harapanrakyat.com,- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) memunculkan wacana baru: penghapusan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Sejumlah kalangan setuju dan meyakini penghapusan parliamentary threshold dapat membuka ruang lebih besar bagi partai-partai kecil terlibat dalam proses politik. Namun, di sisi lain wacana ini juga menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menilai peluang penghapusan parliamentary threshold sangat terbuka. Sehingga, parliamentary threshold yang saat ini sebesar 4 persen dari total suara nasional, tidak akan ada lagi di Pemilu mendatang.
“Setelah Mahkamah Konstitusi menghapus presidential threshold, wajar jika penghapusan ambang batas parlemen menjadi diskusi serius. Hal ini kerap menjadi bahasan di banyak partai,” ujar Yusril, Senin (13/1/2025), di Denpasar, Bali.
Menurut Yusril, keberadaan parliamentary threshold sering kali menutup akses partai kecil untuk masuk parlemen, sehingga banyak suara pemilih tidak terwakili.
“Pada Pemilu 2019, suara partai-partai yang tidak memenuhi ambang batas jika digabungkan mencapai angka signifikan. Akibatnya, jutaan suara rakyat terbuang percuma,” jelasnya.
Sebagai solusi, Yusril mengusulkan pembentukan fraksi gabungan di parlemen. Dengan cara ini, partai kecil tetap dapat menyuarakan aspirasi tanpa harus memenuhi batas suara tinggi.
“Partai yang memiliki sedikit kursi bisa membentuk fraksi gabungan, tentu ini akan memberikan keseimbangan demokrasi tanpa mengorbankan efisiensi parlemen,” tambahnya.
Baca Juga: Ambang Batas Pencalonan Pilkada Akan Dibahas dalam Revisi UU Pemilu
Dampak Penghapusan Ambang Batas Parlemen
Meski usulan penghapusan ambang batas parlemen dianggap dapat memperkuat demokrasi, sejumlah pihak mengkhawatirkan dampaknya terhadap kinerja parlemen. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menilai terlalu banyak partai di DPR bisa menyulitkan konsolidasi antarfraksi.
“Jika jumlah partai di parlemen bertambah, saya khawatir fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran bisa terganggu. Pemerintah juga berpotensi kesulitan dalam menjalankan program,” kata Dasco, Selasa (14/1/2025), di Kompleks DPR/MPR.
Namun, Dasco mengaku memahami alasan partai kecil menginginkan penghapusan ambang batas parlemen. Baginya, ini adalah aspirasi yang wajar dari mereka yang selama ini sulit masuk parlemen.
“Partai kecil pasti ingin lebih banyak peluang. Namun, kita harus memastikan sistem tetap efisien,” lanjut Dasco.
Sebagai informasi, penghapusan presidential threshold merupakan hasil uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan ini menjadi sinyal bahwa penghapusan parliamentary threshold juga memiliki kemungkinan besar untuk diimplementasikan.
Dengan potensi penghapusan ambang batas parlemen, peta politik Indonesia dapat berubah signifikan. Para pendukung wacana ini berargumen bahwa langkah tersebut akan memperkuat representasi rakyat. Namun, skeptisisme tetap ada, terutama terkait efektivitas kerja parlemen yang diisi lebih banyak partai. (Feri Kartono)