tirto.id - Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi curah hujan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan terus meningkat sampai Januari 2025.
Kepala Stasiun Meteorologi Yogyakarta, Warjono, menjelaskan, berdasarkan pengamatan gejala fisis dan data dinamika atmosfer, angin di wilayah Indonesia bagian selatan ekuator bertiup dari tenggara mengindikasikan Monsun Australia masih aktif. Analisis Indeks El Nino Southern Oscillation (ENSO) berada dalam kategori La Nina lemah.
“Diprediksi, tetap La Nina lemah hingga awal tahun 2025,” sebut Warjono dihubungi kontributor Tirto, Sabtu (9/11/2024).
Namun, untuk curah hujan di DIY pada tiga dasarian ke depan, diprediksi menengah cenderung tinggi dengan kisaran antara 50- 200mm dengan sifat hujan bervariasi Bawah Normal (BN)–Atas Normal (AN).
Sementara untuk prediksi hujan di DIY selama tiga bulan ke depan, kemungkinan paling tinggi terjadi pada Januari 2025. November 2024 diprediksi berkisar 201 - >500 mm (menengah - sangat tinggi). Curah hujan bulan Desember 2024 diprediksi berkisar 201 - >500 mm (kriteria menengah - sangat tinggi). Curah hujan bulan Januari 2025 diprediksi berkisar 301 - >500 mm (tinggi - sangat tinggi).
Beriringan dengan itu, salah satu ancaman yang mengintai adalah masalah kesehatan yang diakibatkan oleh naiknya debit air sungai.
Menilik data yang dirilis dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, sebagian besar potensi sumber daya air di Kota Gudeg pada 2023 tergolong dalam kondisi tercemar. Situasi ini diperparah oleh darurat sampah yang menjadikan sungai sebagai solusi 'terenak'.
"Semenjak darurat sampah, jelas sungai menjadi tercemar karena banyak masyarakat bukan hanya warga bantaran menjadikan sungai sebagai solusi membuang sampah," ujar anggota Kalijawi, Ainun Murwani, dihubungi kontributor Tirto pada Selasa (12/11/2024).
Ainun pun menyayangkan indikator pencemaran air yang hanya menilik keberadaan bakteri E. Coli. Sebab dimungkinkan, ada mikroba atau partikel lain yang turut mencemari kualitas air.
"Berarti kalau E. Coli, penyebabnya adalah tinja. Jadi harus dilihat pembuangan limbahnya seperti apa," terang Ainun.
"Ketika pemerintah memberikan fasilitas pengolahan limbah harus dipastikan juga treatment dan edukasi ke masyarakat dilakukan dengan benar," imbuh Ainun.
Ainun turut membeberkan kajian dari komunitasnya yang melakukan biotilik di Sungai Winongo Jatimulyo, Kricak, Kota Yogyakarta.
"Hasilnya, tercemar sedang. Pasti berpengaruh dengan segala ekosistem yg menggunakan sungai secara langsung," ujar Ainun.
Namun, Ainun mengaku komunitasnya yang menaungi 14 kampung di bantaran sungai belum pernah mengadakan penelitian tentang bahaya cemaran. Ainun berharap, pemerintah turut menilik faktor lain percemaran air di Kota Yogyakarta, bukan hanya menjadikan E. Coli sebagai indikator.
"Harusnya seperti itu," sebut dia.
Mengingat, masih ada warga sekitar bantaran yang memanfaatkan air sungai untuk mandi, cuci, kakus. "Dari hasil sampel pemetaan tentang air yang kami lakukan, tidak ada yang menggunakan untuk masak," ungkap Ainun.
Kepala Seksi Pengawasan Lingkungan Hidup DLH Kota Yogyakarta, Intan Dewani, pun membenarkan bahwa kualitas mutu air di Kota Yogyakarta tercemar.
"Kota semakin berkembang, jadi cenderung kualitas air mengalami penurunan. Kalau seberapa dan apa, itu ada di publikasi kami," ujarnya diwawancarai di Balai Kota, Senin (11/11/2024).
Dia membeberkan, pihaknya sudah melakukan pemeriksaan mutu air pada tahun 2024.
"Terakhir pemantauan Desember. Hasilnya kami publish sekitar Februari. Alasan kulitas air buruk, E. Coli parameter kritikalnya. Akibat limbah domestik indikasinya," terang Intan.
Baca juga artikel terkait JOGJA atau tulisan lainnya dari Siti Fatimah
tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Bayu Septianto