tirto.id - Seluruh gubernur di seluruh provinsi Indonesia wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) paling lambat pada 21 November dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) paling lambat 30 November setiap tahunnya. Hal ini mengacu pada Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dalam proses penetapan UMP ini pun tak pernah absen dengan aksi buruh. Ribuan buruh dipastikan akan kembali turun ke jalan melakukan mogok nasional menuntut kenaikan upah minimum 2025 pada November 2024. Keputusan ini telah disepakati beberapa konfederasi serikat buruh terbesar di Indonesia, serta sekitar 60 federasi serikat pekerja tingkat nasional.
Mogok nasional direncanakan akan dilaksanakan pada 11-12 November dan/atau 25-26 November 2024. Tanggal-tanggal tersebut dipilih secara tentatif, dan aksi ini akan berlangsung selama dua hari penuh. Aksi mogok ini diprediksi akan melibatkan lebih dari 15.000 pabrik di seluruh Indonesia, yang akan berhenti berproduksi selama periode mogok berlangsung.
“Total buruh yang akan ikut serta dalam aksi ini diperkirakan mencapai 5 juta orang, yang tersebar di berbagai sektor industri di Indonesia,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dalam pernyataanya kepada Tirto, Selasa (29/10/2024).
Aksi mogok nasional dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum. Bukan berdasarkan undang-undang mogok kerja di tempat kerja, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Kegiatan ini bahkan sudah menjadi agenda tahunan buruh untuk memperjuangkan hak dan kesejahteraannya.
Pada tahun depan, buruh setidaknya menuntut kenaikan upah minimum tahun 2025 sebesar 8 persen hingga 10 persen. Dasar perhitungan kenaikan tersebut adalah, inflasi 2025 yang diperkirakan sebesar 2,5 persen dan pertumbuhan ekonomi sekitar 5,2 persen. Jika dijumlahkan, maka inflasi dan pertumbuhan ekonomi menghasilkan angka 7,7 persen.
Selain itu, di kawasan industri, pada 2024, buruh mengalami "nombok" atau tambahan biaya hidup, bukan kenaikan upah. Sebagai contoh, inflasi di kawasan industri, terutama di Jabotabek, tercatat 2,8 persen, sementara kenaikan upah hanya 1,58 persen. Artinya, buruh harus nombok sekitar 1,3 persen (selisih antara inflasi 2,8 persen dan kenaikan upah 1,58 persen).
“Dengan demikian, angka 8 persen sangat logis, yaitu berasal dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi ditambah faktor nombok sebesar 1,3 persen,” imbuh Said Iqbal.
Kedua, ada faktor disparitas upah yang juga menjadi perhatian. Di wilayah-wilayah perbatasan, kesenjangan upah atau disparitas masih tinggi. Misalnya, upah di Karawang lebih tinggi dibandingkan di Purwakarta, dan upah di Purwakarta lebih tinggi dibandingkan di Subang. Untuk mengatasi kesenjangan ini, ditambahkan angka disparitas sebesar 2 persen.
“Berdasarkan analisis Litbang Partai Buruh dan KSPI, tambahan ini menghasilkan kenaikan 10 persen, untuk mencegah kesenjangan yang semakin melebar,” ujar Said Iqbal.
Jika ditarik mundur ke belakang, Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak pernah naik double digit sejak 2017. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, UMP hampir selalu naik di atas 10 persen. Pada 2013, misalnya, UMP naik 19,1 persen, sementara pada 2014 sebesar 17,44 persen.
Pada tahun lalu, atau 2023 kenaikan UMP ditetapkan maksimal 10 persen. Tetapi tidak ada satu pun provinsi yang mengerek UMP hingga 10 persen atau double digit. Pemerintah pusat melalui Kementerian Ketenagakerjaan menetapkan kenaikan rata-rata UMP 2023 dari UMP 2022 hanya sebesar 7,5 persen. Ini pun jauh lebih rendah dibanding permintaan buruh sebesar 15 persen saat itu.
Formula Perhitungan UMP 2025
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Timboel Siregar, menjelaskan, secara normatif mengacu pada Pasal 26 PP Nomor 51 Tahun 2023, kenaikan UMP/UMK menggunakan rumus: Inflasi Provinsi + (Pertumbuhan Ekonomi Provinsi x Indeks). Secara year on year (yoy) atau Oktober 2023 – September 2024 tingkat inflasi sebesar 1,84 persen dan secara tahun kalender ataupun year to date terjadi inflasi sebesar 0,74 persen.
Bila tingkat inflasi provinsi berkisar rata-rata 1,84 persen dan rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi sekitar 5 persen, maka kenaikan UMP/UMK 2025 tertinggi sebesar 3,34 persen (= 1,84 persen + (5 persen x 0,3)), dan terendah yaitu 2,34 persen (= 1,84 persen + (5 persen x 0,1)).
Maka, dalam hal nilai UMP/UMK tahun berjalan pada wilayah tertentu diperkirakan akan melebihi rata-rata konsumsi rumah tangga dibagi rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada provinsi atau kabupaten/kota. Dengan demikian, nilai penyesuaian UMP/UMK dipastikan akan lebih rendah lagi karena perhitungannya tidak melibatkan nilai inflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi provinsi x indeks.
“Saat ini memang daya beli masyarakat menurun, dan terjadinya deflasi selama 5 bulan secara berturut-turut menjadi penguat argumentasi terjadinya penurunan daya beli tersebut. Bila kenaikan UMP/UMK 2025 dengan rumus yang diatur di Pasal 26 PP No. 51 Tahun 2023, maka daya beli buruh akan terus menurun,” ujar dia kepada Tirto, Selasa (29/10/2024).
Timboel mengatakan, untuk mengembalikan daya beli masyarakat, khususnya untuk daya beli pekerja, maka seharusnya pemerintah memberikan perlakuan khusus terhadap kenaikan UMP/UMK 2025. Permintaan buruh agar kenaikan UMP/UMK di kisaran 8-10 persen cukup wajar.
“Oleh karenanya penting adanya kebijakan khusus dalam penetapan kenaikan UM 2025 oleh gubernur (mayoritas akan dilakukan oleh PJ Gubernur) dengan menetapkan indeks sebesar 1 (satu) sehingga kenaikan upah minimum 2025 bisa di atas 7 persen,” jelas dia.
Tentunya, kebijakan tersebut juga harus didukung dari sisi pembiayaan konsumsi. Misalnya kenaikan PPN 1 persen di 2025 ditunda pelaksanaannya, termasuk tidak memberlakukan kebijakan baru seperti menaikan biaya transportasi KRL.
“Dengan kenaikan upah minimum yang cukup baik, maka kualitas daya beli pekerja akan pulih, akan meningkatkan permintaan dan menyebabkan pergerakan barang dan jasa semakin meningkat,” ujar dia.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menambahkan kenaikan UMP seharusnya memang berpatokan pada dua variabel. Pertama pertumbuhan ekonomi dan kedua inflasi (akhir 2024). Dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi saat ini, maka kenaikan 8-10 persen menurutnya cukup moderat dan sesuai dengan perhitungan. Ini sangat sesuai dengan inflasi yang memang lagi melambat, namun pertumbuhan ekonomi bisa di angka 5 persen-an.
“Minimal ada unsur kenaikan harga kebutuhan dan reward pertumbuhan ekonomi,” ujar Huda kepada Tirto, Selasa (29/10/2024).
Maka, menurut Huda yang perlu didorong adalah penghilangan “alfa” yang ada di perumusan pertumbuhan upah minimum saat ini. Angka “alfa” ini akan mengurangi pertumbuhan upah minimum, di mana yang awalnya di 8 persen, bisa berkurang hingga 3 persen saja.
“Kalau saya mungkin [kenaikan UMP 2025] di angka 7-9 persen. Inflasi kita mungkin kurang lebih 2.5 persen. Pertumbuhan ekonomi di angka 5 persen,” jelas dia.
Formula perhitungan UMP 2025 sejauh ini masih terus digodok oleh Kemnaker. Pada prinsipnya pemerintah juga mendengarkan berbagai masukan dari luar, termasuk usulan penyesuaian indeks tertentu atau alpha di dalam formula perhitungan upah minimum tahun 2025.
“Saat ini masih dibahas internal Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker," ujar Kepala Biro Humas Kemnaker, Sunardi Manampiar Sinaga, saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (29/10/2024.
Tak Mudah Merumuskan UMP yang Ideal
Di sisi lainnya, Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, menilai UMP dan UMK masih terus mencari bentuk yang ideal. Namun bentuk yang ideal ini, kata dia, tidak mudah dirumuskan karena menyangkut dua pemangku kepentingan yang saling bertolak belakang.
“Upah bagi buruh merupakan income, tapi bagi perusahaan merupakan beban,” jelas dia kepada Tirto, Selasa (29/10/2024).
Maka, kata Hadi, idealnya kebijakan penetapan upah mesti disinkronkan dengan kebijakan bidang ekonomi yang lain, sehingga seharusnya yang menangani masalah upah ini bukan Kemnaker langsung, tetapi di bawah Kemenko Perekonomian. Karena percuma jika UMP/UMK tidak naik, tapi harga BBM naik yang diikuti harga barang lainnya.
“Atau upah dinaikkan tapi pengusaha masih dibebani biaya lain yang seharusnya tidak dibebankan,” jelas dia.
Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Tadjudin Nur Effendi, melihat bahwa pada prinsipnya sistem pengupahan yang saat ini belum mencerminkan keadilan. Karena kenaikan UMP/UMK terjadi di provinsi atau di daerah tidak merata atau berbeda-beda. Ini lantaran formula perhitungannya masih menggunakan pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi daerah masing-masing.
“Nah tentunya karena pertumbuhan ekonomi dan daya beli di masing-masing daerah berbeda, ya keluarlah upah minimum yang berbeda-beda. Itu yang kadang-kadang membuat jadi persoalan. Contoh ya, Jawa Barat sama Jawa Tengah itu beda. Bedanya hampir separuh,” jelas dia.
Secara teoritis, kata dia, jika tujuan bernegara adalah mensejahterakan pekerjanya, kenapa formula penetapan upah tidak berpegangan pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan. Pasalnya, jika masih mengacu pada pertumbuhan ekonomi di masing daerah tentu berbeda. Mulai dari sumber daya alamnya, sumber daya manusianya, infrastrukturnya, dan lainnya.
“Kenapa kemudian perbedaan itu dijadikan dasar, harusnya tidak,” tegas dia.
Oleh karenanya, sebagai salah satu solusi ke depan perlu ada sistem pengupahan nasional atau di dalam UU Cipta Kerja disebut dengan skala pengupahan. Skala pengupahan ini bisa didasarkan kepada masing-masing jenis pekerjaannya, kompetensi, pendidikan, serta pengalaman kerja.
“Jadi sebenarnya kalau kita baca Undang-Undang Cipta Kerja yang baru, upah minimum itu hanya berlaku untuk pekerja di bawah satu tahun. Tapi kemudian oleh pengusaha itu diberlakukan sama, tidak beda,” jelas dia.
Seharusnya, jika sudah lebih dari setahun harus didasarkan kepada skala pengupahan yang dibuat oleh perusahaan. Namun, kadang-kadang perusahaan dalam hal ini juga abai. Sehingga perlu ada skala pengupahan nasional yang diatur oleh pemerintah yang menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan.
“Kalau misalnya belum punya pegangan kan bisa belajar dari negara yang sudah matang. Inggris itu kan yang pertama menerapkan sistem pengupahan minimum. Tapi sesudah negara itu maju undang-undang upah minimumnya itu tidak dipakai. Mereka membuat sistem pengupahan nasional,” jelas dia.
Ia menambahkan, “Kalau kita pakai upah ini, upah minimum terus menerus, kapan ini negara kita ini maju? Seharusnya kan negara punya pikiran bagaimana supaya meningkatkan kesejahteraan.”
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz