tirto.id - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menggeser penerima insentif Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM), dari sebelumnya bank-bank penyalur kredit di sektor padat modal menjadi sektor padat karya. Dengan pembahasan yang masih terus berlangsung, Gubernur BI, Perry Warjiyo, menarget kebijakan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025.
Dus, ketika kebijakan insentif untuk sektor padat karya ini meluncur, insentif untuk industri-industri padat modal yang telah ditetapkan dan telah diberikan sejak 1 Juni 2024 bakal berakhir. Industri-industri padat modal yang dimaksud itu antara lain hilirisasi pertambangan, otomotif, perdagangan, listrik, gas, dan air, jasa sosial perumahan, serta sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
“Pada tahap pertama, sektor-sektor dan perusahaan yang kena [dampak] COVID-19, istilahnya scaring effect.Nah, itu sudah mulai tumbuh kan. Tahap kedua, sektor-sektor yang kreditnya semakin tumbuh, ekonominya semakin tumbuh. Nah, kami alihkan ke sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja [padat karya],” jelas Perry dalam Konferensi Pers Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober 2024 di Gedung BI, Jakarta Pusat, Rabu (16/10/2024).
Dengan pengalihan penerima tersebut, pertumbuhan kredit di sektor-sektor padat karya diharapkan dapat tumbuh lebih tinggi, seperti halnya pada sektor padat modal. Pertumbuhan sektor padat karya itu juga diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Sehingga, nanti kalau kreditnya tumbuh, pertumbuhan sektor tumbuh, pertumbuhan ekonomi tumbuh, penciptaaan lapangan kerja tumbuh, pendapatan masyarakat naik, konsumsi naik, mendorong ekonomi lagi,” imbuh Perry.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Gubernur BI, Doni Primanto Joewono, menjelaskan bahwa sektor padat karya di daerah masih tertekan, terutama industri manufaktur dan pertanian. Padahal, beberapa industri lainnya, seperti industri makanan dan minuman serta perdagangan, sudah mulai bangkit usai terpukul dampak Pandemi COVID-19.
“Di sektor padat karya, utamanya pertanian dan manufaktur, itu cukup tertekan di daerah. Terutama, aspek produktivitas menjadi isu utama dan juga termasuk lahan pertanian yang juga semakin turun. Nah, oleh karena itu tadi yang disampaikan Pak Gubernur, KLM itu diarahkan kepada padat karya di daerah-daerah,” ujar Doni.
Tekanan yang masih dialami sektor padat karya tercermin dari realisasi penyaluran kredit sub-sub sektor terhadap realisasi penyaluran kredit secara nasional.
Pada September 2024, misalnya, kredit perbankan tercatat sebesar 10,85 persen secara tahunan (year on year/yoy). Capaian tersebut didorong oleh penyaluran kredit sektor pertambangan yang mencapai 26,7 persen; kredit listrik, gas, dan air sebesar 15,9 persen; pengangkutan, telekomunikasi, dan sebagainya di kisaran 17,5 persen; kemudian jasa dunia usaha sebesar 16 persen.
Sebaliknya, penyaluran kredit untuk sektor-sektor padat karya seperti pertanian hanya tumbuh di kisaran 7,4 persen. Sementara itu, industri pengolahan tumbuh 7,22 persen dan perdagangan hanya 8,4 persen.
“Tentunya itu untuk menyerap tenaga kerja sekaligus mendorong segmen pertumbuhan untuk masyarakat yang segmen [pendapatan] menengah ke bawah,” imbuh Doni.
Disambut Baik
Rencana penyesuaian sektor prioritas penerima insentif KLM itu disambut baik oleh PT Bank Central Asia Tbk alias BCA yang merupakan salah satu penerimanya. Bahkan, menurut Executive Vice President (EVP) Corporate Communication and Social Responsibility BCA, Hera F. Haryn, insentif berupa pengurangan giro wajib minimum (GWM) maksimal 4 persen tersebut akan efektif mendorong peningkatan lapangan kerja ke berbagai industri, seperti pertanian, industri pengolahan, maupun perdagangan.
Perluasan lapangan pekerjaan ini dinilai dapat terjadi seiring dengan pertumbuhan penyaluran kredit bank ke sektor-sektor padat karya.
“Kami optimis penyesuaian KLM tersebut dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya,” kata Hera kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Sementara itu, dari total kredit sebesar Rp850 triliun (tumbuh 15,5 persen secara tahunan) yang telah disalurkan BCA per Juni 2024, mayoritas disumbang oleh kredit industri jasa keuangan dan pertambangan nonminyak dan gas (nonmigas).
Pertubuhan realisasi penyaluran kredit itu dibarengi dengan likuiditas perusahaan yang masih cukup memadai, dengan loan to deposit ratio (LDR) per Juni 2024 berada di posisi 72,7 persen.
“Ke depannya, BCA senantiasa akan menyalurkan kredit ke sektor-sektor potensial, tentunya dengan memperhatikan berbagai pertimbangan seperti kondisi perekonomian domestik maupun global. Kami juga berkomitmen menyalurkan kredit secara pruden sekaligus mempertimbangkan prinsip kehati-hatian dengan penerapan manajemen risiko yang disiplin,” tegas Hera.
Senada, Corporate Secretary PT Bank Negara Indonesia (Tbk) atau BNI, Okki Rushartomo Budiprabowo, juga optimistis insentif yang ditetapkan oleh BIitu dapat mendorong pertumbuhan kredit sektor padat karya sehingga mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Pasalnya, industri-industri yang tergolong dalam sektor padat karya mampu meyerap banyak tenaga kerja saat kinerjanya berjalan bagus.
Berdasar catatan BI, sektor perdagangan, pertaniaan, dan industri pengolahan padat karya merupakan sektor-sektor yang bisa menyerap hingga 50 persen tenaga kerja. Selain itu, sektor transportasi, pariwisata, dan ekonomi kreatif juga memiliki penyerapan tenaga kerja yang tinggi.
"Insentif likuiditas merupakan insentif yang diberikan agar bank bekerja menyalurkan kredit dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pada akhirnya kredit yang diberikan diharapkan dapat mencetak lapangan kerja. Ke depannya, KLM akan banyak disalurkan ke kredit-kredit yang menyerap banyak tenaga kerja," jelas Okki kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Selain itu, rencana kebijakan tersebut juga dinilai selaras dengan upaya pemerintah yang berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi ke level maksimal, yakni 8 persen.
"Karena dengan lapangan kerja yang semakin banyak tersedia akan dengan sendirinya menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Di mana, konsumsi rumah tangga merupakan faktor penopang utama PDB di Indonesia," imbuh Okki.
Tak Cukup Hanya Insentif
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menilai penyesuaian penerima insentif KLM adalah itikad baik BI yang patut diapresiasi. Apalagi, insentif likuiditas ini memang dirancang untuk meningkatkan daya serap perekonomian terhadap angkatan kerja sehingga mampu mengurangi pengangguran.
Termasuk dalam hal ini, efek KLM diharap bisa menahan laju pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sampai saat ini masih banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di industri pengolahan seperti tekstil.
Namun, insentif KLM saja tak akan berdampak cukup besar terhadap perluasan lapangan Pekerjaan di sektor padat karya. Apalagi, sampai mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sampai di level 8 persen seperti yang dicita-citakan Presiden RI Terpilih, Prabowo Subianto.
“Untuk meningkatkan penyerapan angkatan kerja, ya sektor padat karya yang harus diprioritaskan. Tidak cukup kalau hanya dari kebijakan moneter,” kata Piter, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Lebih penting dari itu, pemerintah seharusnya juga mengambil langkah nyata untuk memperbaiki buruknya kinerja sektor padat karya. Sebab, masalah-masalah yang terjadi di sektor padat karya hanya dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal dan nonfiskal, seperti pemberian insentif dan menyederhanakan perizinan sehingga memudahkan proses administrasi yang dibutuhkan oleh industri-industri dengan banyak pekerja.
“Kebijakan pemerintah itu lebih kepada insensitif pajak dan kemudahan-kemudahan terkait perizinan, dan lain-lain,” sambung Piter.
Hal ini diamini pula oleh ekonom perbankan dari Binus University, Dody Arifianto. Bahkan, menurutnya, insentif KLM hanyalah suplemen atau vitamin dari BI kepada sektor industri yang sudah sakit dan hampir sekarat.
Mengutip data lembaga think tank kebijakan publik Next Policy, dalam 10 tahun terakhir, industri padat karya justru semakin terpuruk, bukannya bertumbuh.
Industri tekstil dan pakaian jadi, misalnya, yang pada 2013 masih berkontribusi 1,42 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, pada 2023 hanya berkontribusi 1,11 persen. Demikian pula industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki yang pada 2011 masih berkontribusi sebesar 0,30 persen terhadap PDB nasional, tapi kontribusinya menyusut hingga tersisa 0,25 persen pada 2023.
Dengan kondisi tersebut, tak heran kontribusi industri manufaktur pada 2010 yang mencapai 22,04 persen terhadap PDB, merosot di 2023 menjadi hanya 18,67 persen.
“Sebenarnya, apa yang dilakukan BI ya hanya sebatas stimulanlah, suplemen. Karena, dia [sektor padat karya] perlu dorongan yang lebih konkret sebenarnya,” jelas Doddy melalui sambungan telepon kepada Tirto, Kamis (17/10/2024).
Menurut Doddy, yang jadi masalah saat ini adalah bahwa sektor padat karya tengah mengalami pukulan dari dua sisi: daya beli masyarakat yang melemah dan banjir barang impor—salah satunya dari Cina—di pasar-pasar konvensional dan lokapasar.
“Kita punya banyak masalah struktural. Contoh tekstil, isunya bukan kredit, tapi [impor] tekstil dari Cina masuk dengan bebas gitu. Mau dikasih kredit 0 juga lewat. Ada isu yang lebih struktural ya kalau saya bilang, lebih fundamental,” sambungnya.
Meski begitu, menyehatkan kembali sektor padat karya sebenarnya bukanlah tugas BI, tapi pemerintah. Dalam hal ini, BI hanya bisa menstimulasi industri sehingga dapat sehat sepenuhnya. Karena, hanya dengan penyehatan inilah, Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen. Jadi, tak cuma sekadar memperluas lapangan pekerjaan di sektor padat karya.
“Bagaimana caranya? E-commerce itu juga perlu dibenahi. Aturannya apa yang di e-commerce itu untuk tertentu diaturlah. Masak semua barang sampai perintil-perintil bisa masuk gitu tanpa ada kena biaya-biaya. Itu enggak bener. Ini tata aturan ini nih. [Insentif KLM] itu semua suplemen yang diberikan, yang diadakan oleh BI,” tukas pengajar Binus University itu.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi