaan Natal dalam Kristen Koptik Mesir melibatkan lentera selama beberapa pekan. Demikian pula dalam tradisi Yahudi, cahaya lilin menjadi elemen penting dalam perayaan Hanukkah selama delapan hari.
Sementara fanus atau lentera tradisional yang digunakan dalam budaya Arab, menurut versi lain, memiliki akar sejarah yang panjang. Menurut beberapa sarjana, fanus berkembang sebagai perpanjangan dari obor yang digunakan dalam festival Firaun di Mesir kuno.
Lentera Fanus. FOTO/iStockphoto
Festival ini merayakan kebangkitan bintang Sirius yang dianggap sebagai pertanda awal banjir tahunan Sungai Nil, sumber kehidupan bagi peradaban Mesir. Obor yang digunakan dalam festival ini kemudian berevolusi menjadi lentera portabel.
Kata "fanus" juga ditemukan dalam istilah Yunani Demotik, “phanos”, yang berarti lentera lebah. Meskipun kata ini telah menjadi bagian dari kosa kata bahasa Arab modern, asal-usulnya menunjukkan ada pertukaran budaya antara dunia Yunani dan Arab pada masa lampau.
Fanus kini sering digunakan dalam perayaan Ramadhan dan Idulfitri. Anak-anak biasanya merayakannya dengan menyanyikan lagu “Wahawy Ya Wahay” sambil membawa lentera. Lagu tersebut merupakan penghormatan kepada bulan sabit yang terkait dengan Ramadhan.
Ragam Lentera Ramadhan
Bentuknya yang unik, dengan kaca berwarna dan ornamen yang indah, membuat Lentera Fanus sering muncul dalam karya seni, dekorasi, dan konten-konten khas Ramadhan. Di beberapa tempat, lentera ini sering menghiasi balkon rumah, masjid, dan pusat perbelanjaan selama bulan puasa. Sering kali pula digantung di pepohonan bak pohon Natal.
Tidak hanya itu, Fanus Ramadhan juga menjadi inspirasi bagi seniman dan desainer. Motif-motifnya sering diadaptasi ke dalam berbagai bentuk, seperti lukisan, kerajinan tangan, hingga desain grafis.
Kiwari, salah satu pusat pengrajin lentera itu masih bertahan di jalan Taht el-Rab, jalur yang dilalui Khalifah Al-Mu’izz Lidinillah. Di sini para pedagang membuat, mengoleksi, dan memamerkan fawanis dengan aneka desain menarik.
“Selama periode Mamluk dan Ottoman, para pedagang dan orang kaya tinggal di istana dan vila, sementara orang miskin tinggal di Taht el-Rab. Ini menyerupai sekolah dengan kelas yang berbagi satu kamar mandi,” tutur Gamal Abdel Rahim, Profesor Arkeologi dan Seni Islam di Universitas Kairo, seperti dikutip Egyptian Mail.
Umumnya Lentera Fanus terbuat dari timah, tembaga, kaleng atau kaca, tetapi sejak ekspansi barang-barang impor dari Cina, lentera dapat digerakkan dengan tambahan musik dan baterai. Beberapa pedagang kerap mengeluhkan hal tersebut.
“Segala sesuatu yang kami gunakan untuk membuat fanus [merupakan barang] impor, dari A sampai Z,” tutur Mohammad Fawzi, pengrajin lentera yang memiliki bengkel dengan ayah dan dua saudaranya, kepada alarabiya.
Mereka akan membuat lentera jauh-jauh hari sebelum Ramadhan. Menurut al-Maqrizi, di lingkungan Fathimiyah Kairo, khalifah akan mengumpulkan sedikitnya lima ratus pengrajin lentera setiap menjelang bulan Ramadhan.
“Saya berusaha sekreatif mungkin untuk membuat setiap lampu saya unik. Saya tidak ingin pelanggan saya datang ke toko dan melihat barang yang sama dipajang. Saya ingin memberikan pelanggan produk yang memiliki identitas mereka sendiri sambil mempertahankan ciri khas bulan suci Ramadhan di Mesir,” ucap Abeer Antar, pengrajin lainnya di Pasar Kairo yang membuat lentera dari tanah liat.
Sementara mengenai harga, Lentera Fanus buatan Mesir tradisional umumnya dibanderol dengan harga kisaran $10 hingga $20, dan buatan dari Cina bisa lebih murah dari harga tersebut.
Meskipun zaman telah berubah, Lentera Fanus tetap mempertahankan pesonanya dengan berbagai varian klasik maupun modern. Lentera “Parlemen” menjadi salah satu yang tertua, dinamai demikian karena kemiripannya dengan gedung Parlemen Mesir. Sementara Lampu “Farouk” dirancang atas permintaan Raja Farouk di hari kelahirannya.
Lalu ada nama-nama lentera lain, seperti Abu Hashwa, Abu Sharaf, dan Abu al-Wlad. Atau jenis lentera besi dan kain khusus yang disebut kerajinan “khayamiya” yang menyebar di distrik Alexandria. Karya ini menghasilkan lentera dengan berbagai bentuk seperti aladin, knafeh, gerobak kacang, bulan sabit, hingga meriam.
tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi