tirto.id - Orang Bali memiliki keterikatan emosional-historis dengan Majapahit, kerajaan di tepi Sungai Brantas. Migrasi orang Majapahit ke Bali kemungkinan telah berlangsung sejak abad ke-14 M sebagaimana diceritakan dalam Babad Dalem.
Dikutip dari I Gusti Made Suarbhawa dalam “Bali Pasca Ekspedisi Gajah Mada” (2002) yang melampirkan keterangan dari Babad Dalem, awalnya migrasi orang Majapahit dipicu oleh agenda kampanye militer Gajah Mada ke Bali pada tahun 1256 Śaka atau 1334 Masehi. Gajah Mada menunjuk seorang brahmana dari Kadiri bernama Sri Kresna Kepakisan agar menjabat posisi raja Bali yang telah kosong.
Sosok inilah yang kemudian dipercaya sebagai perwakilan Majapahit di Bali. Saat pindah ke Bali, ia ditemani lima belas orang arya (punggawa), tiga orang wesia (aparatur), dan beberapa sudra (masyarakat biasa). Sejak saat itu, wilayah Bali yang tunduk di bawah Majapahit dikuasai oleh kerajaan bawahan yang pemerintahannya bercorak budaya Jawa, yakni Kerajaan Gelgel yang berpusat di daerah Klungkung sekarang.
Babad Dalem merupakan teks penting bagi legitimasi raja-raja di Bali pasca pecahnya Kerajaan Gelgel pada abad ke-17. Sebagai suatu teks sejarah, Babad Dalem menyediakan keterangan genealogis yang menghubungkan jalur nasab raja-raja Bali dengan Dinasti Rajasa di Majapahit.
Namun demikian, Babad Dalem sebenarnya bukan teks yang se-kuno itu. Menurut Helen Creese dalam “Balinese Babad as Historical Sources: a reinterpretation of the Fall of Gèlgèl” (1991), naskah yang berisi teks Babad Dalem tarikh tertuanya berasal dari tahun 1805 dan 1812. Naskah tertua Babad Dalem berasal dari Puri Klungkung yang merupakan suksesor langsung Kerajaan Gelgel.
Turunan teks Babad Dalem salinan naskahnya tersebar hampir ke seluruh wilayah Bali. Masing-masing naskah diberi judul dengan nama kerajaan atau kepentingan dari raja yang berkuasa di tempat naskah itu disalin.
Judul-judul naskah turunan Babad Dalem menurut Creese di antaranya Babad Ksatriya, Babad Mengwi, Babad Buleleng, Babad Blabatuh, Babad Arya Tabanan, dan sebagainya. Naskah-naskah itu terus-menerus disalin bahkan sampai awal abad ke-20 menjelang keruntuhan Hindia Belanda.
Babad Dalem dan Ziarah Raja Bali ke Majapahit
Di antara banyak naskah Babad Dalem yang tersedia sampai sekarang, ada satu versi naskah Babad Dalem yang cukup menarik untuk diamati. Naskah tersebut oleh I Wayan Warna dkk. dalam Babad Dalem: Teks dan Terjemahan (1986) disebut sebagai Babad Dalem B, yang salah satu bagiannya menceritakan soal ziarah seorang Raja Bali era Gelgel ke Majapahit.
Bagian ini sangat khas karena hanya ditemukan pada naskah Babad Dalem B. Mengenai identitas naskah Babad Dalem B, Warna dkk. menyebut bahwa naskah tersebut berasal dari koleksi I Gusti Lanang Mantra yang menetap di Sidemen, Karangasem (Bali timur).
Selain itu, naskah ini merupakan salah satu di antara sedikit (atau mungkin tidak ada sama sekali) naskah tradisional yang diketahui menyinggung soal tinggalan Kerajaan Majapahit. Artinya, kesadaran akan sejarah Majapahit beserta tinggalannya masih melekat di benak kolektif masyarakat Bali.
Dalam Babad Dalem versi Lanang Mantra itu, cerita ziarah Raja Gelgel ke Majapahit diawali dengan puji-pujian terhadap keagungan Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk. Dikisahkan pula bahwa Kerajaan Gelgel ketika itu dipimpin oleh Dalem Samprangan yang tunduk pada kekuasaan Hayam Wuruk.
Uraian mengenai kedua hal itu kemudian disambung peristiwa jatuhnya Majapahit yang berlangsung secara tiba-tiba pasca moksa-nya Raja Hayam Wuruk. Kejatuhan kerajaan tersebut telah menyebabkan perpecahan di daerah-daerah bekas wilayah taklukannya. Kekuasaan Majapahit dalam babad ini dikisahkan diwarisi oleh Pasuruan, Blambangan (Banyuwangi), dan Bali.
Waktu pun bergulir, sampai Dalem Samprangan di Gelgel kemudian digantikan oleh seorang raja muda bernama Dewa Ketut (dalam sumber lain disebut Dalem Ketut Smara Kepakisan). Suatu ketika Dewa Ketut diundang oleh Raja Madura untuk menghadiri upacara yajña (ritual persembahan). Dalam perjalanan menuju Madura, Dewa Ketut sempat mampir ke bekas ibu kota Majapahit—dalam naskah disebut Majalangu.
Sesampainya sang raja di sana, ia merasa sedih lantaran melihat bekas ibu kota Majapahit sunyi senyap dan hilang keindahannya. Ia mengenang para leluhurnya yang senantiasa membanggakan kunjungan ke ibu kota Majapahit yang gagah berwibawa karena dihuni Raja Hayam Wuruk.
Di tengah kegalauan, tiba-tiba datang seorang pandita bernama Siwa Waringin. Menurut si penulis naskah, sang pandita tidak ikut punah seperti Majapahit karena tercerahkan pengetahuan (wêt ning limpad ing pangawruh).
Alasan Hancurnya Majapahit dalam Babad Dalem versi Sidemen
Kedatangan Siwa Waringin menimbulkan rasa penasaran di benak Dewa Ketut, ia pun bertanya kepada sang pendeta mengenai alasan sirna dan hancurnya Majapahit. Siwa Waringin mengatakan bahwa alasan utama kehancuran Majapahit adalah telah datangnya masa trayuga.
Selain itu, sang pendeta juga menjelaskan banyak orang Majapahit ketika itu telah memiliki trimedha (tiga kecerdasan) tetapi bodoh dalam hal sastra. Di samping kehancuran intelektual masyarakat, wafatnya Raja Hayam Wuruk juga telah menyebabkan para pembesar Majapahit menjadi bingung.
Berikut ungkapan kebingungan para pembesar Majapahit sesuai dengan keterangan Siwa Waringin dalam Babad Dalem versi Lanang Mantra:
“Saling berdebat tentara dan menteri, berebut ingin dijadikan pemimpin. Sama-sama tidak menginginkan dibawahi rekannya. [Saling] memusuhi seperti dirasuki Kala Bhuta. Dibenaknya tidak ada orang yang melebihi daripada dirinya. Akhirnya jadi menyimpang. [Itulah] sebab kalau sering membuat acara mabuk-mabukan, ucapan mereka [jadi] kasar. Mereka saling membunuh, saling [menusuk dengan] pedang antar rekan.”
Setelah peristiwa itu, kemudian disebutkan datang Sanghyang yang berwujud Kāla bermata satu, yang mengucapkan “suwung, suwung” (kosong, kosong). Demikian perkataan Sanghyang itu dilantunkan, bersamaan pula hancurnya seluruh masyarakat Majapahit yang mendengar.
Setelah mendengar cerita Siwa Waringin, Dewa Ketut berkata dalam hatinya: “tidak tergambarkan orang-orang yang hidup, tiada bercabang yang senang [dan] yang susah, yang hidup menjadi mati, yang mati menjadi hidup, terus [begitu].”
tirto.id - Politik
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi