Daya Beli Masyarakat Lemah, Ritel Di Ambang Krisis

3 hours ago 8

tirto.id - Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari cukup mengejutkan. Inflasi Januari 2025 terekam terendah selama 25 tahun terakhir, sebesar 0,76 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Sementara itu, tingkat deflasi secara bulanan (month-to-month/mtm) pada bulan yang sama juga sebesar 0,76 persen, terdalam sejak Agustus 1999 yang sebesar 0,93 persen. Data ini menimbulkan ketakutan soal rendahnya daya beli masyarakat saat ini.

Secara mendetil, deflasi Januari paling besar disumbang oleh kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar rumah tangga, sebesar 9,16 persen dan dengan andil 1,44 persen terhadap total deflasi bulanan.

“Komoditas yang dominan menjadi pendorong kelompok ini adalah tarif listrik yang andilnya terhadap deflasi sebesar 1,47 persen,” ujar Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Rilis Berita Resmi Statistik, di Jakarta, Senin (3/2/2025).

Adapun tarif listrik menjadi penyumbang dominan terhadap deflasi karena kebijakan diskon tarif listrik 50 persen yang diberikan pemerintah kepada pelanggan daya listrik 450 Volt Ampere (VA) hingga 2.200 VA. Kemudian, komoditas lain yang menyumbang deflasi Januari antara lain, tomat dengan andil 0,03 persen serta ketimun, tarif tiket kereta api dan tarif tiket angkutan udara alias pesawat dengan masing-masing memiliki andil 0,01 persen.

Sementara itu, komoditas yang memberikan andil inflasi antara lain, cabai merah dan cabai rawit yang masing-masing sebesar 0,9 persen dan 0,71 persen. Kemudian ada pula ikan segar, minyak goreng dan bensin yang masing-masing andil inflasinya adalah 0,03 persen.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menilai terjaganya inflasi di 0,76 persen ini merupakan buah dari sinergi kebijakan pemerintah, baik dari sisi moneter maupun fiskal di tingkat pusat maupun daerah untuk menjaga inflasi tetap terkendali. Kemudian, meski diakuinya inflasi inti cukup mengalami peningkatan, namun menurutnya diskon tarif listrik mampu membuat deflasi terjadi di Januari.

Berlawanan dengan pemerintah, jika BPS dan pemerintah menganggap deflasi Januari sebagai keberhasilan dari kebijakan pemerintah, asosiasi-asosiasi peritel melihat fenomena ini sebagai pelambatan daya beli masyarakat.

Melemahnya minat beli masyarakat dinilai tak hanya terjadi pada Januari kemarin saja, melainkan sudah sejak Mei 2024 lalu, ketika deflasi terekam sebesar 0,03 persen. Itu adalah deflasi pertama sejak Agustus 2023. Sejak itu, Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut hingga September 2024.

Pelemahan daya beli masyarakat terlihat dari banyaknya konsumen barang sehari-hari (fast moving consumer goods/FMCG) yang berpindah dari produk satu ke produk lain yang serupa, namun dengan harga lebih murah, kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Solihin.

Solihin memberi contoh, saat membeli air mineral, konsumen sudah tak akan lagi melihat merek air mineral apa yang dibelinya. Sebagai gantinya, mereka akan melihat mana air mineral yang paling murah.

“Saya tidak tahu yang dimaksud dengan hal tersebut kalau definisinya deflasi itu penurunan harga barang dalam satu periode. Yang terjadi di kita, ini kita lihat produsen menjaga penjualannya. Dia menurunkan berat (produk). Misalkan, sabun dulu 100 miligram, sekarang jadi 80 atau 70 miligram yang dijual dengan harga sama,” jelas dia, saat dihubungi Tirto, Rabu (5/2/2025).

Alih-alih menaikkan harga produk, para produsen akan lebih memilih untuk mengurangi berat produk untuk menjaga agar konsumen tidak kabur. Cara ini pun terpaksa dilakukan oleh para produsen, karena semakin lama pelemahan daya beli berlangsung, pendapatan produsen-produsen FMCG, termasuk ritel yang menjadi tempat untuk menjajakan produk-produk tersebut, akan kian menipis.

Belum lagi, dengan adanya penguatan mata uang dolar, membuat harga bahan baku produk-produk FMCG juga mengalami peningkatan.

“Ekonomi kita ini masih belum sempurna seperti sedia kala, sebelum pandemi Covid-19. Nah, pelemahan daya beli tersebut membuat konsumen otomatis mencari produk yang lebih murah. Ada shifting, pergeseran,” sambung Solihin.

Sementara itu, dalam bisnis ritel, ada masa-masa tertentu di mana penjualan biasanya akan lebih tinggi dari periode biasa. Periode tersebut adalah Ramadan dan Lebaran, yang kemudian diikuti oleh libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Pada masa-masa ini pula lah, biasanya akan terjadi kenaikan inflasi, yang didorong oleh peningkatan permintaan oleh masyarakat.

“Ini menjadi kesempatan untuk menaikkan omset,” kata dia.

Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBI), Alphonzus Widjaja, mengungkapkan, dengan adanya deflasi beruntung pada Mei-September 2024, membuat pertumbuhan kinerja industri ritel dan pusat perbelanjaan hanya mampu tumbuh single digit dan tak akan lebih dari 10 persen. Bagaimana tidak, di sepanjang 2024, kinerja industri ritel dan pusat perbelanjaan dipengaruhi dua faktor utama: daya beli masyarakat kelas menengah bawah yang merosot, serta maraknya impor ilegal akibat pemberlakuan kebijakan pembatasan impor yang dilakukan pemerintah.

“Kinerja industri usaha ritel dan pusat perbelanjaan pada awal tahun 2025 ini masih dipengaruhi oleh daya beli masyarakat kelas menengah bawah, yang masih belum pulih sampai dengan saat ini, dan juga dipengaruhi oleh pengetatan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah,” ujar Alphonzus, kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Terlepas dari deflasi Januari, penjualan barang FMCG di pusat-pusat perbelanjaan telah perlahan mengalami penurunan sejak 2024 lalu. Akibatnya, melansir data Mandiri Institute yang diakses Tirto, indeks nilai belanja penjualan barang-barang konsumen di supermarket anjlok hingga 455,1 per 2 Januari 2025. Sebagai kontras, indeks belanja di supermarket pada awal Desember 2024 terekam sebesar 600,6.

Pada kuartal I 2025 ini, dengan masih adanya musim hujan dan rampungnya periode Libur Nataru, para pemain ritel dan pusat perbelanjaan dipaksa harus berhati-hati dalam merumuskan strategi bisnisnya. Sebab, pada kuartal ini para pengusaha juga harus mempersiapkan pasokan dan juga program yang dapat mengungkit minat belanja masyarakat di pusat-pusat ritel.

“Jadi, kami masih monitor situasi week by week bulan Februari ini. Deflasi secara analisa datang dari diskon PLN, tapi overall kami melihat ada pelemahan konsumsi di awal tahun. Karena daya beli sudah lama melemah,” kata Consumer and Retail Strategist PT Nielsen Company yang juga sekaligus Staf Ahli Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Yongky Susilo, kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Meski begitu, sampai saat ini tak ada solusi konkret berupa penciptaan lapangan kerja berkualitas bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dari pemerintah. Pun, stimulus-stimulus ekonomi yang membanjiri sejak awal tahun 2025 juga tak begitu berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat.

Jika pelemahan daya beli masyarakat terus berlanjut, Yongky khawatir, baik industri manufaktur maupun ritel sudah tidak bisa bertahan lagi. Sehingga, langkah paling akhir yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Meski diakuinya, langkah ini tak akan diambil para pengusaha ritel, karena cukup sulit untuk mendapatkan sumber daya manusia (SDM) ritel yang mumpuni.

“(Jadi untuk efisiensi) hanya kurangi jam kerja, kurangi orang di toko sepi tapi ditaruh di toko lain yang membutuhkan. (Kemudian) tidak buka toko baru dulu kalau nggak pasti (mempunyai prospek) bagus. Policy (kebijakan untuk) tidak menutup toko,” tegas Yongky.

Sementara itu, menurut pakar bisnis Teguh Hidayat, alih-alih deflasi yang bakal berdampak terhadap kinerja industri ritel, penurunan kinerja industri ritel karena pelemahan daya beli masyarakat itu lah yang kemudian membuat deflasi semakin dalam.

Mengacu Publikasi Survei Penjualan Eceran edisi Desember 2024 yang dirilis Bank Indonesia (BI), kinerja penjualan ritel November tercatat hanya tumbuh 0,9 persen yoy, melambat dibandingkan kinerja Oktober yang masih sebesar 1,5 persen yoy. Selain itu, secara bulanan, kinerja penjualan ritel November juga justru terkontraksi 0,4 persen.

“Ritel ini penjualannya turun terus, makanya deflasi. Dan sekarang juga lagi banyak isu lagi, kayak gas langka dan seterusnya. Itu kan cerita juga sebenarnya. Karena pemerintah mungkin pengen efisiensi, tapi justru itu bisa bikin deflasi kita tambah dalam lagi,” ujar dia, kepada Tirto, Rabu (6/2/2025).

Dengan rendahnya tingkat inflasi dan dalamnya deflasi, untuk menumbuhkan kembali kinerja penjualan ritel hanya bisa mengandalkan penurunan suku bunga acuan oleh BI. Sebab, setelah BI memangkas suku bunga acuan, geliat ekonomi akan mulai tumbuh, meski tak akan nampak dalam waktu cepat.

“Jadi yang pertama diuntungkan itu kalau suku bunga turun, itu perbankan. Nah, kalau misalnya perbankannya udah oke, baru beberapa bulan kemudian retail juga diuntungkan. Jadi, mungkin kita harus tunggu Bank Indonesia nurunin BI rate lagi, baru retail ini akan pulih dan deflasi ini juga akan lebih membaik,” tambah Teguh.

Lebih penting dari itu, dalam jangka pendek, pemulihan kinerja penjualan ritel membutuhkan perputaran uang yang besar di masyarakat. Namun, ia ragu hal ini akan terjadi, seiring dengan banyaknya program populis Kabinet Merah Putih yang membutuhkan anggaran jumbo seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

Apalagi, demi keberlangsungan program, Prabowo menginstruksikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani untuk memangkas anggaran banyak kementerian/lembaga (K/L). Sehingga, komponen belanja pemerintah yang menjadi salah satu kontributor pertumbuhan ekonomi terbesar akan otomatis berkurang pula.

“Komponen belanja pemerintah itu gede loh. Kita tahu pertumbuhan ekonomi kita itu 50 persen lebih ditopang konsumsi. Tapi belanja pemerintah itu lebih dari 10 persen juga. Malah hampir 20 persen, sisanya baru dari investasi dan lain-lain,” tutur Teguh.

Apa Rencana Pemerintah?

Untuk membangkitkan daya beli masyarakat, utamanya menjelang Ramadan dan Lebaran, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan akan memberikan paket stimulus ekonomi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). beberapa kebijakan yang akan diterapkan seperti diskon tiket pesawat, diskon tarif jalan tol, stabilitas harga pangan hingga penyelenggaraan Hari Belanja Nasional (Harbolnas) 2025 dalam rangka menghadapi Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

“Kebijakan tersebut mencakup program stimulus HKPN, kelanjutan program di Ramadhan dan Idul Fitri, diskon tarif tol stabilitas harga pangan, serta berbagai insentif bagi sektor properti, kendaraan listrik, dan industri padat karya,” paparnya, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/2/2025).

Selain itu, paket stimulus yang tengah berjalan di kuartal I tahun 2025 juga diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi di tahun 2025. Airlangga mengatakan, sejumlah paket stimulus yang sudah berjalan seperti bantuan pangan beras, diskon tarif listrik 50 persen untuk periode Januari hingga Februari, dan program makan bergizi gratis (MBG).

“Demikian pula dilanjutkannya dengan PPN Ditanggung Pemerintah terhadap pembelian properti, otomotif sektor electric vehicle, maupun yang terkait dengan hybrid dan juga motor. Kemudian juga PPh DTP untuk sektor padat karya dengan gaji Rp10 juta per bulan yang ditanggung oleh pemerintah,” pungkas Airlangga.


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |