Gejolak Investasi Saham, Akankah Berlanjut di 2025?

1 day ago 2

tirto.id - Jam menunjukkan pukul 09.00 WITA, Daniel (31) sudah bersiap di depan layar gawainya untuk mulai mempelajari pergerakan informasi dunia pagi itu. Riset informasi yang Daniel lakukan menjadi modalnya untuk "bertempur" di pasar modal setiap harinya.

Lima tahun belakangan, pria ini mencoba peruntungan menjadi pemain saham penuh waktu atau full time trader. Daniel, yang saat ini berdomisili di Bali, pun sudah mulai terbiasa dan menikmati rutinitasnya main saham untuk memenuhi kebutuhannya.

"Bangun (dari tidur), pasti pelajarin news, pasti ada spend waktu satu jam (sebelum market buka), untuk pelajarin arah market ke mana nih. Beberapa negara juga sudah buka kan market-nya. Biasa nih jalannya kompak, satu merah, semua akan merah. Kalau blue chip loyo, pasti ada (saham) gorengan yang naik, dan juga sebaliknya. Akhirnya semua terpola saja," ceritanya kepada Tirto, Rabu (13/11/2024).

Adapun istilah blue chip, yang disebut Daniel, mengacu ke istilah dalam pasar modal untuk menyebut saham dari perusahaan besar yang punya pendapatan stabil. Sementara saham gorengan adalah istilah untuk saham perusahaan yang kenaikannya di luar kebiasaan karena pergerakannya sedang direkayasa oleh pelaku pasar dengan tujuan kepentingan tertentu.

Menurut pengakuannya, setiap hari, ia menghabiskan sekitar tiga jam untuk benar-benar fokus dan intens bekerja. Satu jam di pagi hari saat pasar buka; satu jam di siang hari; sekitar setengah jam sebelum pasar istirahat; setengah jam setelah pasar buka kembali; dan terakhir, satu jam di sore hari sebelum pasar ditutup untuk hari itu.

Di tengah kondisi dunia yang penuh gejolak, Daniel mengaku tetap optimistis dengan pasar saham dan belum ada rencana untuk mencoba investasi lain.

"Asal kita bisa mengamati dan memantau informasi, ada gejolak seperti perang atau pemilu (pemilihan umum) di Amerika, ataupun kondisi lain, seharusnya gak bakal celaka," ujarnya.

Selama menjadi trader penuh waktu, Daniel juga sempat mengalami masa sulit seperti saat nilai indeks saham terjun bebas saat Covid-19.

"Tapi di setiap penurunan yang tajam, selama bisa clear posisi, itu berpeluang banget untuk rebound," ujarnya.

Dia juga masih sangat yakin dengan investasinya di saham dibanding instrumen investasi lain. Daniel mengaku pernah mencoba investasi di instrumen lain seperti aset kripto dan pasar valuta asing alias forex. Namun keduanya lebih menyita waktu.

"Lagian saham ini kan kita beli saham perusahaan A,B,C; kita bisa baca laporan keuangan dan kinerjanya. Jadi cukup jelas apa yang kita perdagangkan di pasar saham," tuturnya.

Sementara menurut Daniel sendiri, instrumen investasi lain yang lebih konvensional, seperti deposito, jadi terasa kurang menarik dibanding emas.

"Kalau emas, kalau harganya naik, harga saham yang produksi atau ada kaitan sama emas juga ikut naik kan, ya udah kita belinya emitennya aja langsung," tambah dia lagi.

Tren Kenaikan Investor Saham di Kalangan Anak Muda

Nyatanya pasar saham memang menjadi instrumen investasi yang menarik. Semakin banyak orang seperti Daniel, yang berinvestasi di saham.

Berdasar laporan bulanan Bursa Efek Indonesia (BEI), pada September 2024, tercatat ada sekitar 13,88 juta investor pasar modal yang tercatat.

Kemudian, pada 11 Oktober 2024, dalam rilis resmi BEI, per Kamis (3/10/2024), tercatat ada 14 juta single investor identification (SID) di pasar modal. Angka ini meningkat dibanding akhir tahun 2023, yang jumlahnya sekitar 12,2 juta SID. Artinya, ada peningkatan sekitar 1,8 juta investor pasar modal dalam waktu kurang dari 10 bulan.

Angka ini juga sudah naik sekitar 6 kali lipat dari angka tahun 2019, ketika jumlah investor pasar modal hanya sebanyak 2,41 juta orang.

Menariknya lagi, menurut catatan BEI, sekitar 79 persen dari total investor baru adalah mereka yang berusia di bawah 40 tahun. Hal ini menjadi sinyal positif dari tingginya partisipasi dan ketertarikan generasi muda dalam berinvestasi di pasar modal.

Sementara itu, data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menunjukkan, pasar modal juga menjadi instrumen investasi dengan jumlah peminat paling besar. Dibandingkan dengan Reksa Dana, SBN, dan Surat berharga lainnya, jumlah investor saham jadi yang paling tinggi, meski kenaikannya tidak semelesat instrumen lainnya.

Menariknya data KSEI juga menunjukkan tren investasi di pasar modal oleh anak muda yang sama. Pada laporan September 2024, sebanyak 54,96 persen investor pasar modal yang tercatat berusia di bawah 30 tahun. Sementara 24,35 persen berusia 31-40 tahun, 11,99 persen antara 41-50 tahun, 5,72 persen antara 51-60 tahun dan 2,98 persen sisanya berusia 60 tahun.

Senada dengan laporan KSEI, survei Katadata Insight Center (KIC) pada 2021 juga menyingkap kalau saham lebih banyak diminati oleh anak muda, secara spesifik Generasi Z/Gen Z. Jajak pendapat yang melibatkan 1.425 responden ini menunjukkan, semakin tua generasi, maka semakin rendah persentase mereka yang memilih investasi di saham.

Secara lebih detail, persentase responden Gen Z yang menginvestasikan uangnya di instrumen saham mencapai 25,9 persen. Saham diketahui menjadi jenis investasi paling populer ketiga di kalangan generasi tersebut, setelah emas dan reksadana.

Sementara persentase responden Gen Y, Gen X, serta Boomer yang telah terjun di pasar saham masing-masing hanya sebesar 22,2 persen dan 18 persen.

Pemilu AS dan Deflasi Picu Gejolak IHSG?

Meski peminatnnya cenderung meningkat, kondisi ketidakpastian ekonomi global membuat pasar modal Indonesia mengalami dinamika menarik sepanjang tahun 2024.

Dalam keterangan resmi Pemerintah Indonesia disebutkan, pada akhir Juli 2024 lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan penurunan sampai 4,19 persen secara year to date (ytd) kala itu.

Kondisi tersebut menyebabkan IHSG menjadi indeks saham terlemah di kawasan ASEAN dan Asia Pasifik. Meski pada penutupan semester I tahun 2024, IHSG sempat kembali ke zona hijau dan menutup di level sekitar 7 ribu.

Berita baiknya, tren meningkat ini berlanjut. BEI dalam siaran pers 16 Agustus 2024 menyebut, IHSG memecahkan rekor baru all time high (ATH) ke level 7.436,039. Jika melihat datanya, nilai IHSG juga terus naik dan mencapai puncaknya pada 19 September 2024, di level 7.905,39. Nilainya sendiri terus berfluktuasi, namun cenderung turun pada November 2024. Terakhir, pada 14 November 2024, IHSG berada di tingkat 7.214,56.

Analis sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai, IHSG yang melemah awal November ini tak lepas dari kemenangan Donald Trump sebagai presiden baru Amerika Serikat (AS).

Memang, setelah Trump unggul atas Kamala Harris pada pemilihan presiden 2024, Rabu (6/11/2024), IHSG diketahui ditutup melemah. Penutupan IHSG saat itu berada di kisaran 7.383, turun dari hari sebelumnya yang berada di level 7.491,93.

“Indeks harga saham gabungan pasca Pilpres di Amerika ini mengalami penurunan yang cukup signifikan, karena pasar sebenarnya tidak menginginkan Donald Trump sebagai pemenang Pilpres di Amerika,” kata Ibrahim ketika dihubungi Tirto, Rabu (13/11/2024).

Buntut kemenangan Trump ini dikatakan Ibrahim menyebabkan indeks dolar menguat, di mana hal ini berdampak terhadap arus modal asing di negara-negara berkembang.

“Arus modal asing yang ada di negara-negara lawan, [negara] berkembang, salah satunya adalah Indonesia, ini terjadi penarikan dana besar-besaran. Sehingga indeks harga saham gabungan melemah, kemudian mata uang rupiah pun juga ikut melemah. Itu sangat wajar sekali,” terangnya.

Hasil pantauan Tirto di laman kurs Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berada di angka Rp15.844,83, terhitung sejak Rabu (6/11/2024).

Angka tersebut lebih tinggi ketimbang nilai tukar rupiah ke dolar AS sehari sebelum Pilpres AS dihelat, tepatnya pada Selasa (5/11/2024), yakni senilai Rp15.829,75, yang artinya rupiah melemah. Selanjutnya, pada Kamis (7/11/2024), nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bahkan menyentuh Rp15.919,20.

Sebulan sebelumnya, pada 7 Oktober 2024, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya menyentuh Rp15.572,48.

Kendati begitu, pergerakan IHSG belakangan rupanya tak hanya dipengaruhi oleh kondisi global. Selain pemilu AS, Ibrahim menaksir, deflasi di Indonesia selama lima bulan sejak Mei - September 2024 juga turut andil dalam menciptakan gejolak.

Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri telah mencatat deflasi 0,12 persen secara bulanan (month to month/mtm) pada September lalu, yang tercatat menjadi deflasi bulan kelima tahun ini yang terjadi secara berturut-turut. Angka itu makin dalam dibandingkan kondisi Agustus 2024 sebesar 0,03 persen dan menjadi kondisi terparah dalam lima tahun terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Deflasi itu selama lima bulan. Deflasi ini memang menandakan bahwa konsumsi masyarakat itu mengalami penurunan yang cukup drastis. Akibat apa? Akibat kelas menengah ini mengalami satu permasalahan,” kata Ibrahim.

Pada saat kelas menengah berguguran, salah satunya akibat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang merajalela, maka mereka tidak mendapatkan uang, sementara uang yang dikeluarkan banyak.

“Kemudian yang terjadi, kenapa konsumsi masyarakat itu melambat, orang-orang yang di PHK tersebut, mereka berjualan. Anggaplah yang berjualan itu 100 orang, yang beli cuma 50 orang. Sehingga banyak sekali masyarakat-masyarakat yang jualan di pinggir jalan, ini mengalami kebangkrutan,” sambung Ibrahim.

Jika menilik tren ke belakang, kinerja IHSG memang tampak lesu selama pertengahan Mei sampai medio Juni 2024. Pada 21 Mei 2024, IHSG bergerak di posisi 7.186,04, atau turun 1,11 persen dibanding penutupan sebelumnya di level 7.266,69.

Tren itu masih terus berlanjut sampai 19 Juni 2024. Pada saat itu IHSG bahkan anjlok di level 6.726,92. Namun, sehari setelahnya pergerakan IHSG perlahan menguat dan terus melaju naik setidaknya sampai pertengahan Juli 2024.

Setelah cukup fluktuatif selama 15 Juli - 5 Agustus 2024, nilai IHSG melanjutkan kenaikan dan menunjukkan performa yang mentereng pada 19 September 2024.

Saham Masih “Terganggu” Hingga Awal Tahun 2025?

Ibrahim dari PT Laba Forexindo Berjangka memprediksi, gejolak IHSG masih akan terjadi hingga pelantikan Presiden AS baru pada Januari 2025 mendatang. Sementara di masa transisi antara November sampai Januari, pasar disebut masih tidak pasti.

“Banyak investor yang wait and see, investor kembali turun, kembali keluar dari pasar, sehingga wajarlah kalau indeks harga saham gabungan, baik di Amerika, kemudian di Eropa, di Indonesia, yang dipimpin oleh saham-saham teknologi ini berguguran. Sehingga mengalami satu penurunan yang cukup signifikan,” kata Ibrahim lewat Zoom, Rabu (13/11/2024).

Di sisi lain, Ibrahim mengungkap, dalam kampanye, Trump mengatakan bahwa siapapun yang melakukan transaksi perdagangan internasional tidak menggunakan dolar akan mendapatkan sanksi 100 persen.

“Ini yang cukup menarik sebenarnya, sehingga para investor, ini wait and see semua, mereka mengalihkan dananya, bukan lagi di yield obligasi, bukan lagi di emas, bukan lagi di dolar, tapi mereka melarikan diri adalah ke kripto,” terangnya.

Kendati cenderung belum pasti, Ibrahim memproyeksikan ada beberapa sektor saham yang kemungkinan memiliki kinerja yang baik, mengikuti sejumlah aturan yang akan diberlakukan presiden terpilih, Prabowo Subianto.

“Jadi kalau saya lihat, Indonesia ini kan, Prabowo itu kan, sudah mengeluarkan undang-undang tentang pemutihan. Untuk pemutihan UMKM, pertanian, kemudian ke laut nelayan, dan lain-lain. Sebenarnya ini mengangkat kondisi nanti ke depannya,” kata Ibrahim.

Selain itu, program makan gratis yang sudah dicanangkan juga disebut Ibrahim kemungkinan besar berdampak positif terhadap beberapa emiten, seperti susu.

“Bahwa produk susu ini sebenarnya dari dulu pun sudah bagus, tapi dengan adanya program makan gratis, ini kemungkinan besar akan melejit harganya,” sambung Ibrahim.

Menurutnya, kebijakan lain yang juga akan berpengaruh positif terhadap saham di antaranya pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi. Mobil pelat hitam dengan ruang bahan bakar besar misalnya, belakangan diisyaratkan pemerintah tak boleh isi BBM subsidi.

“Ini juga sebenarnya cukup membantu. Ini membantu saham-saham berbasis energi. Terutama adalah pertamina dan non-pertamina, BUMN dan non-BUMN, ini kemungkinan besar akan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Tapi kapan dimulainya? Kalau BBM sendiri katanya di Desember. Di Desember baru akan dimulai. Kemudian untuk makan gratis, itu di bulan Januari,” kata Ibrahim.

Lagi-lagi, Ibrahim menggarisbawahi bahwa masih belum ada kejelasan selama masa transisi sampai Januari.

“Dibarengi dengan kondisi yang ada di eksternal, terutama di Amerika, di Eropa, dan Timur Tengah, ini yang membuat kenaikan harga saham-saham yang tadi saya sebutkan, itu pun juga tidak akan terlalu signifikan. Kemungkinan besar naik pun jatuh lagi,” ungkapnya.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email [email protected].


tirto.id - News

Penulis: Fina Nailur Rohmah & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |