tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerbitkan putusan soal norma Pasal 251 Kitab Undang Undang Hukum Dagang inkonstitusional bersyarat pada Jumat (3/1/2025) kemarin. MK menimbang norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat karena berpotensi menimbulkan tafsir beragam.
Menurut MK tafsir beragam tersebut terjadi jika dikaitkan dengan syarat batalnya perjanjian asuransi. Di mana batalnya perjanjian asuransi tersebut terdapat persoalan unsur yang disembunyikan tertanggung sekalipun dengan itikad baik. Ini dikarenakan Pasal 251 KUHD tidak secara tegas mengatur mekanisme syarat batal atau cara pembatalan dilakukan jika ada fakta yang disembunyikan dalam membuat perjanjian.
“Oleh karena itu, nampak dengan nyata tidak terdapatnya penegasan berkenaan dengan tata cara pembatalan akibat adanya hal-hal yang keliru atau disembunyikan dalam pemberitahuan oleh pihak tertanggung berkaitan dengan perjanjian yang dibuat oleh penanggung,” ucap Hakim MK, Ridwan Mansyur, saat pembacaan pertimbangan hukum mengutip salinan MK.
Sifat suatu perjanjian menurut MK seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian. Sementara, norma Pasal 251 KUHD hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung.
Karena itu, MK akhirnya memberikan penegasan dan pemaknaan terhadap norma ketentuan Pasal 251 KUHD. Karena sifat suatu perjanjian seharusnya memberikan posisi yang seimbang atas dasar prinsip-prinsip perjanjian, yang di antaranya syarat kebebasan berkontrak dan harus adanya kesepakatan para pihak, di samping prinsip-prinsip yang lainnya.
“Maka norma Pasal 251 KUHD yang seolah-olah hanya ditujukan untuk memberi peringatan kepada tertanggung saja, tanpa memberikan keseimbangan hak dari pihak tertanggung atas perjanjian yang dibuat bersama dengan pihak penanggung, sehingga telah menjadi kesepakatan adalah norma yang tidak memberikan pelindungan dan kepastian hukum yang adil khususnya bagi tertanggung,” jelas Ridwan.
Pasal 251 KUHD sebelumnya memang menjadi dasar bagi perusahaan asuransi dalam menjalankan bisnis karena didalamnya mengandung azas itikad baik atau admost good faight, di mana tertanggung dalam melakukan pertanggungan asuransi menyampaikan segala hal menyangkut pertanggungan secara jujur dan tidak ada yang ditutupi. Dengan demikian, penanggung dalam hal ini perusahaan asuransi akan secara fair mampu menilai risiko atas hal yang dipertanggungkan.
“Pasal 251 KUHD ini menjadi alat ukur jika nantinya dalam perjalanan pertanggungannya diketahui bahwa tertanggung menyembunyikan atau tidak mengungkapkan sesuatu kondisi dengan jujur,” ujar Pengamat asuransi, Dedy Kristianto, kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).
Dengan begitu, maka ketentuan Pasal 251 KUHP ini bisa dipakai untuk melakukan seleksi ulang kembali atas pertanggungan sebelumnya dan memberikan keputusan yang baru yang harus disetujui oleh tertanggung. Atau bahkan pembatalan pertanggungannya misalnya karena risiko yang ditemukan sudah terlalu besar dan sudah tidak bisa ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Sejalan dengan pembatalan pasal 251 KUHD tersebut, maka menurut Dedy, ada beberapa implikasinya bagi perusahaan asuransi. Pertama, perusahaan asuransi sudah tidak bisa lagi membatalkan klaim dan pertanggungan asuransi secara sepihak atas dasar ketidakjujuran atau penyembunyian informasi yang dilakukan oleh tertanggung pada saat pengisian surat permintaan asuransi. Pembatalan tersebut harus ada persetujuan dari kedua belah pihak baik tertanggung ataukah perusahaan asuransi atau adanya keputusan pengadilan terlebih dahulu.
Sementara dalam banyak kasus, kata Dedy, ketika pasal 251 KUHD masih diundangkan fraud ratio atau abusing pada industri asuransi di Indonesia ditaksir sekitar 13 persen - 15 persen per tahun. Dan jika kita berbicara fraud atau abusing ini, maka sama dengan berbicara mengenai uang asuransi yang sangat besar bisa mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah.
"Dengan tidak berlakunya lagi pasal 251 KUHP, maka ini bisa jadi merupakan angin segar bagi mereka-mereka yang sering bermain dan mencari keuntungan pada industri asuransi dengan melakukan fraud dan abusing klaim untuk memainkan strateginya mengeruk keuntungan yang lebih besar dari industri ini," kata Dedy.
Pedang Bermata Dua
Hanya saja, di tengah karut-marut pengelolaan sektor asuransi di Indonesia, Putusan MK Nomor 83/PUU-XXII/2024 di atas cukup sulit sebenarnya dinilai apakah ini akan menjadi katalis positif, atau sekadar tindakan memagari rumah yang sudah terlanjur kebobolan. MK melalui putusannya menetapkan norma baru dalam mekanisme pengajuan pembatalan polis asuransi. Putusan ini mengubah total status quo pembatalan polis yang selama ini diatur dalam Pasal 251 KUHD.
Pasal tersebut sebelumnya memberikan hak absolut pada perusahaan asuransi untuk melakukan pembatalan sepihak polis asuransi apabila dalam proses seleksi risiko (underwriting) polis ditemui suatu informasi yang tidak lengkap dari pihak tertanggung. Tapi celakanya, pembatalan ini dapat dilakukan tanpa harus terlebih dahulu memberikan kesempatan sanggah atau klarifikasi bagi pemegang polis.
"Pasal 251 KUHD bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, pasal ini melindungi perusahaan asuransi dari klaim yang tidak sah, namun di sisi lain, dinilai bisa dimanfaatkan untuk menolak klaim ahli waris yang seharusnya berhak,” ujar Pengamat Asuransi, Irvan Rahardjo, kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).
Maka, kata Irvan yang harus dilakukan perusahaan asuransi dari awal adalah menjelaskan secara rinci kepada nasabah konsekuensi bahwa klaim bisa ditolak. Bukan sengaja membiarkan nasabah baru menyadari setelah terjadi klaim.
Dari segi dampak putusan MK ini, menurut Irvan sangat luas bagi industri asuransi. Dari sisi industri, perusahaan asuransi dituntut lebih profesional dan hati-hati menerapkan asas itikad baik. Dengan putusan MK ini, maka pasal 251 KUHD sudah tidak mempunyai daya untuk menangkal tindakan tidak jujur dari nasabah asuransi dalam mengisi SPAJ/SPPA.
SPPA atau Surat Permohonan Penutupan Asuransi merupakan dokumen yang diajukan oleh tertanggung kepada penanggung asuransi untuk menutup pertanggungan sesuai dengan polis. Sedangkan SPAJ atau Surat Permintaan Asuransi Jiwa yang berisi data diri calon nasabah saat ingin mengajukan asuransi jiwa.
“Dengan putusan MK, perusahaan asuransi harus lebih memastikan akurasi data dan informasi sewaktu nasabah mengisi SPAJ. Tidak bisa lagi mengandalkan pada saat terjadi klaim ditemukan ketidak jujuran, baru menjadi masalah,” jelas dia.
Perusahaan asuransi pun, kata Irvan, sudah tidak memiliki daya menangkal tindakan tidak jujur dari nasabah. Perusahaan asuransi perlu melakukan upaya mitigasi yang harus dilakukan yakni melakukan asesmen secara menyeluruh dan detail terhadap riwayat risiko setiap nasabah. Perusahaan asuransi dalam melakukan penilaian tersebut juga diharapkan tidak mempercayakan begitu saja kepada pihak agen. Agen hanya berorientasi pada penjualan untuk meraih komisi, tidak berkepentingan pada tingkat risiko.
“Dengan tidak diperbolehkan membatalkan polis menggunakan pasal 251 KUHD, maka kerja underwriter menjadi lebih berat dalam arti harus meneliti benar informasi untuk menerima suatu risiko sebelum polis diterbitkan,” jelas Irvan.
Tapi setidaknya, bagi Dedy Kristianto, lewat putusan MK ini perusahaan asuransi harus memandang keputusan ini sebagai tantangan dan juga peluang untuk segera berbenah. Perusahaan asuransi juga harus segera menjalankan mitigasi risiko serta merubah proses atau prosedur yang mereka jalankan.
Keputusan MK ini bagi masyarakat, kata Dedy, bisa dimaknai bahwa dengan tidak adanya pasal 251 KUHP tersebut perusahaan asuransi harus mampu menjalankan fungsinya secara fair atau adil. Terutama dari sisi pembayaran klaim.
Namun, perlu juga diketahui sebagai edukasi bagi masyarakat bahwa tidak semua klaim itu dapat dibayarkan. Hal ini karena banyak juga ditemukan kasus-kasus fraud klaim dengan berbagai macam cara yang terkadang hingga di luar batas nalar kita dilakukan hanya untuk mendapatkan pembayaran klaim dan tentu kasus-kasus seperti itu tidak layak untuk dibayarkan.
Contohnya bisa kita lihat selama satu dekade masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di mana nasib pemegang polis asuransi Jiwasraya, Bumiputera, Wana Artha Life, Kresna Life, Bakrie Life, dan Bumi Asih Jaya masih belum jelas.
“Tentu ada harapan pemerintahan Prabowo bisa lebih menghormati hukum dan menghargai hak-hak para pemegang polis yang terikat perjanjian dengan perusahaan asuransi. Tidak membiarkan negara ingkar janji dan berutang kepada pemegang polis sekalipun telah menempuh jalur hukum,” timpal Irvan Rahardjo.
Respons Asosiasi dan OJK
Terlepas dari hal di atas, putusan MK tersebut rupanya disambut baik oleh asosiasi dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menganggap bahwa putusan tersebut sebagai bagian dari proses hukum yang berlaku di Indonesia.
“AAUI memahami implikasi penting dari putusan ini bagi industri asuransi dan pemegang polis khususnya untuk asuransi umum,” ujar Budi saat dikonfirmasi Tirto, Rabu (5/2/2025).
Setidaknya terdapat berbagai langkah yang disiapkan AAUI. Pertama, melakukan pengkajian mendalam atas isi dan implikasi putusan MK ini. Kedua, AAUI akan mengkaji ulang ketentuan dalam polis asuransi yang berlaku, memastikan bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan hukum dan semangat keadilan sebagaimana diamanatkan dalam putusan ini.
“Ini langkah perbaikan khususnya polis-polis standar dan nonstandar. Dan kita lagi review atau revisi polis-polis yang ada saat ini," jelas Budi.
Ketiga, AAUI akan segera melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai implikasi hukum dan operasional dari putusan tersebut. AAUI, menurut Budi, berharap keputusan MK membawa dampak positif bagi industri asuransi di Indonesia.
Dia percaya dengan implementasi yang tepat, putusan ini dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi atau perasuransian. Organisasi yang dipimpinnya berkomitmen bakal terus mendukung para anggotanya dalam beradaptasi dengan perubahan hukum. Serta memastikan industri asuransi tetap berkembang secara sehat, berintegritas, dan bermanfaat bagi semua pihak.
Sejalan dengan apa yang disampaikan asosiasi, OJK sebagai regulator juga selain menyambut baik tengah menyiapkan langkah taktis untuk dapat memperbaiki industri asuransi penyesuaian dengan keputusan MK tersebut. Beberapa hal yang akan dilakukan antara lain perbaikan ketentuan polis agar dapat mengakomodir kepentingan perusahaan asuransi dan pemegang polis dalam hal itikad baik ini.
Kedua perbaikan proses undewriting yang meliputi standarisasi proses dan komunikasi. Ketiga perbaikan proses klaim yang meliputi standarisasi proses, bahwa kalau memang di awal tidak dikenakan medical maka seharusnya tidak dapat ditolak jika ada temuan mengenai kondisi kesehatan nasabah. Selain daripada itu melakukan standarisasi dari sisi komunikasi.
“Tapi kita menyambut positif lah mengenai keputusan MK, karena itu keseimbangan antara konsumen, perusahaan asuransi dan juga masyarakat," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun, Ogi Prastomiyono.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang