Kasus Zarof Ricar Jadi Momen bagi MA Bersihkan Kebusukan Lembaga

2 weeks ago 3

tirto.id - Bukan tanpa alasan irah-irah alias kepala putusan di setiap pengadilan diawali kalimat: Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Ini menunjukkan bahwa posisi hakim adalah wakil Tuhan yang bertanggung jawab langsung pertama-tama kepada Tuhan. Mantan Hakim Agung, Bismar Siregar, menyebut kalimat di kepala putusan itu sebagai sesuatu yang luhur dan sakral.

Kendati demikian, Tuhan semakin tak diingat di ruang pengadilan. Mafia peradilan berupa makelar perkara yang dengan lancung memperjualbelikan hasil putusan, masih tumbuh subur. Di tubuh Mahkamah Agung (MA) bahkan berkali-kali terungkap dan menyeret hakim agung serta jajaran pegawai MA.

Wajah lembaga peradilan makin buruk rupa sebab hakim justru bermain di pusaran korupsi. Hakim, sebagaimana tulis Bismar Siregar dalam buku Surat-Surat kepada Pemimpin (2008), cuma jadi singkatan dari kalimat: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang.

Sejumlah pengamat hukum sepakat saat ini menjadi momen yang tepat untuk bersih-bersih dan mereformasi MA. Pasalnya, tengah berjalan pengusutan dugaan korupsi yang menyeret bekas pegawai MA, Zarof Ricar. Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut Zarof terlibat dalam dugaan pemufakatan suap dan gratifikasi dalam kasus Gregorius Ronald Tannur.

Penyidik Kejagung menemukan uang tunai Rp920 miliar beserta emas dengan berat total 51 kilogram di kediaman Zarof. Kejagung menyebut Zarof adalah perantara dari tersangka lain, Lisa Rachmat, yang bakal menyuap hakim agung tingkat kasasi agar membebaskan Ronald Tannur.

Lisa yang merupakan pengacara Ronald, mengupah Rp1 miliar untuk Zarof dan Rp4 miliar untuk para hakim agung yang menangani kasasi Ronald. Zarof belum memberikan duit suap itu kepada hakim agung. Belakangan, putusan kasasi Mahkamah Agung menetapkan Ronald Tannur bersalah karena membunuh Dini Sera Afrianti dan divonis 5 tahun penjara.

Sulit untuk tidak menduga bahwa mafia peradilan di Mahkamah Agung sudah terjadi secara sistemik. Pasalnya, sebagaimana pengakuan Zarof, harta dengan total sedikitnya Rp1 triliun yang ditemukan Kejagung di rumahnya berasal dari pengurusan perkara sejak 2012-2022. Bisa jadi, selama 10 tahun itu pula Zarof mengutak-atik putusan yang dikeluarkan MA.

Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan MA terkesan lepas tangan atas kelakuan Zarof yang jelas-jelas sudah beraksi sejak jadi pegawai MA. Dia menilai, sudah seharusnya pimpinan MA saat Zarof bekerja di MA, ikut ditelusuri karena bisa saja membiarkan Zarof menjadi makelar kasus.

Abdul sangat yakin Zarof memiliki koneksi dengan para hakim agung di MA. Maka, kata dia, momen penangkapan Zarof sudah seharusnya menjadi agenda bersih-bersih tubuh MA dari para mafia peradilan.

“ZR dengan sangat mudah berhubungan dengan para hakim yang menangani perkara, kita berharap ZR akan bernyanyi untuk membersihkan MA,” kata Abdul kepada Tirto, Kamis (31/10/2024).

Berdasarkan pengakuan Zarof yang sudah beraksi sejak 2012, Abdul menduga sangat ada potensi beberapa hakim agung yang menjadi “klien” Zarof. Apalagi dalam kasus saat ini di mana Zarof berniat menyuap hakim kasasi MA di perkara Ronald Tannur, sudah ada uang yang disiapkan untuk melancarkan aksi jahat pengaturan putusan.

Abdul memandang kasus Zarof dapat jadi pintu masuk untuk membongkar kebobrokan MA, sekaligus membersihkannya. Kasus ini menjadi indikasi bahwa Badan Pengawas (Bawas) MA dan Komisi Yudisial (KY) tidak bekerja serius menjalankan fungsinya sebagai pengawas.

“Mafia peradilan masih subur sampai kini, buktinya beberapa hakim agung sudah [kena] OTT, ini bukti bahwa kerja pengawasan Bawas dan KY hanya sia-sia dan menghabiskan anggaran negara,” ujar Abdul.

Penangkapan hakim pemberi vonis bebas Ronald TannurTiga hakim PN Surabaya yang ditangkap Kejaksaan Agung RI, Erintuah Damanik (tengah), Mangapul (kiri), dan Heru Hanindyo tiba untuk ditahan di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Jawa Timur, Kamis (24/10/2024) dini hari.ANTARA FOTO/HO-Penkum Kejati Jatim/sgd/tom.

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menduga kasus Zarof menandakan eksistensi kejahatan sistemik bersegi lima. Kejahatan ini meliputi tindak pidana korupsi berupa suap/gratifikasi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana permufakatan jahat, makelar kasus putusan hakim, serta dugaan jual-beli jabatan strategis di lingkungan MA.

Kejagung diminta mengembangkan penyidikan terhadap kasus Zarof dan bahkan perlu turut menelusuri kiprah Zarof selama menjadi pegawai MA. Hal itu dilakukan untuk menemukan persengkongkolan dan modus operandi kejahatan yang dilakukan pelaku dengan pihak lain.

“Yang menitipkan urusan putusan atau hal lain yang bertentangan dengan hukum melalui pelaku ini,” kata Azmi kepada Tirto, Kamis.

Azmi menilai, Ketua MA harus mengambil langkah terukur dan bertanggung jawab dengan berani melakukan perombakan jabatan di internal MA. Momen bersih-bersih ini dinilai makin mendesak untuk dapat membentuk integritas insan peradilan independen dan berkualitas.

“Haruslah personel hakim dan ASN yang memiliki kompetensi dan integrasi yang terbaik,” ucap Azmi.

Pengawasan MA Loyo

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menerangkan bahwa penyidik masih akan mendalami saksi-saksi lain termasuk keluarga Zarof Ricar. Harli menerangkan, pengakuan Zarof Ricar sangat diperlukan untuk melakukan pengembangan.

Penyidik berniat mengungkap perkara Zarof meraup uang Rp920 miliar dan 51 kilogram emas.

“Kalau dia buka soal yang terkait Rp920 ditambah 51 Kg emas itu ya bisa ditelusuri,” ungkap Harli saat ditemui wartawan di Kantornya, Rabu (30/10/2024).

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan reformasi MA bakal tergantung pada progresifitas pengusutan yang dilakukan Kejagung. Ia yakin harta temuan Kejagung dengan total sekitar Rp1 triliun tidak dikumpulkan Zarof seorang diri.

Dalam kurun waktu 10 tahun menjadi makelar kasus, kata Julius, ada dugaan besar Zarof sudah beraksi dalam ratusan putusan yang dikeluarkan MA. Julis memandang, Zarof bisa jadi bukan tidak hanya menjadikan hakim agung sebagai klien satu-satunya, namun juga hakim dari pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

“ZR ini sudah menjadi bagian dari sistem, sudah menjadi bagian dari struktur dalam konteks makelar perkara. Jadi dia sudah mendarah daging sistemnya,” kata Julius kepada Tirto, Kamis.

Julius menilai, tidak perlu menunggu Zarof “bernyanyi” karena seolah-olah perkara ini cuma tergantung padanya. Justru, kata dia, yang menjadi pertanyaan besar adalah kemampuan Kejagung menyeret dan mencokok jajaran mafia peradilan di tubuh MA. Pasalnya, melihat preseden perkara makelar kasus di MA, para pelaku justru bungkam untuk menarik pelaku lain yang bersengkongkol dengan mereka.

“Seperti kasus Gazalba, lalu Nurhadi dan sekretaris Mahkamah Agung, Hasbi Hasan. Mari kita lihat, apakah ada yang betul-betul jujur membuka perkara mana yang dimainkan dan siapa yang menjadi korban akibat perkara yang dimainkan? Tidak ada,” tegasnya.

Konpers Kejaksaan AgungKonferensi pers kasus suap makelar kasus di MA atas nama tersangka Zarof Ricar oleh Kejagung, Jumat (25/10/2024). (Tirto.id/Ayu Mumpuni)

Julius menilai Zarof seharusnya bisa dihukum sangat berat karena putusan MA mempunyai banyak pengaruh kepada para korban yang dicurangi. Di sisi lain, Julius menilai KY tak bisa terus-menerus bersembunyi di balik alasan kurang kewenangan sebagai pengawas MA. KY disebut kurang memaksimalkan kewenangan sebagai pengawas eksternal.

“Apakah KY berwenang? Amat berwenang. Apakah KY bisa mengusut? Bisa mengusut dan berwenang mengusut. Yang jadi pertanyaannya ini kan satpamnya, kok bisa kebobolan?” ujar Julius.

Juru bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata, menegaskan pihaknya akan terus mengawal kasus Zarof sebab sudah menjadi sorotan publik. KY menyatakan terbuka berkoordinasi dengan MA dan Kejagung untuk pendalaman demi kelancaran pengungkapan kasus ini.

“Terutama terkait catatan keuangan yang ditemukan penyidik, bahwa ada aliran dana ke sejumlah hakim,” ujar Fajar kepada Tirto, Kamis.

Fajar mempersilakan publik jika ingin melaporkan majelis hakim kasasi kasus Ronald Tannur terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun perlu disertai bukti, sehingga laporan dapat ditindaklanjuti oleh KY sesuai prosedur yang ada.

Ia tak menampik terkait fenomena lemahnya integritas hakim dan aparat pengadilan yang terus terbelit suap. Menurut Fajar, hal ini harus menjadi fokus sinergitas antara KY dan MA untuk menyelesaikan kasus-kasus semacam ini.

“Untuk itu, KY mendorong agar ada kolaborasi untuk mendeteksi area-area yang berpotensi menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki hakim dan aparat pengadilan,” terang Fajar.

Dihubungi terpisah, Juru bicara MA, Yanto, menegaskan bahwa MA tidak mengintervensi Kejagung untuk melakukan penyidikan. Ia menyampaikan bahwa urusan penyidikan internal MA sepenuhnya diserahkan kepada Kejagung.

“Kalau memeriksa [internal] kan bukan tugas dari MA, kami serahkan urusan penyidikan ke Kejagung,” ucap Yanto kepada Tirto, Kamis.

Sementara itu, MA tetap membentuk tim internal untuk mengklarifikasi keterlibatan hakim agung aktif dalam kasus Zarof di perkara Ronald Tannur. Menurut Yanto, Kejagung sempat menyebut bahwa Zarof sudah sempat menemui salah satu hakim dalam kasus Ronald Tannur. MA, kata Yanto, tengah mendalami informasi ini untuk menemukan unsur ada tidaknya pelanggaran etik.

“Ya, kami bikin tim klarifikasi apa betul itu menemui mahkamah, jadi udah dibentuk tim untuk internal MA yang fokusnya etik. Kami fokus etik kalau MA enggak bisa nyidik, jadi itu tugas jaksa, KPK, polisi kan,” terang Yanto.


tirto.id - Hukum

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |