tirto.id - Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP telah memastikan bahwa besaran tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen paling lambat pada awal 2025 mendatang.
Sebelumnya UU tersebut telah mengubah tarif PPN pada April 2022 dari 10 persen menjadi 11 persen. Dengan kenaikan terbaru PPN, maka jenis barang dan jasa yang tidak dikecualikan dalam pengenaan PPN akan mengalami kenaikan harga.
PPN adalah tarif pajak yang dikenakan pada suatu transaksi konsumsi barang dan jasa termasuk Barang Kena Pajak (BKP) dalam negeri yang dikenakan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pajak ini dibebankan pada konsumen akhir.
Dalam penerapan PPN, wajib pajak badan atau perusahaan hanya sebagai perantara pemungut pajak untuk disetorkan ke Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, dan pemulihan ekonomi nasional.
Dengan meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah berupaya untuk mengurangi penggunaan utang dan menjaga stabilitas ekonomi negara dalam jangka panjang.
Selain itu, penyesuaian tarif PPN menjadi 12 persen dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan standar internasional, mengingat tarif PPN Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara maju lainnya.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa rata-rata PPN seluruh dunia, termasuk negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), memiliki tarif PPN sebesar 15 persen.
Kemudian, dengan kenaikan PPN 12 persen tersebut, dalam kebijakan fiskal pada 2025, ditetapkan pendapatan negara 12,08-12,77 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), belanja negara 14,21-15,22 persen PDB, keseimbangan primer 0,07 persen hingga minus 0,40 persen PDB, dan defisit 2,13-2,45 persen PDB.
Meski begitu, beberapa pihak menganggap bahwa kenaikan PPN akan membuat daya beli masyarakat menurun, terutama masyarakat kelas bawah yang memiliki penghasilan minim dan kesulitan menanggung biaya kebutuhan yang semakin mahal akibat tarif PPN sebesar 12 persen.
Artinya, dampak dari kenaikan PPN 12 persen memungkinkan akan terjadi peningkatan inflasi. Tidak hanya itu, para pengusaha pun mesti terbebankan oleh biaya pajak yang semakin besar dengan minat konsumen yang sedikit.
Perlu diketahui, menurut peneliti Pusat Industri Perdagangan dan Investasi, Indef Ahmad Heri Firdaus, jika kenaikan PPN 12 persen jadi diresmikan, tarif PPN Indonesia akan menjadi yang tertinggi dan setara dengan Filipina dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya.
Negara Asia Tenggara yang memiliki tarif PPN tertinggi saat ini adalah Filipina mencapai 12 persen. Sementara tarif PPN negara Kamboja hanya 10 persen, Laos capai 10 persen, Vietnam mencapai 10 persen serta 5 persen berdasarkan skema two tier system, dan Malaysia sebesar 6 persen dengan sistem penggunaan pajak barang dan jasa.
Objek yang Kena PPN
Objek yang kena PPN di antaranya jenis barang berwujud bergerak, jenis barang berwujud tidak bergerak, dan objek PPN berdasarkan penyerahannya yang tertuang dalam Pasal 4 UU PPN yang meliputi:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
- Impor BKP
- Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha
- Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean/di dalam daerah pabean
- Pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
- Ekspor BKP oleh PKP
- Ekspor BKP tidak berwujud oleh PKP
- Ekspor JKP oleh PKP
Sedangkan objek kena PPN 0 persen diterapkan untuk penyerahan:
- Ekspor BKP berwujud
- Ekspor BKP tidak berwujud
- Ekspor JKP
Berdasarkan Pasal 8A UU HPP, PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak (meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain).
Dalam Pasal 8A UU HPP itu menjelaskan pajak masukan atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, serta pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, yang dalam penghitungan pajak pertambahan nilai terutang menggunakan dasar pengenaan pajak berupa nilai lain dapat dikreditkan.
Cara Menghitung PPN 12 Persen dan Simulasi Aktivitas
1. Contoh hitung PPN atas PKP tertentu
PKP A memiliki omzet atau peredaran bruto atas usahanya sebesar Rp1.500.000.000.
Pada masa Januari 2025 melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) sebesar Rp500.000.000 dan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) sebesar Rp250.000.000 .
Maka PPN yang harus dibayar PKP A adalah:
Pajak Keluaran atas BKP
= 12% x Penyerahan BKP
= 12% x Rp500.000.000
= Rp60.000.000
Pajak Keluaran atas JKP
= 12% x Penyerahan atas JKP
= 12% x Rp250.000.000
= Rp30.000.000
Total PPN Keluaran atau Pajak Keluaran:
= Pajak Keluaran atas BKP + Pajak Keluaran atas JKP
= Rp60.000.000 + Rp30.000.000
= Rp90.000.000
Pajak Masukan atas BKP
= 60% x Pajak Keluaran BKP
= 60% x Rp60.000.000
= Rp36.000.000
Pajak Masukan atas JKP
= 70% x Pajak Keluaran JKP
= 70 x Rp30.000.000
= Rp21.000.000
Total PPN Masukan atau Pajak Masukan:
= Pajak Masukan BKP + Pajak Masukan JKP
= Rp36.000.000 + 21.000.000
= Rp57.000.000
PPN Terutang yang harus dibayar:
= Pajak Keluaran – Pajak Masukan
= Rp90.000.000 – Rp57.000.000
= Rp33.000.000
2. Contoh hitung PPN atas penyerahan kendaraan bermotor bekas
PKP B pada masa Januari 2025 memiliki penghasilan bruto penyerahan kendaraan bermotor bekas sebesar Rp900.000.000.
Maka PPN terutang PKP B atas usaha penjualan kendaraan bermotor bekas tersebut adalah?
Pajak Keluaran
= 12% x omzet bruto
= 12% x Rp900.000.000
= Rp108.000.000
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
= 90% x Pajak Keluaran
= 90% x Rp108.000.000
= Rp97.200.000
PPN Terutang:
= Pajak Keluaran – Pajak Masukan
= Rp108.000.000 – Rp97.200.000
= Rp10.800.000
tirto.id - Aktual dan Tren
Kontributor: Wisnu Amri Hidayat
Penulis: Wisnu Amri Hidayat
Editor: Dipna Videlia Putsanra