tirto.id - Dengan intonasi menggebu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia tetap akan menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Dengan demikian, Indonesia bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional serta tidak mengikatkan diri secara a priori pada kekuatan dunia mana pun.
“Dalam menghadapi dunia internasional, Indonesia memilih jalan bebas aktif nonblok. Kita tidak mau ikut pakta-pakta militer mana pun,” tegas Prabowo dalam pidato pertamanya usai pengucapan sumpah sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Minggu (20/10/2024).
Prabowo menekankan bahwa Indonesia memilih bersahabat dengan semua negara. Dia bahkan menerapkan filosofi klasik: seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.
“Dengan demikian, kita ingin menjadi sahabat semua negara,” imbuh Prabowo.
Kendati bersahabat dengan semua negara, Indonesia, kata Prabowo, tetap punya prinsip yang menjadi pegangan. Prinsip itu adalah antipenjajahan, penindasan, dan antirasialisme. Prinsip-prinsip tersebut didasari pengalaman bangsa Indonesia yang pernah terkungkung kolonialisme Belanda.
“Kita bahkan digolongkan lebih rendah dari anjing. Banyak prasasti dan marmer papan-papan di mana disebut verboden voorhonden en inlander. Saya masih lihat prasasti di kolam renang Manggarai tahun 1978. Karena itu, kita punya prinsip kita harus solider membela rakyat yang tertindas di dunia ini,” tegas dia.
Dalam Kabinet Merah Putih yang diumumkannya kemudian, Prabowo menunjuk Sugiono sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu). Sebagai Menlu, Sugiono akan bertugas mengawal kebijakan luar negeri Indonesia sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dia pun harus menerjemahkan visi diplomasi yang diusung oleh Presiden Prabowo.
Dalam menjalankan kebijakan luar negeri, Sugiono akan dibantu tiga wakil, yakni Anis Matta, Arrmanatha Nasir, dan Arif Havas Oegroseno. Dari tiga nama itu, hanya Anies Matta yang berasal dari unsur politisi. Sementara itu, Arrmanatha Nasir dan Arif Havas Oegroseno berasal dari unsur diplomat karier.
Dosen komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember, Muhammad Iqbal, menilai bahwa komposisi Menlu Sugiono dengan tiga wakil menterinya cukup ideal untuk membawa Indonesia menjadi aktor utama di aras global. Menurutnya, Prabowo juga terbilang piawai memilih empat penggawa tersebut di tengah konstelasi geopolitik dan aneka krisis global.
“Menlu Sugiono tentu sudah cukup matang memimpin kebijakan politik luar negeri RI berbekal stok pengetahuan dan pengalamannya selama menjadi pimpinan di Komisi I DPR RI. Latar pendidikan di luar negeri dan aktivisme selama di militer juga bakal mewarnai karakter diplomasi Indonesia,” jelas Iqbal kepada Tirto, Selasa (22/10/2024).
Sementara itu, tiga wamen yang menyokong Sugiono tentu sudah dinilai mampu membawa fungsi diplomatik yang lentur dan asertif. Kiprah moncer Arif Havas dan Arrmanatha sebagai diplomat karier dinilai Iqbal cukup menjanjikan buat membuktikan visi Prabowo mengawal politik bebas aktif Indonesia.
Selain itu, ada Anis Matta yang diharapkan juga mampu mempererat kohesi Indonesia dengan komunitas muslim dunia, terutama dengan kawasan Timur Tengah, Indo-Pasifik, dan tak terkecuali Eropa-Amerika.
Prabowo Pegang Kendali Penuh Politik Luar Negeri?
Pakar hubungan internasional dari Universitas Airlangga, Radityo Dharmaputra, melihat penunjukan Sugiono dengan tiga wamen itu bisa dibaca dari beberapa sisi. Pertama, tampaknya akan semakin jelas bahwa politik luar negeri Indonesia akan diarahkan langsung oleh Prabowo.
“Walaupun, belum jelas juga sebenarnya akan seperti apa arah detailnya,” ujar Radityo kepada Tirto, Selasa (22/10/2024).
Menurut Radityo, Menlu Sugiono nantinya hanya akan berperan sebagai eksekutor kebijakan Kepala Negara. Apalagi, Sugiono belum punya pengalaman diplomatik.
“Kebijakan Indonesia akan sangat hierarkis dan top-down,” imbuhnya.
Keberadaan dua wakil menteri dengan latar belakang diplomat, kata Radityo, bisa dibaca sebagai cara Prabowo “menenangkan” Kemenlu. Pasalnya, selama ini ada rivalitas antara Kementerian Pertahanan dan Kemenlu.
“Dan sekarang, Menlunya mantan tentara. [Dengan mengangkat dua diplomat karier sebagai wamen] Pak Prabowo seakan ingin mengatakan ‘tenang, kalian masih punya suara’,” ujar dia.
Di saat yang sama, lanjut Radityo, dua wamen itu bisa pula dipakai untuk “menekan” Kemenlu agar menuruti saja semua arahan Prabowo (via Sugiono). Apalagi, banyak sekali pejabat eselon I yang menjadi duta besar. Sehingga, nantinya petinggi-petinggi di Kemenlu bisa jadi adalah orang baru atau malah orang dari luar.
“Tapi, yang menarik adalah masih belum jelasnya pembagian tugas mereka. Apakah betul Pak Anis Matta akan mengurusi Timur Tengah saja? Bagaimana dengan kedua wamen lainnya?” ujar Radityo.
Hal lain yang juga belum jelas adalahorientasi kebijakan politik luar negeri Indonesia ke depan. Prabowo punya keinginan menampilkan wajah Indonesia yang high-profile di mata dunia. Meski begitu, bagaimana hal itu akan dicapai belum ada kepastian detailnya.
Beberapa pertanyaan lain juga masih menggelayut. Salah satunya, apakah Indonesia bakal mengajukan secara resmi untuk menjadianggota BRICS, yakni forum negara-negara berkembang yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan.
Nasionalistik dan Aktif di Tingkat Internasional
Pengamat hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menilaibahwa arah politik luar negeri pemerintahan Prabowo ke depan akan lebih bersifat nasionalistik dan belum tentu lebih aktif di tingkat internasional.
Nuansa nasionalistik itu, menurut Dinna, dapat diterka dari beberapa poin yang disampaikan Prabowo dalam pidato perdanannya sebagai Presiden RI. Beberapa poin yang terungkap adalah fokusnya untuk memastikan pengentasan kemiskinan hingga swasembada pangan sekaligus memutusketergantungan terhadap negara lain.
“Jadi, kelihatan betul di situ dari segi arah politiknya juga tidak keluar dari apa yang sudah pernah dimulai oleh Jokowi,” ujar Dinna kepada Tirto, Selasa (22/10/2024).
Menurut pendiri lembaga penelitian dan pelatihan Synergy Policies itu, garis yang membedakan Prabowo dan Jokowi adalah kecenderungan Prabowo untuk lebih aktif di aras internasional. Prabowo pun diprediksi akan memimpin sendiri kebijakan luar negeri Indonesia atau tampil secara langsung di forum internasional.
Lebih lanjut, menurut Dinna, kehadiran Menlu justru hanya sebagai fasilitator Prabowo untuk lebih aktif di tingkat internasional. Sementara itu,tiga wamen akan difungsikanuntuk mempersiapkan segala hal teknis dalam isu-isu yang menarik perhatian Prabowo.
“Misalnya, Pak Anies Matta. Kalau dilihat dari background,Beliau mungkin diandalkan punya kompetensi atau punya network di Timur Tengah. Atau, untuk masuk ke isu-isu yang sifatnya lebih bernuansa agama. Karena, kita juga punya kepentingan nasional menjaga akses kita buat haji misalnya,” jelas dia.
Kemudian, jika bicara soal Eropa, Indonesia juga masih memiliki kepentingan di sana untuk hilirisasi, baik nikel maupun sawit. Belum lagi Indonesia masih disengketakan soal perdagangan bebas di WTO.
“Maka orang seperti Pak Arif Havas Oegroseno, di situ dia masuk,” imbuh Dinna.
Sementara itu, Arrmanatha merupakan orang yang cukup lama berkecimpung di urusan-urusan multilateral. Terlebih lagi, dia merupakan orang kepercayaannya Menlu Retno Marsudi sebelumnya. Jadi, dia mempersiapkan isu-isu yang bisa diangkat oleh Prabowo [di forum multilateral],” ujarnya.
“Tapi, tentu saja itu masih satu landscape saja ya. Baru tatanannya saja. Belum tahu nanti terealisasinya seperti apa, pendalaman substansi seperti apa. Itu belum bisa kami sampaikan lebih dalam,” pungkas Dinna.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi