tirto.id - Calon Gubernur (Cagub) DKI Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil (RK), mengatakan dirinya bersama pendampingnya, Suswono, didukung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilkada Jakarta 2024. Pria yang akrab disapa Kang Emil itu bahkan menyebut kedekatannya dengan Prabowo akan menjadi keuntungan bagi warga Jakarta.
“Kalau gubernurnya satu koalisi dengan Bapak Presiden [Prabowo] berarti kan bantuan bisa dobel ya, satu bantuan dari gubernurnya, betul, satu bantuan dari presidennya, betul?” kata Ridwan Kamil saat melakukan kampanye di Muara Angke, Jakarta Utara, Rabu (13/11/2024).
Mantan Gubernur Jawa Barat ini mengatakan saat ini program pemerintah terbagi menjadi dua bentuk, yakni bantuan dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Apabila hubungan pemerintah pusat dan daerah baik, maka akan berdampak kepada dukungan terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABPD) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Kalau hubungannya baik maka komunikasi ini akan membuahkan kepada kelancaran dukungan, dukungan dari dua sumber, satu APBD Jakarta satu APBN. Bentuknya apa, kan programnya banyak, program PKH, berbarengan dengan program provinsi,” katanya.
Pernyataan Ridwan Kamil mengenai bantuan ganda apabila gubernur dan presiden berasal dari koalisi partai yang sama menuai bantahan dari beberapa pihak. Logika tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip dasar negara yang mengedepankan keadilan dan pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan seluruh rakyat, tanpa memandang afiliasi politik.
Pernyataan RK juga seolah mengarah pada pengertian bahwa distribusi bantuan atau kebijakan sosial lainnya sebaiknya diberikan berdasarkan kesamaan koalisi politik antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam logika ini, bantuan sosial bisa saja menjadi alat politik untuk memengaruhi warga, yang justru merugikan warga yang berada di bawah pemerintahan yang berbeda koalisi.
"Ini juga kan menjadi problem, berarti selama ini bantuan pusat ke daerah sekadar kedekatan saja, dong? Bukan masalah kebutuhan dan analisis mendalam. Itu berarti ada problem besar dalam pemerintahan kita, government-nya tidak jalan," kata Analis Politik Universitas Padjadjaran (Unpad), Kunto Adi Wibowo, kepada reporter Tirto, Kamis (14/11/2024).
Pernyataan RK, lanjut Kunto, tidak hanya bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang adil, tetapi juga bisa kontraproduktif dalam konteks kampanye politik.
Calon Gubernur DKI Jakarta Ridwan Kamil bertamu ke kediaman Presiden RI ke-7 Joko Widodo di Kota Solo, Jumat (1/11/2024) siang. (FOTO/Febri Nugroho)
Pasalnya, jika kampanye lebih mengedepankan pemberian bantuan yang bersifat transaksional dan berbasis pada koalisi politik, bisa menciptakan persepsi negatif bahwa pemimpin hanya berfokus pada pembagian bantuan, bukan pada penciptaan kebijakan yang berkelanjutan dan memberdayakan masyarakat.
"Kalau sebagai jualan kampanye sih jadi kontradiktif pesan ini. Dan ini kan mengasumsikan bahwa pemilih itu pengemis yang meminta-minta bantuan," kata dia.
Analis sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, melihat pernyataan RK hanya cara untuk mendulang dukungan. Terlebih jika bicara bantuan dobel karena gubernur dan presiden satu koalisi, itu sudah terbantahkan di era Anies Baswedan.
Menurut Musfi, waktu Anies menjadi Gubernur DKI dan partai pengusungnya bukan koalisi PDIP yang berkuasa di pusat, tapi warga Jakarta tetap mendapatkan bantuan dari Pemprov Jakarta dan pemerintah pusat seperti Kartu Jakarta Pintar (KJP) plus. Di era Anies, selain KJP plus, mahasiswa juga dapat subsidi pemerintah berupa pengurangan biaya semester kuliah.
“Bisa dikatakan pernyataan RK kemarin mengada-ada. Tidak ada hubungannya gubernur harus satu koalisi dengan pemerintah pusat. Karena ketika terpilih, dari mana pun partainya, gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat, itu ada dalam Undang-undang,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (18/11/2024).
Kampanye Politik RK Dangkal dan Tidak Mencerdaskan
Pernyataan RK, lanjut Musfi, jelas tidak mendidik karena seolah mengatakan paslon lain akan tidak bersinergi dengan pemerintah pusat. Karena siapapun gubernurnya, mereka harus patuh pada Undang-Undang yang mengharuskan sinergi dengan pusat.
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, mengamini bahwa logika semacam itu membuat kampanye politik menjadi dangkal dan tidak mengedukasi serta mencerdaskan pemilih.
Hal ini juga menunjukkan kesan bahwa RK berupaya menggunakan strategi kampanye dengan menggiring pemilih ke kata kunci “satu koalisi” yang seolah memberikan jaminan tentang bantuan dobel tersebut.
“Hal semacam ini harus dikritisi dan jadi pertimbangan pemilih,” kata Felia kepada Tirto, Kamis (14/11/2024).
Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut 1 Ridwan Kamil (kanan) dan Suswono (kiri) menyampaikan orasi politik saat Kampanye Akbar di Cengkareng, Jakarta, Kamis (14/11/2024). Dalam kampanye akbar pertama tersebut Ridwan Kamil dan Suswono mengatakan akan merealisasikan janji kampanyenya. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/tom.
Menurut Felia, janji-janji kampanye populis yang disampaikan secara asal jeplak berisiko menjadi beban bagi pemerintahan yang akan ia pimpin jika terpilih. Tanpa perhitungan yang matang dan rencana implementasi yang jelas, janji-janji tersebut dapat menciptakan ekspektasi publik yang sulit dipenuhi dan menimbulkan kekecewaan besar di kalangan pendukung.
Belum lagi beban anggaran publik yang membengkak dan belum terjaminnya pemenuhan janji-janji kampanye tersebut. Dengan demikian, kata Felia, logika tersebut jelas tidak realistis, selain akan membebani anggaran dan sumber daya negara, logika semacam ini juga dapat merusak kredibilitas pemerintahannya di mata rakyat.
“Tanpa pertimbangan yang komprehensif mengenai dampak finansial dan jangka panjang, termasuk dampak lainnya yang mungkin belum terlihat dan tidak diinginkan, janji-janji tersebut bisa menjadi bumerang yang menghambat kinerja dan stabilitas pemerintahan,” jelasnya.
Gaya kampanye populis semacam itu, kata dia, seharusnya tidak diterapkan di Jakarta. Jika melihat dari statistik dan demografi, Jakarta berada pada level yang cukup berbeda dibanding daerah lain, dengan masyarakat yang cenderung berpendidikan sehingga lebih kritis, melek politik, dan peka terhadap isu-isu sosial.
Pemilih di Jakarta, kata Felia, sudah terbiasa dengan informasi yang cepat dan beragam, serta lebih selektif dalam menilai janji-janji politik, sehingga kampanye gimik tanpa substansi justru dapat menjadi bumerang bagi RK. Belum lagi informasi dari berbagai sumber informasi juga ikut memperkaya pengetahuan dan pertimbangan pemilih, termasuk saat melihat rekam jejak para kandidat sebelumnya.
“Menurut saya, penggunaan pendekatan seperti ini mencerminkan rasa frustrasi, ketidakpercayaan diri, atau bahkan ketidakyakinan Ridwan Kamil dalam menggalang dukungan yang kuat di tengah pemilih yang lebih rasional di Jakarta,” kata dia.
Analis politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, juga menyayangkan pernyataan yang disampaikan oleh RK. Menurutnya, RK seolah membenarkan jika presiden hanya berpihak pada gubernur yang satu koalisi atau rekanan. Meskipun bisa saja memang ada keuntungan dari gubernur dan presiden dari satu koalisi.
“Tetapi itu subyektif, tidak mendasar pada profesionalisme birokrasi,” kata Dedi kepada reporter Tirto, Kamis (14/11/2024).
Menurutnya, RK keliru dan mesti mengakuinya agar tidak menajamkan konflik politik di masa kampanye. Terlebih kata dia, di Jakarta antara Pramono dan Ridwan Kamil, punya kedekatan setara dengan presiden, sehingga tidak perlu ada dikotomi semacam itu.
tirto.id - Politik
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi