Mengungkap Jejak Sejarah Kuno Pangandaran Tahun 1724 dan Pembukaan Kawasan di Awal Abad ke-20 

18 hours ago 6

harapanrakyat.com,- Jejak sejarah kuno Pangandaran ternyata bukan hanya pada saat kolonial Belanda mulai mengeksploitasi kekayaan alam di wilayah ujung timur selatan Jawa Barat ini. Namun dalam sejarah kolonial Belanda, ada sebuah catatan tahun 1724 yang menggambarkan kondisi alamnya cukup detail.

Berdasarkan penelusuran berbagai arsip berita dari koran Hindia Belanda, Pangandaran sebagai pusat maritim dan persinggahan di wilayah Selatan Jawa terkenal. Hal ini terjadi karena dua wilayahnya, Teluk Mauritsbaai (Pananjung Timur) dan Dirk de Vriesen Baey (Pananjung Barat).

Jejak Sejarah Kuno Pangandaran 1724

Sesuai catatan kolonial Belanda, nama Pangandaran tidak berdiri sendiri dalam peta navigasi kuno. Pada tahun 1724, kartografer François Valentijn dalam karyanya, Beschrijving van Groot Djava of te Java Major, telah memetakan kawasan ini dengan detail.

Dalam catatannya itu, Valentijn tidak menggunakan nama Pangandaran sebagai identitas utama perairan. Sebaliknya, ia memperkenalkan dua nama besar, Mauritsbaai dan Dirk de Vriesen Baey.

Kawasan wisata Pantai Barat dan Pantai Timur Pangandaran. Foto: Muhafid/HR

Kemudian, di dalam deskripsi nautikalnya, Valentijn menggambarkan sebuah tanjung berbatu. Kini dikenal sebagai Cagar Alam Pananjung. Tanjung ini berfungsi sebagai pemisah alami dua perairan raksasa. 

Baca juga: Teluk Mauritsbaai, Sejarah Nama Pantai Pangandaran di Zaman Kolonial Belanda yang Nyaris Terlupakan

Sementara di sisi timur tanjung disebut sebagai Mauritsbaai, sementara sisi barat yang memiliki pantai pasir indah (fraeje zand-strand) dinamakan Dirk de Vriesen Baey. 

Menariknya, setelah pencatatan tahun 1724 tersebut, meskipun peta Valentijn sudah ada, keberadaan teluk eksotis ini seolah disembunyikan dengan cemas atau angstvallig verborgen. Hal ini berlangsung dari peta pelayaran umum selama hampir dua abad. 

Sehingga, kawasan ini ibarat harta karun yang tertimbun debu sejarah, yang mana akses ekonomi dan publik benar-benar tertutup. Namun, kawasan ini baru benar-benar dibuka kembali pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1902. Hal itu didorong oleh semangat Nieuwe Handelswegen atau pencarian jalur perdagangan baru di Hindia Belanda.

Pembukaan Kawasan Awal Abad 20

Wilayah Pangandaran yang belum terjamah secara publik saat itu mulai berubah setelah kedatangan kapal uap Van Diemen. Kapal ini dimiliki oleh maskapai pelayaran legendaris Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) pada tahun 1902. 

Dari sumber yang sama, ekspedisi ini ternyata bukan perjalanan biasa. Kapal yang berangkat dari Tanjung Priok tersebut membawa pejabat-pejabat tinggi kolonial. Pejabat tersebut termasuk Wakil Presiden Dewan Hindia, Mr. Th. H. De Meester. Kedatangan mereka tersebut memiliki misi jelas, yaitu melakukan survei kelayakan ekonomi di pantai selatan Jawa yang selama ini terisolasi.

Tak hanya itu, sesuai laporan perjalanan tersebut, terungkap bahwa mereka mengakui keindahan teluk yang aman untuk berlabuh. Namun ironisnya, kapal Van Diemen pulang tanpa membawa muatan kargo apapun. Meski demikian, kunjungan ini menjadi titik balik masuknya Pangandaran ke dalam peta ekonomi modern Hindia Belanda.

Jalur Kereta Api peninggalan Kolonial Belanda di Pangandaran. Foto: Muhafid/HR

Kemudian, seiring dengan terbukanya akses, infrastruktur pendukung mulai dibangun untuk melayani kepentingan kolonial. Jejak ini terlihat jelas pada riwayat pembangunan fasilitas akomodasi atau pasanggrahan. Terdapat perbedaan kelas yang mencolok. Terutama antara fasilitas pemerintah lama dengan fasilitas baru yang dibangun oleh Staatsspoorwegen (S.S.) atau Perusahaan Kereta Api Negara sekitar tahun 1918. 

Pasanggrahan milik S.S., yang awalnya dibangun untuk insinyur pembangunan jalur kereta Banjar-Parigi, dideskripsikan jauh lebih mewah. Bangunan ini memiliki enam kamar besar dengan serambi berkaca untuk menahan angin laut. Sebuah kemewahan yang tidak dimiliki pasanggrahan pemerintah biasa, yang pengelolaannya memerlukan izin birokrasi berbelit dari Asisten Residen Tasikmalaya.

Setelah jalur kereta api rampung, pasanggrahan mewah S.S. tersebut diserahkan pengelolaannya kepada Gewestelijken Raad (Dewan Wilayah). Tujuannya untuk dieksploitasi secara komersial dengan tarif f 4,50 per hari, lengkap dengan sajian menu lobster dan ikan segar. Dari jejak sejarah kuno Pangandaran, menggambarkan kawasan yang kini terkenal wisata alam ini juga memiliki jejak maritim yang diakui oleh dunia internasional. (Muhafid/R6/HR-Online)

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |