Jakarta, Menjadi Kota Global atau Kembali Jadi DKI?

4 weeks ago 6

tirto.id - Masa jabatan Presiden Joko Widodo tinggal dua hari. Namun, gebrakannya dalam memindahkan ibu kota negara masih menggantung. Keputusan Presiden (Keppres) pemindahan ibu kota tak kunjung ditandatangani. Istana, melalui Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, mengungkapkan bahwa Keppres akan ditandatangani oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Prabowo akan dilantik lusa, Minggu (20/10/2024). Sehari berselang, kabinet baru akan langsung diumumkan. Jika kabar itu benar, ini merupakan transisi kepemimpinan paling mulus yang pernah terjadi sepanjang Republik Indonesia berdiri. Sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju tampaknya akan melanjutkan pekerjaan mereka, setelah dipanggil Prabowo pada masa ‘audisi’ Senin-Selasa awal pekan ini.

Sejak awal pencalonannya sebagai presiden, Prabowo memang mengangkat tema keberlanjutan. Sang jenderal berjanji akan melanjutkan kebijakan Presiden Jokowi yang masih relevan. Meski demikian, Prabowo juga mengusung janji politiknya sendiri saat berkampanye. Satu program yang menjadi jualan utamanya adalah Makan Bergizi Gratis.

Di luar faktor dukungan Jokowi, iming-iming makan gratis tampaknya berkontribusi besar dalam keterpilihan Prabowo. Wajar jika program ini menjadi pertaruhan. Makan Bergizi Gratis harus berjalan, apa pun kondisinya.

Sementara itu, kita tahu, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) juga butuh anggaran yang fantastis. Dalam situasi ini, Prabowo dihadapkan pada dilema. Di satu sisi, ia kadung mengusung isu keberlanjutan kebijakan. Di sisi lain, ia juga harus memprioritaskan programnya sendiri.

Saat ini, IKN sudah menjadi mandat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Keberadaannya tidak bisa diabaikan begitu saja. UU IKN juga mengamanatkan perubahan status DKI Jakarta menjadi Daerah Khusus Jakarta, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ).

Kota Nusantara di Kalimantan mungkin akan tetap dibangun. Namun, bukan sebagai ibu kota negara, melainkan sebagai pusat pengembangan ekonomi baru di kawasan Kalimantan. Hal ini sejalan dengan salah satu skenario yang sempat diusulkan Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI). Dengan demikian, anggaran untuk IKN tidak lagi jor-joran. Negara hanya akan mengakomodasi sejumlah kemudahan bagi investor yang mau ambil bagian di sana.

Lantas, Bagaimana dengan Jakarta?

Dengan batalnya pemindahan ibu kota negara, tentu saja Jakarta akan kembali menyandang status Daerah Khusus Ibukota (DKI). Pasal 73 UU DKJ menyebutkan, “Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat ditetapkan Keputusan Presiden mengenai pemindahan lbu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dari Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta ke Ibu Kota Nusantara.”

Artinya, UU DKJ sebetulnya belum berlaku. Dengan tidak keluarnya Keppres, Jakarta tetap menjadi status quo berdasarkan UU 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta ke IKN sejatinya sama sekali tidak merugikan Jakarta. Sebaliknya, kota ini justru berpotensi naik kelas menjadi pusat ekonomi berskala global. Apalagi UU DKJ memberikan cukup banyak kewenangan khusus bagi Jakarta. Tidak seperti UU 29 Tahun 2007, di mana kewenangan khusus tidak dijabarkan secara konkret, di UU DKJ ada 15 urusan pemerintahan yang secara tegas diberikan kekhususan kepada Jakarta.

Batalnya kepindahan ibu kota seharusnya tidak lantas membuat rencana menjadikan Jakarta sebagai kota global ikut batal. Jakarta tidak bisa terus-terusan puas menjadi episentrum ekonomi Indonesia belaka. Saat ini, Jakarta merupakan penyumbang Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar dengan Rp 3.200 triliun atau setara 16,6 persen secara nasional.

Walakin, di kancah global posisi Jakarta masih jauh tertinggal. Laporan The Global Cities Report 2023 yang disusun Kearney menyebutkan, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 negara yang diteliti. Posisi ini berada di bawah kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara, seperti Singapura (7), Bangkok (45), Manila (70), dan Kuala Lumpur (72).

Sedangkan berdasarkan Global City Power Index (GCPI) tahun 2022, Jakarta ada di posisi ke 45 dari 48 kota. Versi lain dari Cities in Motion Index tahun 2022 menyebutkan, Jakarta menempati urutan 152 dari 183 kota dunia.

Pemprov DKI Jakarta melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) sudah memasang target tinggi: menembuskan Jakarta ke jajaran Top 20 Global City. Sejumlah strategi dirancang untuk bisa meningkatkan daya saing kota ini.

Pertama, ekonomi yang mapan dan terkoneksi secara global. Kedua, kapasitas riset dan inovasi yang baik dan menerus. Ketiga, ruang yang nyaman untuk dihuni, antara lain memiliki kelengkapan infrastruktur dasar perkotaan yang baik, kondisi keamanan dan konflik sosial yang terkendali, hingga kualitas sumber daya manusia yang baik.

Aspek keempat, menjadikan Jakarta menarik bagi wisatawan untuk berkunjung. Kelima, lingkungan yang bersih, nyaman dan berkelanjutan. Keenam, aksesibilitas yang terkoneksi secara intra dan inter kota.

Semua rencana tersebut membutuhkan modal yang besar, baik dari sisi kebijakan maupun anggaran. Oleh karena itu, jika akhirnya Jakarta kembali menjadi ibu kota, maka UU Nomor 29 Tahun 2007 tetap harus diubah. Perubahan itu bisa dilakukan dengan mengambil muatan dari UU DKJ yang sudah dibahas secara komprehensif, tetapi dengan menambahkan kembali status Jakarta sebagai ibu kota negara.

*Penulis sempat mengecap pengalaman sebagai jurnalis. Sejak 2010, mengabdi sebagai Aparatur Sipil Negara di Pemprov DKI Jakarta.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |