tirto.id - Baru-baru ini, Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Bandung menjadi sorotan setelah melakukan pembatalan kelulusan dan menarik ijazah terhadap 233 mahasiswa periode 2018-2023.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi?
Berdasarkan reportase Tirto, Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) menyebut bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam proses kelulusan di Stikom Bandung. Beberapa kejanggalan ini di antaranya perbedaan nilai akademik dan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) dengan data di Pangkalan Data Dikti.
Selain itu, ijazah mahasiswa periode 2018–2023 tidak mencantumkan Penomoran Ijazah Nasional (PIN) dan belum dilakukan uji plagiasi terhadap karya mahasiswa.
Kepala LLDikti Wilayah IV Jabar Banten, M. Samsuri, menyatakan, kampus wajib menyelesaikan temuan ini, sebagaimana tertuang dalam berita acara evaluasi yang telah disepakati dengan tim EKA.
"Temuan tersebut harus segera ditindaklanjuti. Jika telah selesai, sanksi administrasi akan dicabut, dan kampus boleh kembali meluluskan mahasiswa," ujarnya pada Rabu (15/1/2025).
Samsuri menegaskan, sanksi administrasi mesti diterapkan hingga kampus menyelesaikan seluruh temuan. Solusi utama adalah memperbaiki tata kelola akademik berdasarkan rekomendasi tim EKA, termasuk menangani keresahan mahasiswa dan alumni yang terdampak.
"Perbaikan tata kelola menjadi langkah penting agar kasus serupa tidak terulang," katanya.
Menurut Samsuri pula, EKA telah menguji proses pembelajaran di kampus. Ketika ditemukan pelanggaran, pihak kampus wajib bertanggung jawab untuk memastikan keabsahan ijazah.
"Esensi ijazah harus tetap terjaga agar memiliki nilai dan marwah," tegas Samsuri.
Ketua Stikom Bandung, Dedy Djamaluddin Malik, angkat bicara terkait keputusan pembatalan kelulusan dan penarikan ijazah 233 mahasiswa periode 2018–2023. Langkah ini, menurutnya, dilakukan untuk memastikan bahwa semua lulusan Stikom memenuhi standar akademik yang telah ditetapkan.
Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa meskipun keputusan ini sulit, hal ini merupakan bentuk koreksi institusional yang bertujuan meningkatkan kualitas dan tata kelola pendidikan di Stikom.
Ia mengakui, belum diterapkannya uji plagiasi di kampus selama ini menjadi salah satu kelemahan dalam tata kelola akademik Stikom.
"Nah, mengapa kita belum melaksanakan tes plagiasi? Itu lebih karena proses akademis kita selama ini dipengaruhi oleh banyak faktor," jelasnya.
Selain itu, Dedy menyoroti bahwa orientasi kampus yang lebih praktis—dengan fokus pada kesiapan kerja mahasiswa—telah menyebabkan lulusan Stikom banyak yang sudah bekerja sebelum wisuda. Namun, pendekatan ini, menurutnya, belum sepenuhnya taat asas dalam melaksanakan perintah peraturan perundang-undangan.
"Kami menyadari bahwa ada kekurangan dalam pelaksanaan aturan, seperti uji plagiasi dan penyesuaian Satuan Kredit Semester (SKS). Jika ditemukan skripsi dengan tingkat plagiasi melebihi 40 persen, maka karya tersebut harus diperbaiki. Begitu juga dengan kekurangan SKS, mahasiswa wajib melengkapinya hingga memenuhi syarat minimal 144 SKS," tambahnya.
Dedy menegaskan juga, pembatalan ijazah bukan berarti seluruh perjalanan akademik mahasiswa selama delapan semester dihapuskan. Ia menjelaskan bahwa mekanisme untuk memperoleh ijazah baru melibatkan perbaikan berdasarkan aturan yang berlaku, termasuk revisi nilai jika terdapat ketidaksesuaian antara data akademik kampus dengan dokumen otentik mahasiswa.
Lebih lanjut, Dedy mengapresiasi arahan dan bimbingan dari pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) untuk membantu Stikom menjadi institusi yang lebih kompetitif.
"Kami berterima kasih kepada pemerintah atas evaluasi dan arahan yang diberikan. Ini menjadi momentum bagi kami untuk memperbaiki tata kelola manajemen perguruan tinggi," katanya.
Stikom Bandung, yang telah berdiri sejak 1998, memang menghadapi berbagai tantangan, termasuk dalam hal infrastruktur dan pendanaan.
"Kami ini masih nomaden, belum memiliki kampus tetap," ungkap Dedy.
Namun, ia menekankan, kekuatan Stikom terletak pada hubungan erat antara mahasiswa dan alumni, yang sering kali membuka peluang kerja bagi mahasiswa bahkan sebelum mereka lulus.
"Di tengah kompetisi luar biasa di antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS), lulusan kami sudah banyak yang bekerja, bahkan ada yang di Jepang. Ada alumni yang siap menyerahkan ijazahnya meski ia berada di luar negeri, tinggal membuat surat kesediaan aja dulu saya bilang gitu," ceritanya.
Komitmen pada Perbaikan Berkelanjutan
Sebagai langkah perbaikan, Stikom telah menambah jumlah dosen, dari 11 orang menjadi 29 orang, untuk memenuhi rasio pengajar dan mahasiswa sesuai ketentuan. Selain itu, kampus juga telah menyewa lokasi baru dengan total luas 5.000 meter persegi untuk menyediakan fasilitas pendidikan yang lebih memadai.
Stikom juga mulai mengimplementasikan uji plagiasi untuk menjaga orisinalitas karya ilmiah, memperketat pengawasan administrasi, dan melakukan validasi data akademik. Dedy menyebutkan bahwa reformasi ini bertujuan untuk menciptakan tata kelola yang lebih transparan dan terkontrol.
"Ini adalah koreksi untuk kita semua, terutama bagi Stikom, agar lebih baik lagi ke depan," katanya.
Meski tengah menghadapi berbagai persoalan, Dedy tetap optimis bahwa Stikom dapat melalui masa sulit ini dengan dukungan dari mahasiswa, alumni, dan masyarakat. Ia juga mengajak seluruh pihak untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah ini secara adil dan bijaksana.
"Kami yakin tata kelola kampus akan semakin baik di masa depan. Dengan bimbingan dari Kemendikbudristek, kami bisa lebih aware dan lebih taat terhadap peraturan," pungkasnya.
Dengan langkah-langkah pembenahan yang terus dilakukan, Stikom Bandung berharap dapat kembali menjadi lembaga pendidikan yang terpercaya dan menghasilkan lulusan berkualitas.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Stikom, Kakang Kariman, menekankan bahwa tanggung jawab atas kelalaian akademik sepenuhnya berada di pihak institusi. Mulai dari pengelolaan kalender akademik, pengunggahan nilai, hingga pengesahan kelulusan. Mahasiswa hanya menjalankan kewajibannya untuk kuliah dan membayar administrasi. Oleh karena itu, ia berharap pihak kampus tidak menyalahkan mahasiswa atau alumni dalam situasi ini.
“Kami hanya tahu kuliah dan bayar administrasi. Kalau ada kesalahan, itu tanggung jawab lembaga,” tegasnya.
Untuk pengembangan institusi ke depan, Kakang menyarankan agar Stikom memperbaiki sistem akademik dengan lebih transparan dan meningkatkan pengawasan terhadap administrasi. Kampus juga perlu memberikan kepastian hukum bagi mahasiswa dan alumni agar tidak ada lagi kasus serupa yang terjadi.
Ia berharap masalah ini dapat diselesaikan dengan segera dan adil sehingga tidak berlarut-larut. Keputusan yang cepat dan tepat sangat diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan mahasiswa dan menjaga nama baik kampus di mata masyarakat.
“Tolong selesaikan masalah ini secepat mungkin. Jangan sampai berlarut-larut karena masa depan banyak orang dipertaruhkan. Jangan biarkan nama baik kampus terus tercoreng. Fokuslah pada solusi yang adil bagi semua pihak,” pungkasnya.
Alumni Stikom yang Terdampak Penarikan Ijazah: Harusnya Ada Transparansi
Arif (bukan nama sebenarnya), salah satu alumni Stikom, menyatakan bahwa ia tidak dapat memberikan komentar langsung mengenai ketepatan kebijakan yang diterapkan, karena hal tersebut merupakan wewenang pihak regulator, seperti Tim Evaluasi Kinerja Akademik dan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi.
Namun, ia menyoroti bagaimana isu ini menimbulkan pro kontra akibat kurangnya transparansi dari berbagai pihak. Ketidakjelasan informasi yang diberikan telah memicu beragam spekulasi, yang semakin memperkeruh situasi.
“Berdasarkan pengamatan saya dan beberapa teman alumni, isu ini menjadi panjang karena didasarkan pada ketidakterbukaan dari banyak pihak sehingga bias konfirmasi ini menimbulkan banyak asumsi liar,” Kata Arif.
Menurut Arif, baik pihak kampus maupun regulator belum memberikan penjelasan resmi secara utuh mengenai masalah ini kepada para alumni. Ketidakterbukaan tersebut membuat banyak pihak merasa terpinggirkan, termasuk dirinya sebagai alumni yang terdampak.
“Seharusnya adanya transparansi dengan apa yang terjadi sehingga semua pihak bisa mendukung mekanisme yang sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.
Sebagai alumni, Arif mengungkapkan bahwa ia lulus berdasarkan ketentuan yang berlaku pada masa itu. Oleh karena itu, ia berharap bahwa setiap kebijakan yang diambil ke depannya tetap mempertimbangkan keadilan bagi mahasiswa dan alumni yang telah memenuhi kewajiban akademik dan administratif mereka.
“Apabila terdapat transparansi terkait hal dan isu tersebut, dari semua pihak, pasti kita akan melakukan mekanisme sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” pungkasnya.
Sementara di media sosial, beberapa warganet menganggap kasus ini bukanlah hal yang unik, melainkan bagian dari permasalahan sistemik yang lebih besar di dunia pendidikan tinggi.
"Banyak yang seperti ini (terjadi) di Bandung," tulis seorang warganet dalam komentar pada unggahan Tirto di Facebook pada 15 Januari 2025 lalu, menggambarkan dugaan bahwa situasi serupa mungkin tersebar di berbagai institusi.
Di sisi lain, kritik warganet juga mengarah pada eksekusi kebijakan yang dinilai kurang memperhatikan berbagai aspek penting. Misalnya, dampak keputusan tersebut terhadap alumni yang sudah bekerja, mereka yang menetap di luar negeri namun tetap membutuhkan keabsahan ijazahnya, hingga lulusan yang kini berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kurangnya pendekatan holistik dalam menangani masalah ini menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap masa depan para alumni dan reputasi institusi.
Masalah Sistemis
Herdiansyah Hamzah, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), angkat suara. Ia menilai, kasus ini menjadi cerminan dua persoalan mendasar dalam manajemen pendidikan di Indonesia.
“Pertama, kasus ini menunjukkan adanya problem serius dalam manajemen pendidikan kita. Manajemen yang bobrok ini berdampak pada mahasiswa sebagai korban utama. Ada semacam kegagalan sistemik yang tergambar dari peristiwa ini,” ujar Herdiansyah pada Tirto, Kamis (16/1/2025).
Kedua, ia menyoroti kecenderungan pendidikan yang terlalu berorientasi pada aspek administratif dan profit sehingga pendidikan yang diberikan tercerabut dari tujuan utamanya.
“Pendidikan kita seolah hanya mengejar gelar dan waktu penyelesaian, tanpa memikirkan kualitas. Hal ini menunjukkan bahwa semangat pendidikan kita telah tercerabut dari tujuan utamanya, yaitu pengembangan ilmu pengetahuan dan penguatan marwah bangsa,” lanjutnya.
Herdiansyah menekankan pentingnya mengembalikan fokus pendidikan kepada substansi, bukan sekadar administratif.
“Sekarang (pendidikan) lebih profit oriented, termasuk juga kebih mengutamakan hal-gal yang administratif ketimbang yang bersifat substansial.” tegasnya.
tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Farida Susanty