tirto.id - Isi perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon meliputi sejumlah syarat. Kaitannya tentang penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Tak ayal, penyebaran agama Islam dapat diterima dengan mudah dan membikin Islam jadi agama mayoritas di Indonesia.
Syekh Subakir merupakan seorang ahli ruqyah asal Persia. Karena keahliannya, ia diutus pergi ke Jawa oleh Sultan Muhammad I dari Kesultanan Turki Usmani. Peristiwa ini terjadi sekira tahun 1404 M.
Bukan kebetulan Syekh Subakir dipilih Muhammad I. Jauh sebelum kedatangan Syekh Subakir, sejumlah pendakwah sudah tiba ke Jawa. Namun, dakwah Islam awalnya berujung kegagalan lantaran pengaruh magis di Jawa.
Konon, dikisahkan kegagalan itu terjadi karena adanya gangguan jin alias makhluk halus di pulau yang masih berbentuk hutan belantara.
Syekh Subakir kemudian membabat keangkeran setibanya di tanah Jawa. Hingga muncul sebuah perjanjian yang melibatkan Subakir dan Sabdo Palon. Nama terakhir disebut-sebut sebagai danyang ghaib atau makhluk halus penjaga tanah Jawa.
Lantas, apa sebenarnya isi perjanjian antara Syekh Subakir dan Sabdo Palon? Simak ulasannya berikut ini.
Awal Kedatangan Syekh Subakir di Pulau Jawa
Kisah kesaktian Syekh Subakir dimulai dari syiar Islam Sultan Muhammad I sebagai pemimpin kekhalifahan Turki Usmani. Sebelum mengutus Syekh Subakir, Muhammad I katanya pernah mendapatkan perintah melalui mimpi untuk mendakwahkan Islam ke tanah Jawa.
Kemudian, masih dalam pembahasan mimpinya, Muhammad I memerintahkan penyebaran Islam ke Jawa. Dengan syarat yaitu para pendakwah harus berjumlah 9 orang. Jika ada yang pulang atau wafat, berikutnya akan digantikan ulama lain, asalkan jumlahnya tetap 9 orang.
Berbagai pendakwah yang diutus tentunya memiliki keahlian masing-masing. Mulai ahli tata negara, perobatan, tumbal, dan sebagainya. Semula, dakwah Islam di tanah Jawa menemui kendala. Alasannya adalah gangguan jin dan lelembut yang menguasai Pulau Jawa.
Sejarah berlanjut dengan diutusnya Syekh Subakir asal Persia. Ia dikenal ahli ruqyah. Selain itu, Subakir menyimpan kemampuan berinteraksi dengan dunia ghaib hingga sukses membabat tanah angker.
Menurut Arif Budiman dalam “ Nubuat” Bencana Dalam Serat Sabdo Palon: Kajian Hermeneutika Filologis Terhadap Bait-Bait Tembang Pupuh Sinom Dalam Serat Sabdo Palon", Syekh Subakir termasuk salah satu generasi awal Wali Songo. Ia dikabaran datang bersama Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik).
Sesampainya di tanah Jawa, Syekh Subakir langsung mendatangi Gunung Tidar, Magelang. Lembah itu dikenal sebagai paku tanah Jawa. Lokasinya berada di tengah-tengah Pulau Jawa dan diyakini sebagai titik pusat Jawa.
Ilustrasi Ilmuan Islam. foto/Istockphoto
Sejarah Perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon
Syekh Subakir lantas memasang tumbal berupa batu hitam yang sudah dirajah di puncak Gunung Tidar. Batu ini dikenal sebagai Aji Kalacakra. Konon, kekuatannya mampu menetralisir daya magis negatif bangsa jin.
Batu yang sama kemudian mengeluarkan hawa panas hingga membuat para lelembut terpaksa menyingkir ke Laut Selatan Pulau Jawa. Kejadian ini sontak mengusik Sabdo Palon, sang danyang tanah Jawa. Ia juga dikenal sebagai Ki Semar Badranaya, seorang abdi dalem Kerajaan Majapahit.
Berdasarkan keterangan Ricky Erlangga melalui "Budaya Islam Jawa Sebagai Perekat Integasi Sosial: Studi Budaya Bancakan Dan Dekahan Masyarakat Desa Karungan Kecamatan Plupuh Kabupaten Sragen", Syekh Subakir dan Sabdo Palon lantas terlibat perang dan saling beradu kekuatan selama 40 hari 40 malam.
Perang berakhir dengan perjanjian antara Syekh Subakir dan Sabdo Palon. Sabdo Palon merasa khawatir syiar Islam nantinya akan mengubah nilai-nilai Jawa. Selain itu, agama Hindu dan Buddha sudah lebih dulu eksis di tanah Jawa pada masa itu.
Maka, muncul 4 syarat yang harus dipatuhi Syekh Subakir dan pengikutnya. Isi perjanjian Syekh Subakir dan Sabdo Palon di antaranya sebagai berikut:
1. Tidak boleh ada pemaksaan agama atau kepercayaan.
2. Dilakukan akulturasi budaya. Saat hendak membuat bangunan tempat pemujaan atau ibadah, maka bangunan itu nampak seperti gaya Hindu Jawa meskipun penggunaan isinya masih terkait Islam.
3. Kerajaan Islam diperbolehkan berdiri di tanah Jawa. Tapi, raja pertama harus anak campuran. Maksudnya, orang tua sang raja memiliki campuran agama. Jika bapak Hindu, maka ibu Islam. Sebaliknya, apabila bapak Islam, maka ibu Hindu.
4. Tidak boleh mengubah orang Jawa menjadi seperti Arab. Orang Jawa tidak boleh kehilangan nilai Jawa. Jika kepribadian itu hilang, maka Sabdo Palon akan datang lagi dan membuat goro-goro alias keributan.
Sabdo Palon menetapkan syarat dalam jangka waktu 500 tahun. Melihat situasi ini, Syekh Subakir mengiyakan seluruh isi perjanjian. Namun, syarat terakhir sudah bukan kuasa Syekh Subakir sendiri dan berkaitan dengan dinamika perubahan zaman. Makam Syekh Subakir kini terletak di Kebun Raya Gunung Tidar, Kota Magelang.
Islam lalu berkembang pesat di Jawa atau di Indonesia pada umumnya. Sampai sekarang, Indonesia menjadi negara dengan populasi Muslim terbesar ke-2 setelah Pakistan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan, jumlah penduduk Islam Indonesia mencapai 207 juta jiwa atau mencakup 87,2 persen dari total keseluruhan.
Kerajaan Islam juga masih eksis hingga saat ini dan beberapa diakui pemerintah Indonesia untuk memiliki kuasa atas wilayahnya. Semisal Kesultanan Yogyakarta dan Praja Pakualaman yang dinaungi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Pemimpin kedua kerajaan/praja itu juga mempunyai hak politik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
tirto.id - Edusains
Kontributor: Dicky Setyawan
Penulis: Dicky Setyawan
Editor: Beni Jo & Yulaika Ramadhani