tirto.id - Bentrokan antara aparat keamanan dengan kelompok loyalis mantan Presiden Bashar al-Assad pecah di provinsi pesisir Latakia, Suriah. Diperkirakan, lebih dari 700 orang menjadi korban jiwa dalam peristiwa kekerasan terburuk sejak penggulingan rezim Assad pada Desember 2024 lalu.
Peristiwa kekerasan ini diperkirakan masih berkaitan dengan pertarungan politik di Suriah. Ketegangan politik di Suriah memang sempat memanas pada akhir tahun lalu. Oposisi Suriah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan masif pada pemerintahan rezim Al-Assad yang telah berkuasa selama 24 tahun di negara tersebut.
Pemberontakan kelompok HTS itu dilakukan melalui serangan besar-besaran di sejumlah kota yang diklaim oleh para pemberontak sebagai bentuk “Pencegahan Agresi” terhadap kegiatan militer rezim Bashar Al-Assad.
Puncaknya, pada Minggu (8/12/2024) kelompok itu berhasil menguasai Damaskus dan membuat Presiden Suriah, Bashar Al-Assad, harus kabur. Bersamaan dengan itu, kelompok oposisi bersenjata Suriah mengumumkan bahwa mereka telah menggulingkan rezim Bashar al-Assad.
Bashar al-Assad sebelumnya telah memerintah Suriah sejak 2000, sebulan setelah ayahnya, Hafez al-Assad, mangkat pada 10 Juni 2000, di usia 69 tahun. Usai tumbangnya rezim tersebut, pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, pada Rabu (29/1/2025), diangkat sebagai Presiden Suriah sementara yang memimpin pemerintahan transisi.
Sharaa merupakan salah satu pemimpin HTS, kelompok oposisi bersenjata yang turut mendongkel rezim Assad. Dikutip dari BBC, HTS adalah kelompok yang memotori serangkaian pemberontakan di Suriah. Sebelum dikenal sebagai HTS, kelompok ini pertama kali dibentuk dengan nama Jabhat al-Nusra (Front Nusrah).
Jabhat al-Nusra didirikan pada 2011 silam, sebagai salah satu afiliasi kelompok Al-Qaeda. Salah satu pendirinya adalah Abu Bakr al-Baghdad, salah seorang pemimpin kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Adapun HTS dikenal selalu berada di sisi yang kontra dengan Assad. Kelompok inilah yang ikut mendesak agar Assad mundur dan mengakhiri rezimnya di negara tersebut.
Duduk Perkara Perang Saudara
Pada Kamis (6/3/2025), kantor berita pemerintah Suriah, SANA, melaporkan bahwa sisa-sisa kelompok milisi loyalis Assad telah menyerang pos pemeriksaan dan patroli keamanan pemerintah, hingga menewaskan dan melukai banyak orang termasuk warga sipil.
Associated Press (AP) melaporkan, dalam penyergapan itu, pria bersenjata pro-Assad yang berasal dari kelompok Alawite berhasil mengalahkan pasukan keamanan pemerintah dan kemudian menguasai Qardaha, kampung halaman Assad.
Menanggapi serangan itu, pasukan keamanan pemerintah melancarkan serangan balasan terhadap para loyalis Assad di wilayah pesisir yang mayoritas penduduknya adalah sekte Alawite. Sekte itu merupakan sekte minoritas yang menganut Syiah. Suriah sendiri mayoritas masyarakatnya menganut Islam Sunni.
Meski minoritas, keluarga mantan Presiden Suriah Assad diketahui berasal dari sekte ini. Selama puluhan tahun masa kepemimpinan Assad, Alawite juga dianggap mendapat keistimewaan dari pemerintahan Suriah kala itu.
CNN melaporkan, operasi terhadap loyalis Assad di wilayah tersebut berubah menjadi penyerangan sektarian pada warga Alawite. Beberapa warga Alawite yang melarikan diri dari daerah pesisir Suriah di tengah bentrokan mengatakan kepada CNN bahwa mereka terlalu takut untuk kembali ke rumah mereka meskipun pemerintah mengumumkan bahwa operasi militer telah berakhir.
Menukil dari CNN juga, Jaringan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SNHR), yang berbasis di Inggris, mengatakan pada Selasa (11/3/2025) bahwa dari 803 orang yang tewas, "kelompok bersenjata non-negara" yang setia kepada Assad bertanggung jawab atas kematian 383 orang, termasuk 172 anggota pasukan keamanan negara dan 211 warga sipil. Pasukan pemerintah dan kelompok yang berafiliasi bertanggung jawab atas kematian setidaknya 420 orang, termasuk "warga sipil dan militan yang telah dilucuti senjatanya," menurut SNHR, di antaranya 39 anak, 49 perempuan, dan 27 tenaga medis.
Menghadapi situasi ini, pemerintah Suriah di bawah komando al-Sharaa menyalahkan sisa-sisa kelompok loyalis Assad sebagai biang kerok dari peristiwa kekerasan ini. Kelompok itu dinilai mencoba menghasut permusuhan sektarian di Suriah.
Presiden al-Sharaa juga menyalahkan unit militer lama yang masih menunjukan loyalitas pada Assad dan sebuah kekuatan asing yang tidak disebutkan sebagai pemantik kekerasan yang melibatkan warga sipil ini. Meski begitu, ia mengatakan, pemerintahannya akan mempertanggungjawabkan siapa pun yang terlibat dalam kematian warga sipil selama pertempuran sengit itu.
Pemerintah Suriah berjanji akan membentuk komite independen untuk menyelidiki dan memastikan fakta-fakta serta mengajukan laporan kepada kepresidenan dalam 30 hari.
Dalam wawancaranya dengan Reuters, al-Sharaa mengakui bahwa kekerasan dalam beberapa hari terakhir akan berdampak pada upayanya untuk menyatukan Suriah, namun ia berjanji untuk memperbaiki situasi itu.
Potensi Keterlibatan Negara Asing
Pengamat hubungan internasional dari Fakultas Humaniora Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor, Sofi Mubarok, menilai perang saudara yang terjadi di Suriah ini merupakan ujian serius pertama bagi pemerintahan baru Suriah.
Ia menyebut, dengan banyaknya kelompok dan faksi politik yang ada di Suriah, konflik-konflik seperti ini sangat mungkin terjadi.
“Terutama dalam kondisi yang belum sepenuhnya terkendali agak susah menuduh siapa di balik peristiwa berdarah ini,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (11/3/2025).
Kelompok Alawite yang dalam peristiwa ini menjadi korban, merupakan kelompok yang berkuasa lebih lama sejak era Hafidz Asad, ayah dari Bashar Assad. Oleh karena itu, konflik sekecil apapun yang melibatkan kelompok ini, jika tidak segera diredam, tentu akan menjadi pemantik konflik yang lebih luas.
“Sikap oposisi mereka (Alawite) terhadap pemerintahan baru bisa dipantik oleh siapapun yang menginginkan kekacauan dan kejatuhanf pemerintahan Ahmad al-Sharaa,” katanya
Menurut Sofi, Presiden al-Sharaa masih menganggap proyek yang dilakukan Iran di Suriah yang selama ini melibatkan kelompok Alawite sebagai biang kekacauan dan disintegrasi rakyat Suriah. Ini tampak dari kunjungan luar negerinya yang belum menyentuh Iran, dan malah ke negara-negara rivalnya, seperti Arab Saudi dan Turki.
Sementara itu, dari dalam negeri upaya pemerintahan baru dalam merangkul kelompok-kelompok di Suriah, termasuk SDF atau Pasukan Demokatik Suriah, yang didominasi oleh Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) beberapa hari kemarin belum cukup membuat Suriah menyatu.
“Preferensi ini tentu bisa dimanfaatkan oleh musuh-musuh politik pemerintahan baru di bawah komando Sharaa, domestik maupun internasional,” ujarnya.
Sofi melihat langkah pemerintahan baru Suriah untuk segera menginvestigasi masalah ini sudah tepat. Jika tidak, Iran sebagai negara yang selama ini di belakang pemerintah Asad akan semakin memberi tekanan bagi pemerintah baru ini.
“Dan di dalam negeri Suriah, kelompok Alawite diprediksi akan memberikan perlawanan yang lebih besar kedepannya,” ujarnya
Setelah perang saudara Suriah yang terjadi lebih dari satu dekade lalu, aktor regional dan kekuatan dunia – termasuk Arab Saudi, Iran, AS, Rusia, dan Turki – memang nampak bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Suriah.
Turki, yang memperoleh banyak keuntungan di Suriah setelah Assad digulingkan, sebelumnya memperingatkan Iran agar tidak mencoba mendestabilisasi Suriah.
Seperti yang dilaporkan CNN, Amerika Serikat mengecam keras peristiwa kekerasan yang terjadi di Suriah ini. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menyatakan dukungannya terhadap agama dan etnis minoritas di Suriah.
Senada, Uni Eropa yang bulan lalu baru mencabut beberapa pembatasan terhadap Suriah juga turut mengutuk kekerasan yang terjadi baru-baru ini dan menegaskan bahwa warga sipil harus dilindungi dengan segala keadaan dengan menjunjung tinggi hukum internasional.
tirto.id - News
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty