tirto.id - Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Dani Setiawan, membicarakan soal pagar laut di Bekasi, Tangerang, dan Sidoarjo yang menganggu aktivitas masyarakat, khususnya nelayan.
Dia mengatakan bahwa pemagaran laut itu bukan dilakukan oleh orang yang tidak jelas, melainkan oleh pihak yang banyak memberikan investasi dan berdiri di belakang penguasa.
"Saya kira mungkin salah satunya adalah ini berkaitan dengan aktor-aktor atau pihak-pihak yang selama ini menjadi backup dari kekuasaan dengan kontribusinya atau peran-peran mereka selama ini untuk melakukan investasi," kata Dani.
Selain itu, Dani menyebut bahwa pemagaran laut melanggar hukum dan sangat merugikan nelayan yang hanya punya harapan pada laut.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah segera melakukan proses hukum terhadap pihak-pihak yang secara ilegal memagar laut. Tak hanya itu, pemerintah juga semestinya lebih serius mengupayakan kesejahteraan nelayan.
Paling minimal, menurut Dani, pemerintah jangan mengganggu kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan jika memang belum bisa menyejahterakannya.
“Buat kami, enggak muluk-muluk sebenarnya: jaga, lindungi, enggak usah digangguin. Kalau pemerintah belum bisa menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir, jangan gangguin kehidupannya. Kayak pemagaran laut itu kan mengganggu,” tutur Dani.
Berikut obrolan Tirto dengan Dani Setiawan dalam Podcast For Your Politic.
Wansus FYP Dani Setiawan. Tirto.id/Andhika Krisnuwardhana
Menurut Anda, kenapa persoalan pagar laut bisa semisterius itu?
Pemagaran laut di pesisir Tangerang memang mengemuka menjadi isu publik yang sangat besar. Di Bekasi ada lagi dan kemudian muncul di daerah-daerah lain ya, misalnya Sidoarjo.
Menurut saya, pemagaran laut merupakan puncak gunung es dari berbagai peristiwa lain yang juga muncul di banyak lokasi, yaitu bagaimana ruang laut yang harusnya menjadi public property atau common property justru hendak diprivatisasi untuk kepentingan-kepentingan komersial oleh mereka yang memiliki akses kepada kekuasaan.
Mereka memiliki modal yang besar sehingga bisa mengangkangi hukum dan mengakali kebijakan-kebijakan sehingga itu menguntungkan kepentingan mereka.
Benarkah masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir tidak mengetahui pemagaran laut itu?
Ya sebenarnya tahu ya. Anggota-anggota kami di Tangerang sudah sejak Agustus atau September 2024 melaporkan persoalan itu kepada aparat pemerintah di tingkat lokal di desa, di pemerintahan kabupaten.
Itu terjadi juga di Sidoarjo. Bagaimana kondisi di sana?
Sebenarnya, pada 2019, kami sudah mendapati satu informasi yang insyaallah valid, yang semestinya juga dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan, bahwa banyak daerah pesisir laut sudah diubah statusnya menjadi kawasan komersial. Kemudian, di atas laut itu terbit surat-surat hak guna bangunan atau sertifikat hak milik yang sebenarnya tidak diperkenankan oleh undang-undang.
Pada 2010, kami pernah menggugat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Hak Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Salah satu yang kami gugat adalah mengenai pasal-pasal HP3 alias Hak Penguasaan Pengelolaan Pesisir. Gugatan kami adalah bahwa laut itu enggak boleh diberikan alas haknya karena itu adalah common property. Laut adalah milik publik yang bisa dimanfaatkan oleh semua warga negara Indonesia. Dan aktivitas nelayan-nelayan kecil dan tradisional itu justru harus dilindungi, bukan malah disingkirkan karena pemerintah menerbitkan beragam hak kepada individu maupun swasta di sana.
Jadi, pangkal soalnya adalah ada suatu skenario yang mengangkangi perintah konstitusi dan undang-undang yang melarang untuk melakukan privatisasi ruang laut.
Nah, itu yang terjadi di banyak lokasi di Indonesia. Alasannya macam-macam, misalnya untuk reklamasi, untuk property, dan macam-macam. Apalagi, sekarang banyak proyek-proyek strategis nasional yang menempati kawasan-kawasan pesisir dan laut.
Lalu, pihak KNTI sudah tahu atau belum siapa dalang di balik pemagaran laut itu?
Saya kira soal itu sudah banyak dipublikasikan juga oleh media, oleh penyelidikan pengamat, laporan-laporan warga, bahwa pemagaran laut di Tangerang itu bukanlah dilakukan oleh orang yang enggak jelas.
Itu jelas orangnya, jelas pula perusahaan yang mendapatkan HGB dan SHM. Lalu, berdasarkan HGB dan SHM ilegal itu, mereka melakukan pemagaran itu. Saya kira ini banyak kaitannya dengan perusahaan-perusahaan yang berada di sekitar kawasan itu.
Sekarang, bagi pemerintah, penegakan hukum sebenarnya sudah jalan semua juga ya. Kejaksaan sudah jalan. Lalu, polisi juga saya dengar sudah jalan. KPK mudah-mudahan segera juga jalan.
Sudah sejauh mana tindak lanjut itu dilakukan?
Hampir satu bulan ini, ada penyegalan, kemudian terakhir Kementerian ATR/BPN membatalkan 50 HGB dan SHM. Tapi, sampai sekarang kita belum melihat siapa yang dipanggil, perusahaan mana yang bertanggung jawab, kepala desa mana yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum itu.
Saya kira kita sekarang menunggu supaya kasus yang sudah mulai terang-benderang ini jangan dibuat gelap. Aktornya sudah ada. Orang yang bertanggung jawab saya kira sudah mudah ditemukan. Perusahaan yang melakukan, yang mendapatkan HGB ilegal ataupun SHM ilegal itu bisa ditelusuri.
Sejumlah nelayan melakukan aksi protes menuntut pembongkaran pagar laut pesisir Tarumajaya, Desa Segarajaya, Kabupaten Bekasi, Selasa (4/2/2025). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU
Menurut Anda, apa yang menghambat aparat penegak hukum mengungkapkan siapa aktor-aktor di balik pemagaran laut?
Mungkin, salah satunya adalah ini berkaitan dengan aktor-aktor atau pihak-pihak yang selama ini menjadi backup dari kekuasaan dengan kontribusi atau perannya melakukan investasi. Mereka dianggap berperan dalam membangun ekonomi. Padahal, hal-hal yang semacam ini sebenarnya tidak boleh menjadi pertimbangan hukum.
Jadi, hukum itu tegak lurus saja. Kalau ditemukan buktinya, faktanya, ya sudah dihukum siapa pun itu. Mau dia anak presiden sekali pun, mau beratus miliar pun dia berinvestasi, kalau investasi atau kegiatan usahanya melanggar hukum, maka itu harus diproses hukum.
Menurut saya, saat ini juga merupakan kesempatan bagi pemerintahan Pak Prabowo dan aparat penegakan hukum untuk menunjukkan komitmennya terhadap penegakan hukum. Itu nanti akan berimplikasi pula pada ekonomi karena ada kepastian dan perlindungan hukum.
Sejauh mana dampak pemegaran laut bagi masyarakat pesisir, khususnya nelayan?
Sama seperti petani tidak punya tanah. Dia masih bisa bertani, tapi tidak punya kekuasaan untuk mengelola tanahnya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Kalau di laut, nelayan dibatasi atau dihalangi aksesnya untuk mencari ikan di laut.
Pada 2010, ketika membatalkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut, ada empat hal yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi. Itu merupakan tafsir atau terobosan Mahkamah Konstitusi terhadap makna frasa “sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 UU tersebut.
Yang pertama, pemerintah memaknai frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam Pasal 33 dalam artianmemanfaatkan sumber daya alam bagi rakyat.
Kedua, pemerataan manfaat dari sumber daya alam. Jadi, sumber daya alam itu bukan saja harus dimanfaatkan bagi kepentingan rakyat, tapi juga harus didistribusikan secara merata. Ia tidak boleh hanya dinikmati segelintir orang saja.
Pemanfaatan dan distribusi yang secara merata ini hanya bisa tercapai kalau ada instrumen ketiganya, yaitu rakyat dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan ataupun kebijakan.
Jadi, menurut saya, yang fatal dari praktik-praktik yang kita lihat di kasus Tangerang, Bekasi, Sidoarjo adalah adanya praktik pembegalan terhadap konstitusi. Konstitusi perintahnya jelas bahwa wilayah laut enggak boleh diprivatisasi.
Selain ada pembegalan terhadap konstitusi ini, juga pembegalan terhadap undang-undang. HGB diterbitkan, SHM diterbitkan. Undang-Undang Cipta Kerja yang terbaru mengatur mengenai kesesuaian pemanfaatan ruang laut, tapi itu diterabas, lalu dianggap wilayah itu masih wilayah daratan.
Apa langkah konkret yang dilakukan KNTI untuk menjamin kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan?
Kami begitu concern pada soal ruang laut, soal akses nelayan dan masyarakat pesisir terhadap laut. Karena, dari data-data yang tersedia, yang juga dipublikasikan oleh pemerintah, itu menunjukkan ada situasi emergency yang dialami oleh mayoritas masyarakat daerah pesisir terkait dengan kondisi sosial ekonomi mereka.
Kawasan pesisir di Indonesia itu adalah rumah bagi kemiskinan ekstrem.
Jadi, kalau kita bicara masyarakat pesisir dan nelayan, kita bicara mengenai masyarakat kelas dua di Republik ini. Masyarakat yang kondisinya miskin ekstrem. Selama ini, pembangunan itu mengabaikan kelompok masyarakat pesisir dan nelayan ini.
Nah, apa yang kami lakukan? Yang KNTI lakukan sebagai organisasi nelayan, misalnya, mengurus bagaimana nelayan-nelayan kecil bisa punya akses terhadap wilayah tangkapnya. Bagaimana mereka sebelum melaut itu bisa punya akses terhadap BBM bersubsidi.
Nah, soal BBM ini juga soal penting. Dari survei kami pada 2021, 82 persen nelayan kecil itu enggak bisa mendapatkan BBM bersubsidi. Mereka membeli BBM itu 40 persen lebih mahal dari harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, ketika mereka menangkap ikan, menjual ikan, pendapatan mereka semakin berkurang karena dipotong membeli BBM dengan harga yang lebih mahal.
Di basis KNTI, sekarang sudah ada 7 SPBUN yang kami mulai rintis sejak dua tahun yang lalu. Pelan-pelan, kami berkolaborasi dengan banyak pihak, termasuk pemerintah, Pertamina, BPH Migas, supaya distribusi BBM ini betul-betul sampai langsung ke tangan nelayan-nelayan kecil.
Di sektor hilirnya, pascamelaut kami bicara mengenai bagaimana harga ikan bisa stabil, bagaimana pasar itu bisa dipastikan, bagaimana perempuan-perempuan pesisir yang banyak terlibat dalam pengolahan hasil perikanan itu bisa dikuatkan, bisa dijamin permodalannya, bisa dijamin akses pasarnya.
Sehingga, dia bisa membantu suaminya ataupun keluarganya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya-upaya untuk mengganggu, mencederai, merusak wilayah laut dan pesisir kita itu sama saja penghinaan terhadap bangsa kita sebagai bangsa maritim. Jadi, bila kita ribut-ribut soal pemagaran laut itu ada dasarnya, bukan karena suka atau enggak suka.
Jangan melihat laut ini sebagai suatu objek eksploitasi ekonomi semata dengan tidak mempertimbangkan faktor-faktor kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, dan lain-lain. Padahal, laut sebenarnya merupakan tabungan bagi generasi hari ini maupun generasi yang akan datang.
Selain pencabutan pagar laut, KNTI sendiri punya solusi lain terkait pengelolaan ruang laut?
Kita sudah harus mulai memikirkan bagaimana merekognisi wilayah pengelolaan atau wilayah tangkap nelayan kecil ini betul-betul kuat secara hukum. Tidak hanya menyatakan, “Oke, kalian boleh melaut di wilayah itu,” tapi juga mengatur hal-hal yang mendesak bagi nelayan kecil.
Nelayan-nelayan kecil kita adalah pahlawan penyediaan pangan di Republik ini. Lebih dari 80 persen hasil produksi perikanan di Indonesia itu diproduksi oleh nelayan-nelayan kecil. Tapi, statistik justru menunjukkan terjadinya penurunan jumlah nelayan selama bertahun-tahun. Wilayah tangkapnya pun makin terdesak dan jaminan harga ikannya juga enggak pasti. Persoalan itu masih ditambah dengan faktor eksternal, misalnya perubahan iklim.
Nelayan menyiapkan solar dalam jerigen untuk persiapan melaut di Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (4/11/2021). ANTARA FOTO/Dedhez Anggara./hp.
Pagar laut sudah mengantongi sertifikat HGB dan juga SHM. Bagaimana tanggapan Anda?
Menurut saya, Kementerian ATR/BPN telah melakukan langkah yang sangat baik. Sejak awal mereka menyampaikan kepada publik bahwa kasus ini bukan semata pemagaran laut secara ilegal. Ia juga dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum dengan menerbitkan HGB dan SHM yang ilegal itu. Sekarang, kita sudah dengar ada 50 HGB ataupun SHM yang dibatalkan oleh Kementerian ATR/BPN.
Tapi, itu adalah tindakan administratif dan sudah seharusnya Kementerian ATR/BPN melakukan itu. Nah, ini harus jadi petunjuk bagi aparat penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kepada mereka-mereka yang terlibat di dalam praktik-praktik melanggar hukum ini.
Apakah kasus-kasus semacam itu juga terjadi di wilayah lain di Indonesia?
Ya, banyak. Modusnya juga beragam. Di Pulau Pari, mereka melakukan reklamasi secara ilegal dan sudah disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di Surabaya, juga ada seribuan hektare yang akan direklamasi dan itu mengganggu wilayah penangkapan ikan nelayan kecil dan tradisional di sepanjang pesisir Surabaya.
Ada juga di Kampung Nambangan, di Sidoarjo, di Manado, dan sebagainya.
Sebenarnya, itu semua adalah satu modus yang dilakukan untuk mengokupasi ruang laut bagi kepentingan-kepentingan komersial secara ilegal. Dan kalaupun legal, itu tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan lingkungan.
Ada yang legal, memang, izinnya diterbitkan oleh pemerintah. Tapi, izin itu tidak melibatkan rakyat yang berada di sekitar situ dan tidak melalui satu proses kajian yang baik. Terutama, soal dampak lingkungan dan dampak sosialnya bakal seperti apa.
Di Wakatobi, juga ada kasus soal SHM di laut?
Nah, ini menarik ya. Jadi, faktanya di wilayah pesisir, termasuk perairan pesisir, itu juga berdiri rumah-rumah nelayan. Masyarakat adat, yaitu suku Bajo dan lain-lain memang tinggal di atas laut. Nah, ini pertanyaan penting buat pemerintah. Bagaimana soal eksistensi mereka? Negara mau mengakui mereka atau tidak?
Nah, kami melihat begini ya... Dulu, ketika pemerintah, hendak memberikan SHM kepada masyarakat adat yang tinggal di atas laut itu, kami bilang bahwa mungkin caranya bukan memberikan SHM. Caranya ya berikan saja izin untuk tinggal di atas laut itu. Nanti, disepakati saja sampai seumur hidup.
Kenapa begitu? Karena, kami takut hal itu bisa menjadi pintu masuk bagi praktik-praktik memberikan alas hak kepada individu maupun korporasi di wilayah perairan pesisir atau laut di wilayah lain.
Jadi, caranya mengakui eksistensi masyarakat adat yang terikat dengan laut bukan dengan memberi kuasa atau memberikan hak individu terhadap wilayah laut itu. Tapi, diakui keberadaannya, lalu negara memberikan izin berupa izin pengelolaan atau pemanfaatan wilayah laut itu.
Kehidupan masyarakat adat seperti suku Bajo memang lekat dengan laut. Kalau mereka disuruh pindah ke daratan, itu menghilangkan nilai-nilai budaya dan eksistensi mereka. Jadi, izin pemanfaatan wilayah laut itu bisa diberikan kepada mereka.
Menurut saya, yang penting pemerintah tidak menjadikan hal itu sebagai preseden bagi upaya komersialisasi atau privatisasi ruang laut.
Apakah KNTI sendiri bekerja sama dengan pemerintah?
Kami bekerja sama baik di level daerah maupun di level nasional. Kami ini kan organisasi nelayan yang berbasis anggota. KNTI ada di 65 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jadi, buat kami, bekerja sama dan berkolaborasi dengan pemerintah itu satu keharusan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan itu bapak kami dalam konteks nelayan. Kami berharap mereka memberikan kebijakan-kebijakan atau program-program yang mendukung peningkatan kesejahteraan dari nelayan-nelayan kecil.
KKP harus juga melakukan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Apakah itu Kementerian Investasi yang berkepentingan mendatangkan investasi termasuk di wilayah pesisir dan laut, Kementerian ESDM, Kementerian Koperasi, Kementerian UKM.
Lantas, adakah komunikasi dengan KKP untuk mengupayakan kasus pemagaran laut tidak terulang lagi?
Kami terus berkomunikasi dengan KKP. Kami tanya juga perkembangannya seperti apa. Intinya, kami melaksanakan atau melakukan peran-peran sebagai masyarakat sipil. Karena, kami enggak bisa dan enggak boleh bertindak sendiri. Kami harus berkoordinasi, bertanya, dan mengontrol.
Secara pribadi, apa harapan Anda bagi masyarakat nelayan?
Dulu di 2014, Pak Presiden Jokowi itu memberikan satu harapan besar kepada kami, nelayan-melayan kecil ini. Bahwa kita sudah seharusnya tidak lagi memungungi laut. Sebagai bangsa maritim, negara kepulauan terbesar, sudah seharusnya laut menjadi sumber dari kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Visi kemaritiman yang luar biasa itu ternyata redup di periode kedua Pak Jokowi memerintah. Mulai banyak kasus-kasus yang mencederai komunitas masyarakat pesisir atau nelayan.
Kami tidak mau di masa pemerintahan Presiden Prabowo hal itu cuma sebatas janji atau mimpi indah yang tidak bisa direalisasikan. Jadi, kami mau pemerintahan ini betul-betul kembali kepada amanat Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal 33 yang menjadikan laut sebagai sumber dari kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat.
Buatlah kebijakan-kebijakan yang mendorong agar masyarakat nelayan dan pesisir menjadi lebih sejahtera. Buatlah kebijakan-kebijakan yang terkait dengan pembangunan di wilayah pesisir dan laut yang melibatkan rakyat, yang inklusif, yang partisipatif. Buatlah kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah pesisir dan laut yang memuliakan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Buat kami, enggak muluk-muluk sebenarnya: jaga, lindungi, enggak usah digangguin. Kalau pemerintah belum bisa menyejahterakan nelayan dan masyarakat pesisir, jangan gangguin kehidupannya. Kayak pemagaran laut itu kan mengganggu.
tirto.id - News
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Fadrik Aziz Firdausi