Kultur Patriarki Dorong Berulangnya Kekerasan Seksual di Kampus

1 day ago 18

tirto.id - Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi selama ini masih terus berulang. Lemahnya ketegasan kampus dan penegak hukum dalam menyelesaikan kasus ditengarai jadi salah satu faktor penyebabnya. Seringnya, pelaku tak berakhir dibawa ke meja hijau serta hanya menerima sanksi etik dan kepegawaian. Bahkan, tidak jarang bagi pelaku yang berposisi sebagai pengajar atau dosen, tetap bisa beraktivitas lagi di kampus baru. Kultur patriarki yang mengakar di kampus-kampus di Indonesia juga menyuburkan hal ini.

Pelaku kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi tak memandang strata sosial atau jabatan. Bisa dilakukan rektor, dosen, tenaga pendidik, atau bahkan mahasiswa. Korbannya pun tak pandang bulu, tetapi perempuan lebih rentan dan sering disasar menjadi korban.

Teranyar, Universitas Gadjah Mada (UGM) memecat salah satu guru besarnya dari Fakultas Farmasi, Edy Meiyanto, karena terlibat dugaan kasus kekerasan seksual. Hasil penelusuran Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM, Edy terbukti sudah melanggar Pasal 3 ayat (2) Huruf l Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023.

Edy terbukti melanggar kode etik dosen dan akhirnya dipecat dari posisinya sebagai dosen. Ia juga diberhentikan sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi UGM. Selain proses etik, Edy juga tengah diproses dari sisi kepegawaian. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) memandatkan UGM membentuk tim pemeriksa dugaan pelanggaran. Kemdiktisaintek bisa mencopot status ASN Edy jika terbukti melanggar aturan kepegawaian.

Aktivis hak perempuan sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Siti Aminah Tardi, menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi masih terjadi karena berbagai faktor yang saling kait-mengait. Di antaranya kesadaran akan pemahaman kekerasan seksual seluruh sivitas akademika, peranan dari Satgas PPKS/PPK, dukungan pimpinan kampus terhadap peran dan fungsi satgas, hingga masih kuatnya stereotipe terhadap korban kekerasan seksual.

“Karenanya, penghargaan dan dukungan harus kita sampaikan pada keberanian korban untuk bicara dan melaporkan KS yang dialaminya. Keberanian korban inilah yang kemudian membuka bahwa kekerasan seksual telah terjadi pada korban-korban lainnya,” kata Aminah kepada wartawan Tirto, Senin (14/4/2025).

Ia juga menyoroti, payung hukum pencegahan dan penanganan kasus kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang terjadi di perguruan tinggi, belum digunakan secara maksimal. Permendikbudristek Nomor 30/2021 memang memandatkan pembentukan satgas PPKS di kampus. Dampak dari aturan itu, seluruh kampus perguruan tinggi negeri (PTN) kini sudah memiliki satgas PPKS.

Kementerian bidang perguruan tinggi juga sudah memperbarui aturan sebelumnya menjadi Permendikbudristek Nomor 55/2024. Di dalamnya, terdapat perluasan pengertian kekerasan di lingkup perguruan tinggi, yang tak hanya mencakup kekerasan seksual, tetapi juga meliputi kekerasan fisik, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.

HUKUMAN MAKSIMAL OKNUM GURU PELAKU KEKERASAN SEKSUALPeserta membawa poster tuntutan saat unjuk rasa di depan Kantor Dinas Pendidikan, Kota Kediri, Jawa Timur, Senin (25/7/2022). ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/rwa.

Sayangnya, keberadaan Satgas PPKS/PPK di kampus, menurut Aminah, baru pada tahap pembentukan, tapi belum sampai pada perubahan budaya dan paradigma lembaga pendidikan sebagai ruang aman dari kekerasan. Kondisi ini juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan pimpinan universitas terhadap satgas.

Eks Komisioner Komnas Perempuan periode 2020-2024 itu melihat, satgas yang ada kerap tidak didukung sarana dan prasarana dalam menjalankan tugas dan peranannya.

“Mulai dari sosialisasi, survei sampai dengan penanganan kasus, belum didukung, yang tentu mempengaruhi bagaimana kekerasan seksual itu dikenali, dipahami dan sama-sama dicegah, ditangani, dan dipulihkan di lingkungan kampus,” terang Aminah.

Pasalnya, kejadian kekerasan seksual bisa saja tidak dilakukan di area kampus. Misalnya di kasus guru besar Fakultas Farmasi UGM, pelaku diduga turut melakukan kekerasan seksual di rumah pribadinya dengan dalih memberikan bimbingan kepada mahasiswa. Di kasus lain yang baru-baru ini terjadi, Aminah menyoroti pemerkosaan yang dilakukan dokter PPDS dari Fakultas Kedokteran Unpad kepada keluarga pasien dan dua orang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

Tersangka, Priguna Anugrah Pratama, dijerat Pasal 64 KUHP dan terancam pidana penjara maksimal 17 tahun penjara. Unpad memberhentikan Priguna dari program PPDS karena melakukan pelanggaran etik profesi berat dan disiplin. Konsil Kesehatan Indonesia (KKI) juga secara resmi menonaktifkan Surat Tanda Registrasi (STR) pelaku sehingga tidak lagi bisa melakukan praktik seumur hidup.

Menurut Aminah, dalam kasus kekerasan seksual, terdapat konsep kunci, yakni consent, atau persetujuan sadar dan hakiki, dari seseorang untuk melakukan aktivitas seksual. Persetujuan ini tidak dapat diberikan apabila orang tersebut adalah perempuan di bawah umur (anak), penyandang disabilitas, serta dalam kondisi tidak berdaya atau tidak sadarkan diri. Juga tidak dapat dinilai sebagai persetujuan, jika persetujuan didapatkan melalui kebohongan, manipulasi, menyalahgunakan kekuasaan (relasi kuasa), dan mengambil keuntungan dari kerentanan korban.

“Kesamaan pada kasus ini adalah ‘kuasa pengetahuan’ yang dimiliki pelaku, baik di Unpad maupun UGM. Pengetahuan dan otoritas keilmuan adalah salah satu sumber kuasa,” ujar Aminah.

Tirto sudah mencoba meminta tanggapan Kemdiktisaintek soal tindakan lebih lanjut mereka atas kejadian kekerasan seksual di UGM dan dokter residen dari FK Unpad lewat Sekretaris Jenderal Kemdiktisaintek Togar Mangihut Simatupang dan Irjen Chatarina Girsang. Namun permintaan wawancara Tirto yang dilayangkan ke keduanya belum direspons.

Sebelumnya, saat mengomentari kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, Togar mendorong agar seluruh perguruan tinggi di Indonesia memiliki Satgas PPKS. Togar menyebut Satgas PPKS punya fungsi secara berkala dalam melakukan asesmen dan membentuk sistem pengaduan yang andal.

Upaya ini, dimaksudkan agar setiap sivitas akademik di perguruan tinggi mengetahui hak dan kewajiban terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

“Kampus sudah dimintai keterangan dan diberikan amanat agar menjalankan sistem PPKS di setiap prodi, bila perlu dilakukan audit,” ujar Togar kepada wartawan, Jumat pekan lalu, seperti dilansir dari Antara.

Sementara ditemui Tirto pekan lalu di Balairung UGM, Sekretaris Universitas Gadjah Mada (UGM), Andi Sandi Antonius, menyatakan penanganan kasus Edy Meiyanto telah dilakukan sejak Juli 2024. Rekomendasi dari hasil penyelidikan keluar pada akhir tahun 2024. Maka di Maret 2025, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mendelegasikan pemeriksaan untuk pelanggaran disiplin kepegawaian yang hukumannya sedang-berat didelegasikan ke pimpinan PTN.

Menurut laporan Satgas PPKS UGM, 13 orang telah dimintai keterangan dalam kasus ini. Mereka adalah saksi dan korban kekerasan seksual Edy. Berdasarkan keterangan, tindakan kekerasan seksual terjadi di luar area UGM selama periode 2023-2024.

“Disiplin kepegawaian setelah selesai pemeriksaan hasilnya akan diserahkan ke rektor dan akan bersurat kepada menteri untuk menyampaikan rekomendasi itu. Keputusan akhir ada di Kementerian [Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi] karena yang bersangkutan adalah PNS,” kata Andi.

Jangan Dibiarkan Menguap

Staf Pengelolaan Pengetahuan dari Yayasan Kalyanamitra, Dewi Rahmawati, menilai bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi terus berulang sebab budaya di kampus masih diwarnai kultur patriarki. Sehingga, kata dia, dosen, staf, atau senior seringkali memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan mahasiswa.

Ketimpangan relasi kuasa tersebut menciptakan ruang rentan terjadinya kekerasan seksual, terutama bagi perempuan. Situasi demikian membuat korban tak memiliki posisi tawar yang setara untuk menolak atau melaporkan kasusnya.

Dengan begitu, dukungan dan ruang aman bagi korban amat penting. Stigmatisasi terhadap korban harus dihapuskan agar tidak menimbulkan viktimisasi berulang.

Ilustrasi Kekerasan SeksualIlustrasi Kekerasan Seksual. foto/Istockphoto

“Relasi kuasa menyebabkan korban sulit menolak bahkan speak up atau melaporkan kepada pihak yang berwajib. Selain itu, pendampingan kasus sangat diperlukan tidak hanya untuk memberikan dukungan emosional, namun mendorong keberanian korban untuk dapat melapor,” ucap Dewi kepada wartawan Tirto, Senin (14/4/2025).

Laporan kolaborasi Tirto, Vice Indonesia, dan Jakarta Post pernah mencatat, 96 persen korban kekerasan seksual di kampus adalah mahasiswi. Sebanyak 20 persen korban tak melapor dan 50 persen tak menceritakan pada siapapun. Adapun pelakunya bisa dari kalangan dosen, mahasiswa, staf, tokoh agama di kampus, dokter di klinik kampus, dan warga lain.

Riset Kemendikbudristek tahun 2019 bahkan mendapati, kekerasan seksual di lingkungan kampus ada pada urutan ketiga, berdasarkan lokasi tempat kejahatan itu dapat terjadi. Survei Ditjen Diktiristek 2020 turut menemukan, 77 persen dosen mengaku bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.

Kondisi ini sepatutnya menjadi perhatian bagi seluruh sivitas akademik di kampus, termasuk Kemdiktisaintek sebagai pemangku kebijakan pusat. Pasalnya, mengacu catatan tahunan Komnas Perempuan, pada 2024, kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami jumlah peningkatan 9,7 persen dari tahun lalu, sebanyak 445.502. Laporan tahun sebelumnya berjumlah 401.975 kasus. Kekerasan seksual menjadi yang paling banyak dilaporkan pada 2024. Termasuk di perguruan tinggi, mayoritas pelaku adalah dosen dan sesama mahasiswa.

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menegaskan bahwa kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Ia kecewa kasus kekerasan seksual di kampus terkadang masih dianggap bisa diselesaikan secara ‘internal’ atau hanya menempuh jalur mediasi semata. Langkah ini tentu saja mengabaikan hak-hak korban atas keadilan yang setara di mata hukum.

Karena itu, Mike menegaskan adanya Satgas PPKS di kampus sebagaimana mandat yang tercantum dalam Permendikbudristek, jangan dipandang sebagai formalitas belaka. Sebagai pihak yang sering kali menerima laporan dugaan kasus kekerasan seksual di kampus, Mike melihat dukungan kampus dan ketegasan pemerintah menjalankan aturan ini masih lemah.

Bahkan, kata dia, beberapa Satgas PPKS di kampus terkesan tidak aktif karena tidak punya sumber daya yang mencukupi dari kampus. Mike mendesak pemerintah lebih tegas untuk mendorong kampus mengelola Satgas PPKS sesuai tugasnya. Di sisi lain, penegak hukum juga harus berbenah agar ketika menangani kasus aduan kekerasan seksual mengacu pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Nama baik kampus seharusnya tidak dijadikan alasan melahirkan impunitas dan kompromis. Sebaliknya, ujar Mike, kampus yang patut diapresiasi adalah yang berkomitmen tinggi dalam menyelesaikan dan mencegah kasus kekerasan seksual di lingkungan institusinya.

“Jangan serta-merta merasa ini pencemaran, ini menurunkan citra. Justru ini pembelajaran yang sebenarnya. Ketika pendidikan tinggi memproses ini dengan baik dan selurus-lurusnya yakni tidak ada pretensi atau kepentingan lain, ini adalah nilai tambah,” terang Mike kepada wartawan Tirto, Senin (14//4/2025).


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |