Perfios Akuisisi CreditNirvana: AI Jawaban untuk Masalah Pinjol?

19 hours ago 13

tirto.id - Pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI) di berbagai sektor teknologi menjadi sebuah keniscayaan. Di industri financial technology (fintech), secara khusus peer to peer lending (P2P lending) alias pinjaman online (pinjol), pemanfaatannya bisa memberikan beragam dampak positif. Mulai dari mempercepat proses penilaian kredit, pemeriksaan keakuratan data, sampai dengan menurunkan tingkat kredit macet.

Belum lama ini, Prefios, perusahaan penyedia jasa fintech B2B terbesar di India, meningkatkan kapasitas teknologi AI-nya. Perusahaan yang berpusat di Mumbai ini, dalam tiga bulan 2025 berjalan, telah mengakuisisi dua perusahaan; CreditNirvana dan Clari5. Dari dua perusahaan tersebut mereka menyerap teknologi solusi manajemen utang berlandaskan AI dan perangkat berbasis AI untuk mendeteksi penipuan keuangan.

Di Indonesia pemanfaatan AI untuk industri fintech juga mulai banyak umum digunakan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S Djafar, kebanyakan perusahaan penyedia jasa pinjol telah menerapkannya setidaknya untuk penilaian kelayakan kredit.

“Proses pinjaman pada pindar (pinjaman daring, padanan pinjol) sangat cepat, sehingga penilaian kelayakan kredit, sebagian besar platform pindar, menggunakan learning machine dengan basis AI,” ujar Entjik kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).

Hal ini, juga diakui CEO Phire Studio, Henke Yunkins. Perusahaannya bergerak di bidang penyediaan solusi teknologi, sempat menangani sejumlah perusahaan keuangan. Dia mengatakan hampir semua penyelenggara fintech berizin resmi di Indonesia, sebanyak 97 perusahaan sampai akhir 2024 lalu, menggunakan teknologi berbasis AI.

"Contoh seperti Easycash, Amartha, dan AdaKami menunjukkan bagaimana analitik data dan algoritma canggih membantu menyalurkan kredit secara efisien," terangnya kepada Tirto, lewat pesan singkat, Jumat (14/3/2025).

Entjik menambahkan, penggunaan algoritma AI yang tepat juga dapat membantu mencegah penyalahgunaan data pribadi, seperti data yang dicuri dari orang lain misalnya. “Dengan AI Detection penyalahgunaan tersebut dapat dengan mudah diidentifikasi,” ujarnya.

Kelebihan lain penggunaan AI pada platform pinjol juga bisa memberikan hasil analisis yang lebih efisien dan akurat. Sebab, analisis kelayakan kredit menggunakan mesin AI bisa lebih teliti dibanding pemeriksaan yang dilakukan secara manual oleh manusia.

“Karena mesin AI tidak memiliki feeling yang menyebabkan conflict of interest,” tambah dia lagi.

Hal ini juga akan berdampak ke masyarakat yang makin waspada dan sadar akan sulitnya, mengelabui AI yang harapannya bisa membuat mereka yang meminjam uang jadi lebih disiplin dalam membayar pinjamannya.

Sementara itu menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penerapan AI oleh platform pinjol dapat menurunkan kredit macet. Sebab, dari awal saja AI dapat memberi analisis profil risiko yang lebih baik dan menghindari peminjam dengan risiko tinggi.

Saking optimistis dan mendukungnya pemanfaatan AI untuk operasi fintech, pada akhir 2023 lalu OJK juga sempat meluncurkan panduan kode etik untuk pemanfaatan AI oleh perusahaan teknologi finansial.

Beragam Manfaat AI Bagi Platform Pinjol

Henke dari Phire Studio menyebut, masalah pencurian identitas dan data pribadi menjadi salah satu problem di industri fintech. Kasusnya pun cenderung meningkat dan kian sering terdengar. Penggunaan AI bisa membantu menekan risiko penipuan lewat pencurian data ini.

Penerapan AI dalam proses konfirmasi, yang biasanya mencocokkan foto peminjam dana di KTP dengan saat memegang kartu identitas, bisa mendeteksi anomali secara lebih baik.

“AI digunakan juga untuk mendeteksi anomali pada dokumen atau data biometric, misalnya mengenali foto identitas yang diedit atau wajah hasil deepfake dari ketidakwajaran ekspresi, pencahayaan, atau latar belakang,” terangnya.

Sementara Ketua Komite Tetap (Komtap) AI, Asosiasi Pengusaha Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (APTIKNAS), Karim Taslim, menyoroti efektivitas dari kemampuan AI untuk memprediksi kemungkinan peminjam gagal bayar.

“Dibandingkan dengan metode penilaian kredit tradisional, teknik AI cukup mumpuni. Namun demikian, Akurasi model AI dalam memprediksi gagal bayar (credit default prediction) dalam industri P2P lending dan PayLater sangat bergantung pada berbagai faktor, seperti data yang digunakan, metode machine dan algoritma learning yang diterapkan, serta kompleksitas model,” tuturnya kepada Tirto, Jumat (14/3/2025).

Dia menyebut beberapa perusahaan fintech di Indonesia, seperti Kredivo, Akulaku, Modalku, dan Investree, telah menggunakan AI untuk meningkatkan akurasi credit scoring mereka.

Karim menambahkan, dari beberapa studi dan pengalaman industri, AI dalam fintech P2P lending dan PayLater bisa memiliki akurasi prediksi gagal bayar sekitar 85–95 persen. Kembali, ini tergantung pada model dan data yang digunakan.

Henke juga setuju terkait manfaat ini. Menurut dia, penggunaan AI juga bisa membantu kelompok orang yang tidak punya rekening bank untuk bisa menjamah pinjaman.

“Dibandingkan metode tradisional yang hanya mengandalkan data historis kredit, AI mampu menganalisis ribuan variabel, termasuk data alternatif seperti pola transaksi, penggunaan perangkat, serta aktivitas media sosial. Pendekatan ini memungkinkan identifikasi dini terhadap peminjam berisiko tinggi, sekaligus memperluas akses kredit bagi individu yang sebelumnya tidak memiliki riwayat kredit formal,” kata Henke.

Namun, Henke mengingatkan, AI juga memiliki kelemahan, sama seperti Karim, dia menyebut, kerja perangkat ini sangat bergantung dengan input data yang diterima. Jika data historis mengandung bias sistemik, misalnya diskriminasi terhadap kelompok ekonomi tertentu atau daerah tertentu yang kurang terlayani oleh layanan keuangan formal, maka AI dapat secara tidak sadar memperkuat ketidakadilan tersebut.

Untuk mengurangi risiko bias dan ketidakakuratan ini, diperlukan regulasi dan standar etika yang lebih ketat dalam penggunaan AI untuk skoring kredit. Panduan etik dari OJK menjadi langkah yang baik.

“Namun masih dibutuhkan pengawasan lebih lanjut untuk memastikan transparansi dan fairness dalam keputusan kredit berbasis AI. Fintech juga perlu mengadopsi mekanisme audit algoritma secara berkala serta memastikan bahwa model mereka tidak secara sistematis mengecualikan kelompok tertentu dari akses keuangan yang adil,” tambahnya.

Terkait haparan OJK, AI dapat membantu penurunan angka kredit macet atau non-performing loan (NPL), juga secara teori dimungkinkan. Studi dari McKinsey & Company menunjukkan bahwa penilaian kredit skor menggunakan AI dapat meningkatkan akurasi prediksi gagal bayar hingga 20–40 persen dibandingkan metode tradisional.

“Kredivo, salah satu PayLater terbesar di Indonesia, menggunakan AI untuk menilai risiko peminjam berdasarkan data transaksi digital, e-commerce, dan perilaku pembayaran. Hasilnya, tingkat NPL lebih terjaga dibandingkan pinjol konvensional,” terang Karim memberi contoh nyata.

Namun, menurut Karim, di sisi lain AI juga bisa memacu terjadinya over lending (pinjaman berlebihan). AI yang dirancang terlalu agresif menyetujui pinjaman bisa menjadi sebabnya. Selain itu penggunaan data alternatif untuk memeriksa profil calon peminjam juga bisa menimbulkan masalah. Data alternatif yang dimaksud misalnya transaksi e-commerce, pola penggunaan gawai, dan aktivitas di media sosial. Data tersebut kerap digunakan oleh perusahaan fintech, namun belum tentu valid terkait kemampuan bayar.

Dua Sisi Mata Pisau

Permasalahan over lending hanya salah satu contoh dampak negatif dari pemanfaatan AI yang tidak terkontrol untuk layanan pinjol ataupun produk fintech serupa. Menurut Karim dari APTIKNAS, penerapan AI ini membawa perubahan kebiasaan pinjam-meminjam di masyarakat.

Dibalik proses peminjaman yang cepat, ada budaya 'pinjaman instan' atau mengandalkan 'PayLater' yang terbentuk. “(Hal ini) mendorong perilaku konsumtif,” ujar Karim.

Karim juga menyebut, peningkatan risiko penyalahgunaan data pribadi muncul akibat perubahan pola pinjam-meminjam uang dari platform yang diperkuat AI. Dia juga menyoroti implementasi penggunaan teknologi AI yang setengah-setengah.

“Banyak dari platform ini hanya menggunakan sistem persetujuan pinjaman yang cepat, tanpa credit scoring yang mendalam. Prosesnya cenderung hanya melihat data dasar (misalnya, KTP, nomor HP, dan rekening bank), tanpa analisis mendalam tentang kemampuan membayar atau risiko peminjam,” ujar Karim.

Di Indonesia, sistem penagihan manual dan tradisional seperti lewat call center ataupun tenaga lapangan yang menekan secara emosional masih banyak dilakukan, “Alih-alih menggunakan AI untuk menyesuaikan strategi penagihan dengan psikologi peminjam,” tambah Karim.

Dia juga menyoroti keberadaan platform pinjol ilegal yang masih banyak beredar di masyarakat. “Ada indikasi kuat bahwa sebagian perusahaan pinjol, khususnya yang beroperasi secara ilegal atau semi-ilegal, lebih berfokus pada strategi penagihan yang agresif dan intimidatif, daripada inovasi teknologi atau AI dalam operasionalnya,” kata Karim.


tirto.id - Teknologi

Reporter: Alfons Yoshio Hartanto
Penulis: Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Anggun P Situmorang

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |