Menyoal Program Beasiswa Kemenkeu yang Dibatalkan Demi Efisiensi

2 hours ago 8

tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, membatalkan tawaran beasiswa Kementerian Keuangan (Ministrial Scholarship) 2025. Keputusan pembatalan ini sebagaimana tertuang dalam surat resmi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) dengan nomor PENG-14/PP.2/2025 yang diterbitkan pada 31 Januari 2025.

Pembatalan beasiswa itu sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 serta merujuk Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tanggal 24 Januari 2025 perihal Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan APBN Tahun 2025. Keputusan itu juga merupakan hasil Rapat Pimpinan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) pada akhir Januari 2025.

"Kami sampaikan bahwa Penawaran Beasiswa Kementerian Keuangan (Ministerial Scholarship) Tahun 2025 sebagaimana telah diumumkan melalui Pengumuman NOMOR PENG-1/PP.2/2025 dibatalkan,” dikutip pengumuman di dalam surat tersebut, Selasa (4/2/2025).

Semula penawaran beasiswa itu dibuka pada 10 Januari dan rencananya ditutup pada 9 Februari 2025 mendatang. Namun, program tersebut harus dibatalkan sejak keluarnya surat pembatalan yang ditetapkan pada 31 Januari 2025 lalu.

Beasiswa Ministerial Scholarship merupakan program yang diperuntukkan bagi kader pemimpin atau talenta terbaik Kementerian Keuangan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di luar negeri. Program beasiswa ini dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi SDM Kementerian Keuangan dalam mendukung pencapaian visi, misi, dan sasaran strategis Kementerian Keuangan.

Lewat program ini, para alumni Ministerial Scholarship diharapkan memiliki keunggulan kompetitif sehingga lebih siap untuk memimpin Kementerian Keuangan di masa mendatang.

Namun, akibat pembatalan ini nasib para pegawai internal Kemenkeu kandas untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Padahal sejatinya, kesempatan belajar di luar negeri adalah langkah penting untuk memperkaya kapasitas dan kualitas mereka dalam mendukung pencapaian visi dan misi dari Kementerian Keuangan.

Direktur Pusat Kajian Kurikulum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, melihat sejatinya beasiswa Kementerian Keuangan ini adalah beasiswa yang memang diperuntukkan khusus bagi pegawai di lingkungan internal. Dari situ, maka akan memperoleh pegawai-pegawai dengan kompetensi, kapasitas, dan profesionalitas yang baik dalam memberikan layanan publik.

“Ini ide bagus dan menarik tentunya. Tapi nasibnya harus kandas di tengah berbagai upaya efisiensi oleh pemerintahan Prabowo,” ujar Edhi kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Pengamat pendidikan, Doni Kusuma, mengatakan keputusan pembatalan beasiswa tersebut bisa merugikan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya di lingkungan Kementerian Keuangan sendiri. Pendidikan, yang dianggap sebagai salah satu alat efektif untuk mobilisasi sosial dan memutus rantai kemiskinan, kini terancam terhambat oleh keputusan tersebut.

“Pendidikan adalah salah satu alat untuk mobilisasi sosial yang efektif dalam meretas belenggu kemiskinan. Semestinya, program beasiswa tidak dipangkas semuanya, tapi jumlahnya bisa dikurangi secara proporsional,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Menurutnya, pembatalan beasiswa ini juga dapat menghambat upaya Kementerian Keuangan dalam mencetak generasi penerus yang berkualitas. Keputusan tersebut pun dinilai berisiko membatasi akses pendidikan bagi para kader terbaik di lingkungan Kementerian Keuangan.

Dengan berbagai dampak negatif yang bisa muncul dari keputusan ini, maka sebaiknya Kemenkeu dapat dipertimbangkan dengan lebih matang kebijakan pembatalan ini. Hal ini agar dapat mengakomodasi kebutuhan pendidikan yang lebih luas demi menciptakan SDM yang unggul.

Sementara itu, Edi Subkhan menilai, dengan adanya pembatalan tersebut, maka konsekuensinya para kader-kader atau pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan harus cari beasiswa lain atau kuliah mandiri. Dengan kata lain, mereka harus rela keluar biaya secara mandiri tanpa dibiayai oleh negara atau institusi tempatnya bekerja.

“Atau bisa daftar Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) misalnya yang bisa dirancang untuk bekerjasama dengan Kemenkeu, sama seperti Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) untuk Kementerian Pendidikan dan Beasiswa Indonesia Bangkit (BIB) untuk Kementerian Agama,” ujar dia.

Maka, kedepannya hal yang harus diperhatikan belajar dari kebijakan di pemerintahan sebelumnya, pendidikan di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintahan lain harus dijaga betul untuk jangan mengambil jatah dari alokasi anggaran pendidikan Kementerian Pendidikan. Jadi, kalaupun beasiswa Kementerian Keuangan untuk kadernya ditiadakan, bisa mengarahkan ke membentuk kerjasama dengan LPDP.

“Maka perlu juga pendidikan kedinasan di lingkungan Kemenkeu perlu menggunakan alokasi pendanaan dari kemenkeu sendiri saja,” pungkas Edi.

Efisiensi Tak Boleh Tumbalkan Anggaran Pendidikan

Lebih jauh, pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, melihat pemangkasan anggaran di berbagai sektor pendidikan, termasuk di Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah), serta Kementerian Agama (Kemenag), semakin menunjukkan bahwa sektor pendidikan bukanlah prioritas utama bagi pemerintah.

Mengingat kebijakan tersebut bertentangan dengan upaya untuk menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul di masa depan. Terlebih lagi, saat ini kondisi SDM Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan.

Survei Human Development Indeks (HDI) dari United Nations Development Programme (UNDP) pada 2021 menunjukkan nilai indikator HDI Indonesia masih rendah dan tertinggal dari negara-negara peers. Dari 191 negara yang dilakukan survei HDI dengan memperhitungkan komponen umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak, Indonesia masih berada di peringkat 114.

Selain itu, skor PISA (Program for International Student Assessment) Indonesia juga masih di bawah rata-rata OECD dan ASEAN-5. Hal yang sama juga ditunjukkan dari Angka Partisipasi Kasar (APK) untuk perguruan tinggi (19-24 tahun) yang masih tertinggal dibandingkan peers.

“Maka semakin jelas prioritas presiden itu apa. Sektor pendidikan bukanlah program prioritas presiden. Kalau bicara SDM, ya pasti sektor pendidikan. Mestinya anggaran pendidikan ditambah, bukan malah di efisiensi,” ujar Ubaid kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Perlu diketahui, anggaran pendidikan dalam APBN 2025 mencapai Rp724,26 triliun atau 20 persen dari belanja negara. Jumlah tersebut dialokasikan melalui belanja pemerintah pusat, TKD, dan investasi pemerintah pada pos pembiayaan.

Sedangkan anggaran pendidikan melalui belanja pemerintah pusat mencapai Rp297,17 triliun. Anggaran tersebut akan dimanfaatkan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, serta memberikan kemudahan dan keringanan bagi peserta didik agar dapat memperoleh layanan pendidikan yang lebih baik.

Menurut Ubaid, bila dilakukan pemangkasan anggaran pendidikan justru berisiko memperburuk kualitas pendidikan di Indonesia, terutama di tingkat dasar dan menengah, di mana masih jutaan anak Indonesia yang belum bisa menikmati bangku sekolah.

Kritik ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan perlu mendapatkan perhatian lebih, mengingat peran pentingnya dalam mencetak generasi penerus yang akan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa. Diharapkan, pemerintah dapat mengevaluasi kembali kebijakan anggaran yang berdampak langsung pada kualitas pendidikan di seluruh lapisan masyarakat.

Di sisi lain, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek), Stella Christie, justru menegaskan bahwa efisiensi anggaran tidak akan mempengaruhi dana riset dan beasiswa. Di saat bersamaan seluruh program beasiswa yang telah berjalan di bawah Kemendiktisaintek tetap harus dilaksanakan.

"Efisiensi anggaran tidak mempengaruhi dana beasiswa kementerian, yang sudah on going, tetap harus berjalan," ujar Stella menukil Kompas.

Lebih lanjut, Stella menjelaskan bahwa efisiensi anggaran bukan berarti pemotongan. Sebab, efisiensi dan pemotongan adalah dua hal berbeda. “Dengan adanya efisiensi, kita memikirkan bagaimana kita dapat mencapai kinerja yang maksimal dengan input yang efisien," tuturnya.


tirto.id - News

Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |