Menjulang dari Akar: Kisah Hidup Masyarakat Ruteng Pu u

4 hours ago 5

tirto.id - Dingin tak menggigit ketika saya tiba di kampung adat Ruteng Pu’u. Dua puluh tujuh derajat celsius. Angin membuat pepohonan kopi dan kayu-kayu jangkung di sekitar jalan menanjak ke arah kampung seperti berbisik. Suasana sore itu, di pekan kedua Maret 2025, teduh dan terasa lembap.

Bermula sedikit waktu luang di sela agenda liputan di Kabupaten Manggarai, kunjungan ke kampung adat Ruteng Pu'u memang insidentil. Tanpa rencana. Sekitar 16.15 Wita sampai lokasi, cuma 4 kilometer dari pusat kota Ruteng. Perjalanan singkat, hanya 15 menit.

Tidak heran suasana di kampung adat Ruteng Pu'u agak sepi. Maret, bukanlah musim ramai turis berkunjung. Anak-anak berkumpul di depan rumah, beberapa berambut basah dengan titik bekas air timbul di baju. Habis mandi di sungai. Ibu-ibu satu dua melintas, sementara itu laki-laki terpusat di dekat area masuk kampung. Ada acara pembangunan rumah berdesain tradisional.

Edil, warga kampung adat Ruteng Pu'u, menemani saya dan tiga orang kawan yang menjadi satu-satunya tamu sore itu. Sebelum berkeliling di sekitar kampung, kami diminta melakukan registrasi dan berkumpul di Mbaru Gendang – salah satu rumah adat di Ruteng Pu'u. Mbaru Niang atau rumah adat beratap kerucut memang menjadi bangunan tradisional khas wilayah Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Seperti halnya di kampung adat Wae Rebo dan kampung adat Todo, yang juga terletak di wilayah Manggarai, Mbaru Niang atau rumah adat merupakan episentrum kehidupan sosial bermasyarakat orang-orang Manggarai. Ruteng Pu'u memiliki dua rumah adat: selain Mbaru Gendang, tepat di sebelahnya ada Mbaru Tambor.

Di dalam Mbaru Gendang, kami duduk melingkar bersama Edil untuk melakukan semacam ritual adat dalam menyambut tamu. Tesi – nama ritual tersebut – seharusnya dipimpin oleh tu’a adat atau tu’a golo yakni lelaki yang memimpin kampung atau ketua adat.

Newsplus Masyarakat Ruteng Pu’uMbaru Gendang. Tirto.id/M Fajar Nur

Namun, Edil, perempuan yang saya taksir berusia di 40-an awal, memimpin ritual sambutan karena tetua adat sedang tidak berada di kampung. Dan lelaki yang ada di kampung, hanya tersisa mereka yang tengah sibuk membangun rumah tradisional.

“Sisanya masih belum pulang kerja,” Edil menambahkan. “Tidak apa-apa [dengan saya], ini sebagai formalitas ada tamu datang ke kampung dan kita laporkan ke leluhur.”

Upacara penyambutan atau Tesi seharusnya memang dipimpin laki-laki. Namun karena saat itu kunjungan kami dadakan, tidak ada persiapan. Saya jadi agak tak enak hati. Tetapi Edil memimpin do’a dengan khidmat.

Setelahnya Edil bercerita panjang lebar dengan antusias soal masyarakat Ruteng Pu'u dan rumah adat mereka: Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor. Di dalam Mbaru Gendang, ketika saya mendongakkan kepala, terpampang struktur serupa jaring sarang laba-laba.

Kayu-kayu bersilangan membentuk desain yang mengerucut ke atas. Ada lima lapis struktur membentuk kerucut yang khas. Setiap lapisan punya kegunaan masing-masing: menaruh alat musik, senjata, hasil panen, hingga persembahan.

Edil menuturkan, dinamai Mbaru Gendang karena bangunan yang saya singgahi itu tempat menaruh alat musik gendang. Musik dan tari, memang menjadi kesenian budaya yang kaya dari tradisi masyarakat Manggarai. Gendang, kata Edil, tidak boleh sembarangan dimainkan.

Alat musik menjadi sesuatu yang sakral dan punya makna. Biasanya digunakan untuk acara dan ritual keadatan saja. Untuk memainkan alat musik tradisional seperti gendang, biasanya ada ritual. Paling hemat, kata Edil, mempersembahkan sebutir telur untuk leluhur.

Newsplus Masyarakat Ruteng Pu’uStruktur atap Mbaru Gendang dilihat dari dalam bangunan. Tirto.id/M Fajar Nur

Gendang hanya punya satu bagian sisi yang dilapisi kulit kambing. Dimainkan seperti umumnya, cukup ditabuh dengan tangan.

“Beda dengan Tambor, dua sisinya tertutup kulit,” ucap Edil. Tambor diletakan pada Mbaru Tambor, bangunan yang persis di sebelah Mbaru Gendang. Namun fungsi dan bangunan itu tak jauh berbeda, pun kegunaan alat musiknya.

Bedanya, gendang boleh dimainkan laki-laki dan perempuan. Sementara tambor hanya boleh dimainkan laki-laki, dan menggunakan stik.

“Itu warisan dari leluhur kami, acara apa saja yang berkaitan dengan [alat musik] ini harus ada ritual sebelum dimainkan. Intinya tidak boleh diturunkan atau dimainkan sembarangan,” terang Edil.

Dua rumah adat di Ruteng Pu'u, kata Edil, sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, dia memperkirakan sudah ada sejak kampung itu berdiri. Orang Ruteng Pu'u, berasal dari dua klan atau suku yang berbeda: yakni Suku Runtu dan Suku Ndosor.

Orang Runtu menetap di wilayah itu lebih dulu, mereka dipercaya punya leluhur dari Sulawesi dan masih tersambung dengan suku Toraja. Sementara suku Ndosor datang setelahnya, punya akar terhubung dari wilayah Sumatera atau suku Minangkabau.

Kedua suku hidup bersama dengan harmoni selama ratusan tahun di Ruteng Pu'u. Bahkan, tak sedikit yang berujung saling meminang. Menurut Edil, masyarakat Ruteng Pu'u saat ini mungkin generasi yang ke-30 lebih dari klan Runtu dan sekitar yang ke-25 dari klan Ndosor. Namun persisnya ia tak khatam betul. Tradisi sejarah di tempat itu menggunakan jalur lisan.

Di kampung adat Ruteng Pu'u ada belasan rumah, dengan rumah adat Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor sebagai pusatnya. Namun, saat ini sejumlah rumah warga Ruteng Pu'u juga dibangun mengadopsi desain tradisional khas rumah beratap kerucut seperti yang dipakai di Mbaru Niang (rumah adat).

Rumah seperti itu, kata Edil, disebut rumah sondong atau rumah tempat tinggal.

Sebetulnya Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor juga ditinggali beberapa kepala keluarga seperti para tetua adat dan keturunannya. Bedanya, rumah sondong milik warga biasa, dan tidak digunakan untuk acara dan upacara adat.

Perbedaan paling kontras adalah ukurannya yang tak sebesar Mbaru Niang atau rumah adat. Meskipun sama-sama beratap kerucut dan terbuat dari ijuk, di bagian pucuk atau puncak rumah adat dilengkapi dengan tanduk kerbau jantan dan pahatan wajah manusia.

Tak Sekadar Bangunan

Di tengah riuhnya pembangunan kota yang terus mengejar kemegahan, masyarakat Ruteng Pu’u justru memilih membangun ulang apa yang telah ditanam para leluhur. Edil menuturkan bahwa masyarakat Ruteng Pu'u punya mimpi agar semua bentuk rumah kembali mengikuti desain tradisional seperti Mbaru Niang atau rumah adat.

Itulah mengapa di dekat muka desa sedang dibangun rumah sondang baru dengan desain tradisional. Pasalnya, kata Edil, rumah bukan sekadar tempat untuk tinggal. Terlebih rumah adat, Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor, bukan sekadar bangunan, namun warisan leluhur sekaligus landasan hidup bermasyarakat warga Ruteng Pu'u.

Memang tak mudah. Bahan-bahan seperti kayu worok, bambu, rotan, hingga ijuk, kini sukar didapat. Bahan-bahan membangun rumah tradisional akhirnya berkocek mahal. Namun Edil percaya, banyak pihak mendukung warga Ruteng Pu'u mengokohkan akar tradisi mereka.

Ia menyebut bahwa Pemkab Manggarai, donatur, hingga LSM terus membantu harapan warga dalam membangun perkampungan yang diisi seluruhnya oleh rumah berdesain tradisional.

Jika saya tak salah ingat, sudah ada sekitar enam bangunan rumah dengan desain Mbaru Niang (rumah adat) di Ruteng Pu'u. Belum termasuk yang tengah dibangun. Edil berharap, jumlah ini akan terus bertambah seiring waktu berjalan.

“Ini harapan warga, harapan kami semua, dan untungnya selalu ada yang support walaupun nggak mudah ya,” ucap Edil.

Mbaru Niang atau Mbaru Gendang memang bukan sebatas hunian atau tempat singgah. Di dalamnya terkandung makna yang berlapis-lapis. Di bentuknya terkandung fungsi yang tidak ada habis. Bukan semata-mata warisan leluhur, bangunan ini punya fungsi yang arkais.

Dalam buku berjudul Mbaru Gendang, Rumah Adat Manggarai, Flores: Eksistensi, Sejarah, dan Transformasinya (2020) yang ditulis Yohanes dan Fransiska Widyawati, ditulis bahwa secara etimologis kata niang berarti rumah yang atapnya berbentuk kerucut (seperti es krim terbalik) dan memiliki kolong. Sementara kata mbaru itu berasal dari kata mbau yang berarti tempat naungan dan kata ru (sendiri) yang menunjukkan kepemilikan.

Maka, kata mbau dan ru yang kemudian digabungkan menjadi mbaru secara literal berarti naungan milik sendiri. Naungan yang dimaksudkan berupa tempat berteduh, tempat tinggal, tempat hidup atau rumah.

Tahap pembangunan Mbaru Niang bagi masyarakat Manggarai juga tidak asal-asalan. Misal tak bisa sembarangan memotong pohon di hutan untuk bahan baku rumah. Jika alfa untuk meminta izin pada leluhur hutan, masyarakat percaya akan ada hal yang tidak diinginkan.

Newsplus Masyarakat Ruteng Pu’uAlat musik gendang tergantung di dalam Mbaru Gendang. Tirto.id/M Fajar Nur

Namun, menurut Yohanes dan Fransiska, ajaran itu bermakna: “untuk tidak merusak alam seperti memotong tali-tali pohon sekitar pohon beringin[…].”

Bagi orang Manggarai, tulis Yohanes dan Fransiska, Mbaru Gendang bukan bangunan fisik dan karya arsitektur belaka. “Mbaru gendang memperlihatkan aspek yang lebih luas, baik fisik, sosial, kultural, maupun religius.”

Di Ruteng Pu’u, ada sesuatu yang lebih tua dari logika, sesuatu yang mungkin dapat disebut sebagai “kebajikan arkais”. Rasa hormat kepada alam, kepada tanah, kepada langit, kepada orang mati dan orang dari masa yang lampau. Ada keterhubungan yang saling terikat dalam sebuah bangunan yang disebut rumah.

Tradisi tidak menjadi sesuatu yang purba dan primitif di Ruteng Pu'u. Namun menjelma peta yang menapis kekeruhan modernitas yang menodai sendi-sendi kehidupan: dari segi sosial hingga aspek pembangunan. Yang lampau terasa menuntun yang datang belakangan.

Di depan Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor, terdapat gundukan batu berbentuk oval yang bernama compang. Ini merupakan makam leluhur dan tetua adat. Letaknya persis berada di tengah-tengah kampung. Seakan mengingatkan kematian selalu berada di depan mata.

Untuk mengelilingi kampung yang berbentuk seperti lingkaran, terdapat gundukan batu yang melingkar dan berfungsi sebagai jalan. Bentuknya mengingatkan saya dengan stadion atau kolosium. Gundukan batu ini dinamai like. Susunan-susunan batu akan sering kita jumpai di kampung adat Ruteng Pu'u.

Seorang pekerja yang tengah membangun rumah tradisional atau rumah sondang, bercerita bahwa Mbaru Gendang terdiri dari tiga bagian. Pria yang memperkenalkan diri sebagai Maxi ini menyebut, bagian pertama adalah kolong atau ngaung, bagian tengah tempat berbincang hingga tempat menetap penghuni disebut lete wa, dan bagian atas yang menjulang ke atas, tempat bersemayam leluhur dan dewa, disebut lobo.

Sementara bagian tengah rumah ditopang oleh tiang yang dinamai siri bongkok. Dulu, kata Maxi, tiang utama ini dibangun dari kayu worok. Sementara atap menggunakan bambu yang sudah diasap dan disambung hanya dengan tali-temali dari rotan. Paku hanya digunakan di bagian lantai, untuk merapatkan papan-papan kayu agar tidak bergeser.

“Sekarang tiang sudah bisa pakai semen saja, apalagi buat rumah biasa (sondong), dulunya semua seperti itu yang di Wae Rebo rumah adat itu,” ujar Maxi.

Ia menambahkan, dahulu bentuk Mbaru Gendang tak seperti sekarang. Dulu sebagaimana Mbaru Niang di Wae Rebo, atap dari ijuk dan alang-alang itu menjuntai sampai ke tanah dan berfungsi sekaligus dinding. Namun di Ruteng Pu'u pada 1980-an terjadi revitalisasi Mbaru Gendang sehingga dinding dan jendela dibuat sendiri dari kayu agar atap tidak menghambat sirkulasi udara.

“Atap itu tidak pernah bocor atau apa, kata tu’a-tu’a adat itu, kalau semakin berlumut makin kuat,” ucap Maxi sambil terkekeh.

Kembali ke Akar

Atap yang menjulang ke langit itu memang tak terkesan angkuh. Justru mencerminkan makna yang terpinggirkan dari bangunan yang megah menggapai langit-langit di kota metropolitan. Jiwa: ringkasnya sesuatu yang luhur. Sebagaimana digambarkan oleh Goenawan Mohamad bahwa kota makin padat, bahkan tak lagi sempat mempedulikan yang kosmis nun di atas.

"Yang vertikal di tempat tinggal dan tempat kerja kini dilambangkan oleh bangunan bertingkat yang tiap lantai bisa didatangi dengan lift. Ia jadi sesuatu yang horizontal. Tubuh kita tak mendaki," tulis Goenawan dalam esai berjudul 'Rumah' di Majalah Tempo (2010).

Menurut keterangan Maxi, Mbaru Gendang dan Mbaru Tambor belum pernah hancur akibat bencana alam seperti angin kencang atau gempa. Jika ada angin kencang, atap rumah juga tak tersapu. Apabila bumi bergoncang, rumah adat itu tak ikut ambrol.

Hal itu selaras dengan studi bertajuk Studi Elemen Struktur Rumah Tradisional Mbaru Niang (2024). Menurut studi yang terbit di Jurnal Arsitektur Atrium itu, Mbaru Niang yang sebagian besar menggunakan sambungan sistem ikat, menyebabkan tahan gempa dan gaya angin.

Sebabnya, struktur yang menggunakan sistem ikat ikut bergoyang ketika bumi berguncang. Hal ini berbeda dengan konstruksi struktur masa kini yang menggunakan sistem kekakuan (rigid) untuk mengatasi guncangan bumi. Hal ini merupakan temuan para penulis artikel saat meneliti struktur bangunan Mbaru Niang di kampung adat Wae Rebo.

“Masyarakat Wae Rebo dapat menghadirkan struktur bangunan aman yang bergoyang saat terjadi gempa dan gaya angin yang membuat bangunan mengikuti irama ‘goyangan’ dari kedua sumber tersebut,” tulis mereka.

Kontrasnya begitu telak dengan kota. Di kota, rumah menjadi aset. Ruang dibeli dan dijual, bukan untuk dihuni. Sebagaimana Martin Heidegger dalam esai Building, Dwelling, Thinking menyatakan bahwa kota modern banyak membangun, tetapi sedikit menghuni.

Kita menghuni, tetapi tak betul-betul bermukim. Berpindah dari satu kotak beton ke tembok bata lain, tak pernah akrab dengan tanah di bawah kaki, tak peduli kayu yang menjadi atap rumah.

Di kota, meminjam ungkapan Avianti Armand, rumah telah menjadi sangat cair. Tak ada lagi tempat yang diikat oleh hal-hal yang dekat dan intim. Dalam salah satu esai di bukunya yang berjudul Arsitektur Yang Lain (2013) itu, Avianti menekankan bahwa di kota: “Semua lepas jadi hal-hal yang sekadar persinggahan dan tak kita kenali. Apalagi kita cintai.”

Tentu, kampung adat Ruteng Pu’u bukan tanpa tantangan. Modernitas pasti mengetuk pintu. Namun yang hebat adalah keputusan kolektif masyarakat bukan untuk menolak modernitas, tetapi memilahnya, dan menenunnya ke dalam jaring-jaring nilai lama. Tekad itu tergambar dari keinginan masyarakat Ruteng Pu'u dalam mengadopsi rumah tradisional seperti Mbaru Niang.

Di akhir kunjungan saya ke Ruteng Pu'u, Maxi melempar semacam tebak-tebakan. Bertanya sambil merokok: “Om tahu apa arti Pu’u itu?”

Tentu saya tidak tahu. Jawab saya menanggapinya. “Pu’u itu berarti akar, sumber atau bisa juga awal,” jawab Maxi tampak bangga. Saya tersenyum dan menimpali. “Oh, pantas, cocok itu sudah.”


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |