tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyayangkan hakim tunggal praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan permohonan pembatalan penetapan tersangka Gubernur Kalimantan Selatan, Sahbirin Noor.
"KPK menyayangkan putusan praperadilan atas pemohon SHB selaku Gubernur Kalimantan Selatan di mana dalam perkara yang bermula dari kegiatan tangkap tangan tersebut KPK menetapkan tersangka pada tahap awal penyidikan dengan minimal dua alat bukti," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardika kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2024).
Lembaga antirasuah menilai hakim praperadilan tidak mempertimbangkan kedudukan lex specialis yang dimiliki KPK.
"Perlu kita pahami juga bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK adalah lex spesialis, atau khusus ya, sehingga sepatutnya hakim mempertimbangkan kewenangan lex spesialis yang dimiliki oleh KPK," kata Tessa.
Sebagai catatan, hakim tunggal praperadilan, Afrizal Hady, membatalkan status tersangka Sahbirin dalam perkara dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara atau yang mewakilinya di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2024–2025.
Hakim menilai, penetapan tersangka Sahbirin tidak sah karena dilakukan sewenang-wenang. Selain itu, surat perintah penyidikan (sprindik) Sahbirin ditetapkan sebagai tersangka tanpa pemeriksaan pada 8 Oktober 2024 lalu. Sahbirin juga tidak menjadi pihak yang terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK pada 6 Oktober 2024 sehingga penetapan tersangka pria yang disapa Paman Birin itu tidak sah.
Tessa mengingatkan, Pasal 44 UU KPK menyatakan bahwa penyelidik bertugas mengumpulkan bukti. Jika telah ditemukan dua alat bukti, maka penyelidikan bisa dibawa ke tahap penyidikan sekaligus dengan penetapan tersangka. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan penetapan tersangka bisa dilakukan setelah masuk tahap penyidikan.
Tessa menekankan, lembaga antirasuah menetapkan Sahbirin sebagai tersangka dalam perkara ini karena memenuhi syarat penyidikan dan penetapan tersangka, yakni minimal memiliki 2 alat bukti yang cukup dalam penanganan perkara.
Selain itu, Tessa juga menyinggung soal Sahbirin yang tiba-tiba muncul di apel Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Pemprov Kalsel), sehari sebelum sidang putusan praperadilannya.
Tessa menyebut, kemunculannya setelah dinyatakan hilang sejak ditetapkan sebagai tersangka pada 7 Oktober 2024 lalu, merupakan upaya untuk mematahkan argumen bahwa dia telah melarikan diri dan hilang. Tessa pun menyinggung eksepsi KPK bahwa Sahbirin tidak bisa mengajukan praperadilan karena hilang dan mangkir dalam tugas sebagai gubernur.
"Walaupun saya tidak mengetahui langsung, tetapi tidak bisa dipungkiri anggapannya adalah seperti itu. Bahwa kehadiran yang bersangkutan satu hari sebelum putusan itu untuk mematahkan," tuturnya.
Tessa juga menekankan bahwa penyidik telah mengantongi informasi lokasi keberadaan Sahbirin saat melarikan diri. Namun, mereka gagal menemukan Sahbirin di Kalimantan Selatan. Saat tim kembali ke Jakarta, politikus Partai Golkar itu malah hadir dalam kegiatan Pemprov Kalimantan Selatan. Hal itu menjawab pandangan hakim bahwa Sahbirin tidak bisa dinyatakan hilang hingga dia masuk dalam daftar pencarian orang.
"Pada saat yang bersangkutan muncul, teman-teman penyidik meluncur ke Kalsel, dan kembali menghilang," ujarnya.
Tessa mengatakan, KPK kini menunggu hasil putusan lengkap upaya praperadilan Sahbirin Noor dan akan mempelajarinya sebelum mengambil langkah berikutnya.
"Selanjutnya akan dipertimbangkan baik pimpinan maupun biro hukum dan kedeputian penindakan tindak lanjutnya apa nanti," tutupnya.
tirto.id - Hukum
Reporter: Auliya Umayna Andani
Penulis: Auliya Umayna Andani
Editor: Andrian Pratama Taher