tirto.id - Sebuah fakta mencengangkan disampaikan oleh akun Twitter @aclwfc pada 26 Oktober 2024 lalu. Akun tersebut menulis, "Sudah terdapat 500 cedera ACL yang dialami pesepak bola perempuan yang bermain di divisi teratas dan/atau tim nasional sejak Januari 2022. Setidaknya ada 500 cedera ACL selama kurang dari tiga tahun dan ini hanyalah angka yang tercatat secara resmi."
Akun @aclwfc atau ACL Women Football Club memang memiliki perhatian khusus terhadap cedera ACL (anterior cruciate ligament) yang dialami oleh pesepak bola perempuan.
Mengapa sampai ada akun media sosial yang secara khusus menyoroti hal ini? Jawabannya bisa kita kembalikan ke paragraf pertama; karena kenyataannya memang semengerikan itu.
Bagi pesepak bola perempuan, cedera ACL merupakan momok yang paling mengerikan karena, menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan, atlet perempuan memiliki risiko cedera ACL 4-5 kali (ada pula yang mengatakan 2-8 kali) lebih tinggi dibanding atlet laki-laki.
Berdasarkan data yang diterbitkan via Shorthand, ada satu cedera ACL tiap 1.188 menit sekali di Women's Super League (WSL), kompetisi sepak bola perempuan teratas di Inggris. Sementara itu, di Premier League, "hanya" ada satu cedera setiap 8.550 menit. Ini merupakan data dari musim 2022/23.
Sebuah studi yang diterbitkan British Journal of Sports Medicine menyatakan bahwa sebagian besar (46 persen) cedera ACL yang dialami pesepak bola perempuan profesional di Jerman dari musim 2016/17 sampai 2022/23 merupakan cedera nonkontak. Dari situ, 80 persennya terjadi ketika seorang pemain melakukan gerakan horizontal atau pergerakan yang dilakukan di atas permukaan lapangan.
Ini artinya, sebagian besar cedera ACL bagi atlet perempuan, atau pesepak bola perempuan khususnya, sebetulnya bisa dicegah.
Dari Mana Biang ACL?
ACL merupakan satu dari empat ligamen utama yang menghubungkan femur (tulang paha) dengan tibia (tulang kering) di persendian lutut. Panjang ligamen ini pada orang dewasa kurang lebih 4 cm. Akan tetapi, menurut pakar ortopedi Prof. Gordon Mackay, untuk membuat ligamen ini putus, diperlukan gaya yang sangat besar, mencapai 2.000 newton.
Gaya yang besar ini berasal dari gerakan yang tiba-tiba, seperti perubahan arah gerak secara mendadak atau ketika tubuh hanya bertumpu pada satu kaki usai melompat. Inilah mengapa, 80 persen cedera ACL terjadi pada olahraga-olahraga yang membutuhkan gerakan-gerakan manuver, di antaranya sepak bola, sepak bola Amerika, basket, rugbi, dan lacrosse.
Sebenarnya, masih ada banyak faktor yang bisa memicu cedera ACL. Misalnya, bermain di lapangan dengan permukaan keras, memiliki cedera lain yang memaksa lutut bekerja lebih keras, atau kelelahan sehingga otak tidak bisa mengontrol sepenuhnya gerak tubuh. Belum lagi jika kita bicara mengenai faktor genetis.
Percaya tidak percaya, orang yang orang tua atau sanak saudaranya pernah mengalami cedera ACL, hampir bisa dipastikan mereka memiliki risiko yang sama besarnya untuk mengalami cedera tersebut.
Dr Christopher Kaeding, seorang pakar ortopedi yang juga anggota ACL Study Group, kepada The Athletic mengatakan, "Kalau kamu punya dua atau tiga orang kakak yang semuanya suka main sepak bola dan semuanya pernah cedera ACL, mending cari olahraga lain saja."
Mengapa faktor genetis punya peran penting? Karena, besar kecilnya ukuran ACL seseorang turut dipengaruhi oleh faktor tersebut. Kita tidak bisa mengontrol seberapa besar ACL yang kita miliki. Yang jelas, semakin kecil ukuran ACL seseorang, semakin besar pula risiko baginya untuk mengalami cedera di bagian itu.
Namun, masih menurut Kaeding, faktor risiko terbesar cedera ACL adalah jenis kelamin. Seorang perempuan bisa dipastikan memiliki risiko yang jauh lebih besar dibanding laki-laki.
Yang menarik, sebelum seorang perempuan mencapai masa puber, risiko mereka untuk terkena cedera ACL sebenarnya tidak lebih besar daripada laki-laki. Akan tetapi, selepas puber dan, terutama, hingga usia ke-25, seorang perempuan jauh lebih rentan mengalami cedera tersebut.
Pertanyaannya sekarang, mengapa itu bisa terjadi?
Sebenarnya, jawaban pasti akan pertanyaan tersebut masih belum ditemukan. Ada yang menyebut bahwa faktor hormonal punya pengaruh signifikan. Teorinya, ketika seorang perempuan mengalami menstruasi, mereka akan mengalami perenggangan otot ligamen sehingga risiko terkena cedera ACL pun menjadi lebih besar.
Salah satu entitas yang sudah membuktikan teori ini adalah Chelsea Women yang mengatur pola latihan para pemain mengikuti siklus menstruasi. Hasilnya? Dari 2018 sampai 2023, cuma ada empat pemain mereka yang mengalami cedera ACL.
Meski demikian, teori ini juga masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, tidak semua perempuan mengalami efek yang sama ketika sedang menstruasi. Oleh karenanya, ada pula yang menyebut biomekanika sebagai biang kerok di balik rentannya perempuan terkena cedera ACL.
Ini terlihat dari bagaimana laki-laki dan perempuan mendarat setelah melompat. Penelitian dari dekade 1990-an menunjukkan bahwa ketika mendarat usai melompat, laki-laki cenderung membengkokkan lututnya ke arah dalam dan menggunakan hamstring (otot paha bagian bawah) sebagai tumpuan.
Sementara itu, perempuan cenderung mendarat dengan posisi yang lebih tegak sehingga hampir semua beban disangga oleh lutut.
Hal itu sebenarnya merupakan sesuatu yang bisa dicegah. Caranya adalah dengan membiasakan para atlet, khususnya perempuan, untuk mendarat dengan cara yang berbeda sejak dini. Salah satu upaya sudah dilakukan FIFA lewat program FIFA 11+ Kids yang melatih para calon atlet perempuan dalam pencegahan cedera.
Konsentrasi, koordinasi, keseimbangan, kekuatan tungkai serta tubuh bagian atas diperkuat. Hasilnya, menurut temuan American Journal of Sports Medicine, risiko cedera para peserta program tersebut berkurang sampai 30 persen!
Ketika kita bicara soal atlet, tentu ada faktor-faktor lain yang bermain. Misalnya, soal fasilitas. Bukan rahasia lagi apabila atlet perempuan masih dinomorduakan dalam soal fasilitas dan ini termasuk dalam urusan sepatu sampai lapangan latihan.
Bahkan, masih banyak pesepak bola perempuan yang bermain di lapangan sintetis yang menghasilkan friksi lebih besar pada gerak tubuh. Semua faktor ini pada akhirnya berkelindan satu sama lain dan menjadikan atlet perempuan jauh lebih rentan cedera ACL dibanding atlet laki-laki.
Bagaimana Perempuan Bukan Atlet?
Lantas, bagaimana dengan perempuan biasa yang bukan atlet? Pada dasarnya, sama saja karena, secara anatomi, memang ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Misalnya, sendi-sendi perempuan cenderung lebih fleksibel sehingga ligamen mereka pun secara otomatis lebih mudah tertarik dan akhirnya putus.
Kemudian, ukuran pelvis (tulang panggul) yang lebih besar membuat lutut perempuan cenderung lebih menjorok ke dalam sehingga ketika melakukan gerakan memutar, gaya yang diterima ligamen ACL pun jadi lebih besar.
Selanjutnya, ukuran ACL perempuan sendiri juga biasanya lebih kecil dan ini berpengaruh pada kekuatannya. Ingat, semakin kecil ukuran ACL, semakin besar kemungkinannya untuk cedera. Apalagi, otot hamstring perempuan cenderung lebih lemah dibanding otot kuadrisep (paha bagian depan). Dari sini, tumpuan lebih besar akan dibebankan kepada ACL dan, lagi-lagi, ini meningkatkan risiko cedera.
Dari sini, apa yang dilakukan FIFA lewat program FIFA 11+ Kids tadi bisa dipraktikkan. Melatih koordinasi, keseimbangan, kekuatan tungkai, serta tubuh bagian atas bisa menjadi cara efektif untuk mencegah cedera ACL. Selain itu, melatih cara mendarat usai melompat juga bisa dilakukan. Saat mendarat, pastikan lutut berada dalam posisi kencang sehingga nantinya otot-ototlah yang menyerap gaya dari gerakan mendarat tersebut.
Untuk itu, melatih kekuatan otot hamstring juga perlu dilakukan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Yakni, angkat beban (deadlift), melakukan gerakan single-leg bridge, serta melatih hamstring dengan bantuan pita karet. Semakin kuat otot hamstring, dipadukan dengan cara mendarat yang benar, akan mengurangi gaya yang mesti diserap oleh lutut.
Selain latihan, melakukan pemanasan dengan benar, menggunakan sepatu yang nyaman dan sesuai anatomi kaki, serta tahu kapan harus beristirahat juga merupakan cara-cara paling efektif untuk mencegah cedera ACL. Intinya, meskipun perempuan memiliki risiko cedera ACL jauh lebih besar dibanding laki-laki, bukan berarti ini tidak bisa dikelola. Dengan pendekatan yang tepat, niscaya risiko pun akan bisa diminimalisasi.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi