tirto.id - Marwah perguruan tinggi harus terus dijaga dari tabiat kekuasaan yang mengintervensi etika profesionalisme akademik. Elite penguasa lewat segala agenda kepentingan di belakangnya seharusnya membuat kampus lebih berhati-hati dan mengambil jarak. Kampus diharapkan menjadi suluh pengetahuan independen yang bebas dari hegemoni kekuasaan.
Kasus doktoral Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, di Universitas Indonesia (UI) dapat menjadi pelajaran penting terkait integritas kampus. UI memutuskan menangguhkan gelar doktor Bahlil setelah polemik kelulusannya yang kurang dari dua tahun masa perkuliahan. Hal ini dinilai janggal dan tidak masuk akal untuk mahasiswa doktoral.
Keputusan ini diambil berdasarkan hasil rapat koordinasi empat Organ UI, yakni Majelis Wali Amanat (MWA), Rektorat, Dewan Guru besar (DGB), dan Senat Akademika (SA), Selasa (12/11/2024) di Salemba, Jakarta Pusat. Selain menangguhkan gelar doktor Bahlil, UI juga menggelar sidang etik untuk membahas lebih lanjut masalah ini.
Seiring penangguhan gelar doktor Bahlil, UI memutuskan menunda sementara (moratorium) penerimaan mahasiswa baru di Program Doktor (S3) Sekolah Kajian Stratejik dan Global hingga audit yang komprehensif terhadap tata kelola dan proses akademik di program tersebut rampung dilakukan. Kampus kuning meminta maaf atas persoalan dalam penyelenggaraan pendidikan tingginya.
Bahlil Lahadalia melakukan sidang promosi doktor yang digelar oleh Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI, bulan lalu. Masyarakat dan sivitas akademika dibuat terheran-heran dengan masa perkuliahan Bahlil yang super singkat. Belakangan warganet menemukan ada banyak kejanggalan dari hasil disertasi Bahlil. Akibatnya, muncul dugaan praktik joki di balik disertasi milik Bahlil. JATAM juga melayangkan protes karena merasa Bahlil mencatut LSM itu secara sepihak sebagai sumber informasi dalam disertasi.
Ketua Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman, menilai kasus Bahlil harus membuat kampus berhati-hati dalam menjaga integritas akademik. Kampus seharusnya terbebas dari konflik kepentingan kekuasaan dan tidak perlu ewuh pakewuh pada elite yang memiliki jabatan publik.
“Integritas akademik itu apa? Ya, tentu proses lahirnya pengetahuan atau ilmunya dengan karakteristik saintifikasi yang tidak dimanipulasi, tidak bisa plagiarisme dan fabrikasi,” kata Herlambang kepada reporter Tirto, Kamis (15/11/2024).
Herlambang menilai sudah banyak sekali karya ilmiah gadungan yang melahirkan akademisi dan guru besar abal-abal. Mereka memanfaatkan jaringan mafia publikasi jurnal ilmiah yang predatoris dan memanfaatkan birokrasi pemerintahan. Sikap ini membuat lingkup akademisi dipenuhi sosok yang tidak memiliki integritas dan cuma mengincar gelar atau jabatan.
Dalam sejarahnya, kata dia, dunia intelektual memang banyak dipengaruhi oleh bekerjanya kekuasaan. Institusi perguruan tinggi diupayakan tunduk pada kekuasaan sebab sering kali dinilai mengoreksi atau memberikan catatan kritis atas kerja-kerja penguasa. Praktik ini bisa dilihat lewat kebijakan Orde Baru soal normalisasi kampus.
Menteri Pendidikan kala itu, Daoed Joesoef, mengeluarkan SK Nomor 0156/U/ 1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan untuk meredam kritik mahasiswa dan akademisi kampus. Pada pemerintahan Jokowi, Kemendikbud melalui Surat Edaran Nomor 1035/E/KM/2020 juga pernah mengimbau Pembelajaran secara Daring dan Sosialisasi UU Cipta Kerja, untuk menormalisasi kampus saat protes menolak Omnibus Law Cipta Kerja menyeruak.
“Sering kali kritik yang diberikan kalangan kampus dilakukan secara ekspresif. Dia bukan hanya diberhentikan dan bisa dilakukan pemidanaan akademisi,” ujar Herlambang.
Herlambang melihat pemerintah membutuhkan dukungan kampus agar mengamplifikasi dan mendapat justifikasi atas program dan kebijakan yang dikeluarkan. Namun, bukannya lewat metode yang saintifik dengan kajian dan masukan, pemerintah malah mengkooptasi kampus dengan beragam kebijakan yang melanggengkan relasi kuasa antara negara dan perguruan tinggi.
Misalnya lewat Permen Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 19 Tahun 2017 dan Nomor 21 Tahun 2018, dalam pemilihan rektor, menteri memiliki hak suara sebesar 35 persen sementara senat memiliki hak suara sebesar 65 persen. Aturan ini dinilai melanggengkan cengkraman kekuasaan di tubuh perguruan tinggi.
“Lalu dengan kooptasi yakni memberikan kekuasaan tertentu seperti jabatan, proyek, dan kontrol,” ucap Herlambang.
Sementara itu, Bahlil Lahadalia, mengaku belum mengetahui detail dokumen penangguhan status doktornya. Namun, Ketua Umum Partai Golkar itu membenarkan sudah menerima surat rekomendasi penangguhan dari UI. Bahlil mengklaim dijadwalkan tetap akan wisuda Desember mendatang. Ia tidak merasa ada masalah atas gelar yang diraihnya secara kilat.
"Memang wisuda saya itu harusnya di Desember dan saya, kan, dinyatakan lulus itu setelah yudisium," kata Bahlil ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (13/12/2024).
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia (tengah) didampingi ibu Nurjani (kedua kanan) dan istri Sri Suparni (kanan) menerima ucapan selamat dari Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kedua kiri) usai Sidang Promosi Doktor di Bidang Kajian Stratejik dan Global dirinya di Gedung Makara Art Center, Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Rabu (16/10/2024). Bahlil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktor Kajian Stratejik Global, Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dengan disertasinya yang berjudul “Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia” dan meraih predikat Cumlaude. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/nym
Tugas Intelektual
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, melihat gejala kooptasi penguasa di tubuh perguruan tinggi sudah diprediksi sejak lama. Kasus Bahlil jadi segelintir dugaan adanya konflik kepentingan di balik agenda pribadi elite dengan kampus.
Menurut pria yang akrab disapa Castro tersebut, tangan pemerintah cukup besar di tubuh kampus. Pasalnya, pemilihan rektor saja akan lebih dekat dengan aroma kepentingan sebab ditentukan dengan suara pihak pemerintah.
“Kampus sekarang berada dalam kecenderungan relasi kuasa, terutama dalam kepentingan kekuasaan yang mengkooptasi kampus. Jelas kalau tidak dapat restu kementerian sama saja tidak jadi rektor,” ujar Castro kepada reporter Tirto.
Ia melihat adanya relasi timbal balik yang membuat kampus harus tunduk pada kekuasaan. Rektor perguruan tinggi negeri yang dipilih cenderung tunduk pada kemauan Menteri. Saat ini, kata Castro, kampus berubah menjadi ladang bisnis dengan seringnya mengobral gelar kehormatan bagi elite penguasa dan pejabat secara instan.
“Ini menyebabkan lahirnya intelektual-intelektual kelas kambing. Mereka adalah akademisi yang rela menggadai kampusnya demi posisi jabatan, kekuasaan, dan uang,” ucap Castro.
Intelektual kelas kambing adalah istilah yang pernah dipakai Y.B Mangunwijaya untuk para akademisi yang mengabaikan integritas akademik demi tunduk pada kekuasaan. Mereka ini adalah intelektual yang rela menyebut hasil dari 4×4 sama dengan 20, karena kekuasaan.
Edward Said dalam Peran Intelektual: Kuliah-kuliah Reith Tahun 1993 (2014) menulis bahwa intelektual sejati merupakan orang-orang yang berada di sisi ‘marjinal’. Intelektual adalah ia yang rela terpinggirkan untuk membela kebenaran dan memiliki semangat oposisi terhadap status quo kekuasaan. Tugas intelektual, kata Said, adalah berbicara pada kekuasaan soal hal-hal yang benar.
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai kooptasi kekuasaan merupakan ancaman bagi kebebasan akademik. Fenomena gejala anti-sains dalam tata kelola kampus sudah dalam kondisi yang cukup akut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya gelar yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak patut.
“Kampus dalam cara kerjanya justru dikooptasi dengan kepentingan bisnis dan kekuasaan. Intervensi politik dan ekonomi ini mempengaruhi cara pandang dalam mengelola kampus,” kata Satria kepada reporter Tirto.
Ia melihat, watak kartel dalam tata kelola perguruan tinggi saat ini bukan tanpa sebab. Jiwa independensi kampus sudah tergadai dengan besarnya peran pemerintah dalam penentuan jajaran pejabat kampus. Selain itu, hasrat dari pimpinan kampus yang ingin meraih posisi menjadi pejabat publik, tak segan menggadaikan integritas kampus untuk tunduk dan patuh pada agenda pemerintah.
Deklarasi Kebebasan Akademik yang digagas di Universitas Bologna pada 18 September 1988 atau Magna Charta Universitatum sudah menegaskan independensi perguruan tinggi. Kampus seharusnya merupakan entitas yang memiliki tanggung jawab besar memastikan moral, kebenaran, dan kejujuran dalam melaksanakan tanggung jawab akademik.
“Muncul saat ini intelektual kelas kambing. Dia menstempel apapun yang dianggap benar oleh rezim atau penguasa. Maka otonomi kampus yang diharapkan mewujudkan mimbar kebebasan akademik tidak akan terjadi,” ucap Satira.
tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang