harapanrakyat.com,- Sejarah Cagar Alam Pangandaran ternyata memiliki perjalanan panjang sebelum menjadi tempat wisata seperti saat ini. Dari berbagai sumber koran kolonial Belanda, menyebutkan Semenanjung Pananjung yang kini dikenal sebagai Cagar Alam Pangandaran adalah mimpi pemerintah kolonial untuk mewujudkan Yellowstone Park Amerika Serikat di Tanah Jawa.
Ambisi besar kolonial yang tertarik dengan keindahan semenanjung di pesisir selatan Jawa ini terjadi pada awal abad ke-20. Tepatnya, sekitar tahun 1921. Sesuai sumber sejarah Kolonial Belanda, inisiatif konservasi ini lahir dari visi Residen Priangan kala itu, Hendrik Jan Eijken. Dia terobsesi menciptakan suaka margasatwa terisolasi dengan model “Yellowstone Park”.
Nama Hendrik Jan Eijken mungkin asing bagi telinga awam. Namun, dalam sejarah birokrasi Priangan (Jawa Barat), ia adalah figur penting. Menjabat sebagai Residen Priangan sekitar tahun 1921 hingga 1925, Eijken adalah tipe pejabat kolonial era Politik Etis. Ia memiliki minat besar pada pengembangan wilayah dan pariwisata, bukan sekadar eksploitasi hasil bumi.
Sejarah Wisata Cagar Alam Pangandaran
Sebagai informasi, Eijken dikenal memiliki visi modern dan mengikuti perkembangan global. Hal itu terlihat dari rencananya meniru Yellowstone. Pada masa itu, Yellowstone di Amerika Serikat yang diresmikan pada 1872 adalah standar emas konservasi dunia.
Baca juga: Mengungkap Jejak Sejarah Kuno Pangandaran Tahun 1724 dan Pembukaan Kawasan di Awal Abad ke-20
Karena itu, ia berkeinginan meniru model tersebut di Pananjung. Ini sebagai bukti keseriusannya untuk menyejajarkan Hindia Belanda dengan negara-negara Barat dalam hal manajemen alam.
Panorama Cagar Alam yang menampilkan kawasan wisata Pantai Pangandaran. Foto: Muhafid/HRSementara itu, Eijken melihat potensi geografis yang luar biasa dari semenanjung seluas seribu lima puluh hektare tersebut. Wilayah ini secara alami hampir terpisah dari daratan utama Jawa. Visi konservasi ini bukan sekadar wacana. Strategi radikal pun disiapkan dengan memanfaatkan leher semenanjung yang sempit. Leher tersebut hanya selebar dua ratus sampai tiga ratus meter.
Sedangkan untuk mewujudkannya, ia berencana menutup akses menggunakan stevig ijzeren hek atau pagar besi yang kokoh. Itu akan lengkap dengan portierswoning (rumah penjaga). Tujuannya menciptakan benteng alam yang memisahkan kehidupan liar di dalamnya dari intervensi manusia luar secara total.
Ternyata, obsesi Eijken terhadap “Yellowstone van Java” ini didorong oleh keinginan mendesak untuk menyelamatkan fauna khas Jawa yang kian memprihatinkan.
Dalam laporan-laporan sezaman yang dikutip dalam arsip seperti Natuurmonument, disebutkan tujuan utama pemagaran cagar alam Pangandaran ini adalah membiarkan satwa seperti banteng, berbagai jenis rusa, dan kijang dapat berkembang biak. Ini dilakukan tanpa gangguan pemburu.
Saat itu, hutan lebat Pananjung juga diproyeksikan sebagai surga bagi primata dan burung-burung berbulu indah. Gua-gua di tebing karang selatan dibiarkan menjadi habitat alami burung walet, komoditas bernilai ekonomi tinggi saat itu.
Biaya Mahal dan Gesekan Sosial
Namun, realisasi mimpi konservasi ini menuntut biaya mahal dan memicu gesekan sosial di wilayah yang kini masuk Kecamatan Pangandaran ini. Dewan Wilayah (Gewestelijken Raad) harus menggelontorkan dana sebesar 5.000 gulden, jumlah yang sangat fantastis untuk ukuran masa itu. Apalagi ini hanya demi memuluskan proyek ini.
Sebagian besar dari dana tersebut, sekitar 1.000 gulden, dialokasikan khusus untuk infrastruktur pagar dan pos penjagaan. Kemudian sssanya digunakan untuk membeli tanah penduduk seluas tiga ratus empat puluh bahu yang berada di dalam area semenanjung.
Hewan yang berada di Yellowstone Park Amerika Serikat. Foto: Ist/NetDi sinilah sisi gelap dari politik konservasi kolonial terlihat. Berdasarkan berbagai sumber arsip sejarah, tercatat adanya konflik kepentingan antara pemerintah dengan penduduk lokal. Sebab, masyarakat setempat yang secara turun-temurun menggantungkan hidup dengan mengambil kayu bakar dari hutan, tiba-tiba dianggap sebagai ancaman.
Baca juga: Teluk Mauritsbaai, Sejarah Nama Pantai Pangandaran di Zaman Kolonial Belanda yang Nyaris Terlupakan
Apalagi dengan adanya penunjukan oppas atau penjaga yang tegas menjadi gambaran tindakan represif. Ini dilakukan untuk mencegah apa yang disebut kolonial sebagai “pencurian kayu”. Padahal, bagi warga lokal itu adalah hak tradisional mereka.
Promosi Destinasi Wisata Elite
Terlepas dari ketegangan tersebut, keberadaan Semenanjung Pananjung memiliki peran ganda yang strategis bagi pengembangan wilayah Mauritsbaai (Teluk Pangandaran). Selain fungsi ekologis sebagai suaka margasatwa, semenanjung ini berfungsi sebagai pemecah gelombang raksasa alami. Ini melindungi teluk dari amukan angin Samudra Hindia, menjadikan pelabuhan aman bagi kapal-kapal untuk bersandar sepanjang tahun saat itu.
Dari integrasi antara konservasi alam ala Yellowstone dan keamanan pelabuhan inilah yang kemudian mendorong pemerintah kolonial. Mereka mempromosikan Pangandaran sebagai destinasi wisata elite dengan julukan “Scheveningen van Java”. Julukan ini merujuk pada kawasan resor pantai terkenal di Belanda.
Dari sejarah Cagar Alam Pangandaran ini kita jadi tahu bahwa lokasi tersebut bukan hanya soal pelestarian satwa dan wisata alam semata. Akan tetapi ada perjalanan panjang dan kompleks tentang adaptasi model barat. Juga penguasaan ruang dan dinamika sosial masyarakat pesisir di era kolonial. (Muhafid/R6/HR-Online)

3 hours ago
3

















































