Sambil Babat Mafia Tanah, ATR/BPN juga Perlu Reformasi Internal

2 weeks ago 4

tirto.id - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, punya rencana menyikat mafia tanah hingga jera. Untuk mewujudkannya, Nusron berencana menggandeng Kejaksaan Agung, Polri, serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Menteri Nusron punya jurus jitu yang digadang-gadang bakal membuat mafia tanah kapok: memiskinkan pelaku.

Agenda Menteri Nusron patut diapresiasi jika benar-benar dilaksanakan tanpa tebang pilih. Pasalnya, tak sedikit “orang pemerintah” sendiri yang main mata dengan mafia tanah untuk menggasak hak rakyat kecil. Rencana Nusron bakal cuma jadi sekadar jargon jika Kementerian ATR/BPN tidak melakukan bersih-bersih tubuhnya sendiri.

Direktorat Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra, menyebut rencana Menteri Nusron tentu patut dihargai. Namun, yang pertama kali perlu dilakukan Nusron adalah membersihkan internal BPN dari pegawai-pegawai yang justru menjadi kaki tangan mafia tanah.

Tak akan pernah rumah itu bersih apabila sapunya kotor dan sampah itu sudah melekat ke lantai,” kata Roni memberikan permisalan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (31/10/2024).

Kementerian ATR/BPN perlu membenahi birokrasi internal dengan melakukan pembukaan akses informasi dan data-data penuntasan kasus mafia tanah. Hal ini akan mendorong BPN yang berintegritas dan terpercaya. Selain itu, langkah ini akan mendorong partisipasi rakyat untuk sama-sama memberantas mafia tanah.

Menurut Roni, pemerintah perlu transparan membuka data pertanahan sambil menyelesaikan tumpang tindih lahan yang terjadi. Menurut catatan Yayasan Auriga, hingga saat ini masih ada sekitar 57 juta hektar lahan tumpang tindih. Maka, Menteri Nusron punya pekerjaan rumah melakukan penataan lahan, penertiban, dan penegakan hukum.

Menurut Roni, Menteri Nusron bisa mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk segera membahas RUU Perampasan Aset. Alasannya, beleiditu sangat ampuh jika benar-benar pemerintah berniat untuk memiskinkan dan membongkar mafia tanah.

Jika hanya dihadapkan dengan penggunaan UU TPPU, tentu butuh effortbesar dan biaya yang juga besar,” ucap Roni.

Tobat Agraria

Sementara itu, Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Fraksi PDIP, Deddy Yevri Sitorus, mengajak Kementerian ATR/BPN dan negara “bertobat” dalam masalah agraria. Pasalnya, masyarakat sampai saat ini masih sulit mendapat keadilan agraria.

Deddy menyinggung kehadiran kelompok usaha dan individu yang menguasai tanah dalam jumlah besar. Menurut dia, hal ini berbanding terbalik dengan kondisi rakyat yang kesulitan memiliki tanah.

Harus bertobat kita ini, tobat berjamaah. Karena apa? Rasa-rasanya di seluruh penjuru negeri ini keadilan agraria itu mustahil didapatkan,” ujar Deddy dalam rapat kerja Komisi II DPR bersama Menteri ATR/BPN di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu (30/10/2024).

Politikus PDIP ini mendorong Nusron sebagai Menteri ATR/BPN mampu menyusun strategi dalam mengatasi permasalahan agraria. Deddy juga berharap Nusron bisa mempersatukan semua insan agraria sebelum membangun integritas di internal kementerian.

Tidak pernah ceritanya rakyat dimenangkan, Pak. Kadang-kadang, malah rakyat disuruh berkorban. Gila apa ini negara,” ujar Deddy.

Manajer Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat dari Eksekutif Nasional WALHI, Ferry Widodo, menilai mafia tanah di Indonesia kerap bermula dari dalam institusi negara yang seharusnya justru melindungi hak atas tanah yang sah. Ferry menyebut hal ini sebagai bentuk korupsi yang telah membudaya dan melanda hampir semua ruang di Indonesia.

Ferry mencontohkan kasus di Lampung yang melibatkan 8 desa dan kasus di Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Temuan WALHI, kasus-kasus itu berdampak pada hilangnya hak petani atas tanahnya sendiri akibat ulah mafia tanah yang diduga melibatkan unsur internal Kementerian ATR/BPN.

Pembersihan tertinggi harusnya dilakukan terutama di internal ATR/BPN baik pada tingkat kabupaten, provinsi, atau pusat,” terang Ferry kepada reporter Tirto, Kamis.

Menurut Ferry, melakukan reformasi internal Kementerian ATR/BPN dan penegakan hukum secara tegas terhadap pihak yang terlibat mafia tanah adalah solusi sakti untuk memulihkan kepercayaan publik.

Pemerintah diminta memprioritaskan penyelesaian konflik agraria dari berbagai sektor. Pasalnya, konflik agraria di Indonesia bersifat kompleks dan berkepanjangan sebab sering terjadi konflik yang lama belum selesai tapi sudah lahir konflik baru.

Ferry menjelaskan bahwa konflik agraria di Indonesia ada bermacam-macam. Seperti kasus tumpang tindih penggunaan lahan sektor kehutanan dan perkebunan, konflik agraria konsesi pertambangan, hingga konflik agraria akibat adanya proyek strategis nasional (PSN) pemerintah.

Tumpukan pengaduan masyarakat yang belum terselesaikan di ATR/BPN menjadi bukti nyata bahwa masalah ini tidak dapat lagi diabaikan dan mungkin tidak cukup penyelesaian di ATR/BPN saja,” ujar Ferry.

Salah satu hambatan utama pemberantasan mafia tanah adalah ego sektoral di pemerintah. Pemahaman kerja sama lintas sektoral sebatas dipahami sebagai koordinasi semata. Namun, tidak ada langkah konkret menyelesaikan konflik agraria bersama-sama.

Ferry menegaskan bahwa penyelesaian konflik agraria tidak boleh dijalankan secara parsial dan lamban. WALHI menilai perlu tiga pendekatan yang komprehensif dan tegas: kecepatan proses penyelesaian, keberpihakan pada korban atau petani, serta penetapan batas waktu yang jelas untuk setiap kasus.

Dengan demikian, pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat yang terdampak konflik agraria,” tutur Ferry.

Merugikan Rakyat dan Negara

Peneliti Bidang Hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, memandang bahwa mafia tanah sangat merugikan pemerintah dan masyarakat kelas menengah bawah. Terlebih, kondisinya mengkhawatirkan sebab pelakunya sudah masuk ke level pemerintah dan penegak hukum sendiri. Menurutnya, solusi drastis memang perlu dilakukan pemerintah.

Pengusutan tuntas hingga pemidanaan mafia tanah menjadi faktor mendesak yang harus dilakukan. Namun, kata Intan, perlu reformasi kelembagaan dan birokrasi yang mengurusi sektor pertanahan di pemerintahan sendiri.

Perlu adanya transformasi untuk mengedepankan transparansi; mempermudah kelompok marginal, salah satunya masyarakat adat, untuk bisa mendaftarkan tanahnya,” ucap Intan kepada reporter Tirto, Kamis.

Pemerintah perlu mempermudah mekanisme pengaduan masyarakat. Terutama, dengan memangkas birokrasi yang tidak perlu. Birokrasi berbelit sering kali dapat dimanfaatkan sebagai celah melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Intan menilai bahwa pemerintah dan DPR harus melanjutkan pembahasan RUU tentang Sistem Penyelesaian Konflik Agraria yang sebelumnya masuk di dalam Prolegnas 2020-2024. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan pendekatan anyar berdasarkan kondisi lapangan.

Dan memberikan mekanisme baru yang mengedepankan hak properti semua pihak terlibat, berkeadilan, dan berdasarkan HAM,” ujar Intan.

Menurut Intan, wacana memiskinkan mafia tanah sebetulnya sudah amat sering digaungkan pejabat publik. Bahkan, frasa “memiskinkan” sudah sering dilontarkan dalam upaya pemberantasan kasus korupsi secara umum. Namun, aset yang nantinya akan diambil dan dikelola justru yang berpotensi melahirkan problematika baru.

Pemerintah perlu melakukan penelitian dan dialog dengan pakar dan masyarakat sipil untuk memberikan masukan keadaan aktual di lapangan dan telaah saintifik. Langkah ini menjadi dasar dilaksanakannya kebijakan agar tidak menjadi sekadar jargon.

Jangan sampai setelah aset diambil, ini malah jadi masalah korupsi baru di lembaga yang menerima aset karena belum diatur dengan matang,” tegas Intan.

Sementara itu, Kepala Departemen Kampanye dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benny Wijaya, menilai rencana Menteri Nusron patut diapresiasi sebab praktik mafia tanah menjadi penyebab tingginya angka konflik agraria dan ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia.

Namun, Benny mengingatkan agar jangan sampai rencana ini sebatas lip servicedan mengulang kebiasaan Kementerian ATR/BPN yang hanya menyasar kasus-kasus kecil atau sengketa individu.

Tidak pernah menyentuh akar sesungguhnya, yaitu pemain-pemain besar yang selama ini melakukan persekongkolan jahat dengan mengakali berbagai aturan dan kebijakan,” kata Benny kepada reporter Tirto, Kamis.

Rencana pemberantasan mafia tanah seharusnya berkorelasi dengan penuntasan program reforma agraria. Artinya, perlu diarahkan suatu operasi untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang menumpuk di Indonesia.

Tingginya laju perampasan tanah, penggusuran, dan konflik agraria adalah indikasi tingginya praktik mafia tanah. Salah satunya, jelas Benny, disebabkan penerbitan izin HGU dan HGB sepihak di atas tanah yang jadi pemukiman masyarakat.

Proses dan mekanisme penerbitan konsesi yang tidak transparan dan tidak partisipatif ini menjadi pemicu klasik lahirnya konflik agraria.

Selama ini, KPA memandang kerja pemberantasan mafia tanah oleh pemerintah baru menyasar sengketa pertanahan antarindividu. Padahal, yang lebih mendesak adalah konflik agraria struktural yang banyak melibatkan pemain-pemain besar.

Kementerian ATR/BPN disebut lebih sering menangani kasus maladministrasi pertanahan yang dilabeli sebagai kerja memberantas mafia tanah. Padahal, kata Benny, mafia adalah sindikasi tingkat tinggi yang bisa saja melibatkan pejabat-pejabat menengah ke atas sebagai beking mafia pertanahan.

Kementerian ATR/BPN harus berani mengarahkan lampu sorot pemberantasan mafia tanah kepada pemain-pemain besar yang selama ini telah menyebabkan konflik agraria akibat persekutuan dan persengkokolannya,” ujar Benny.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Nusron Wahid mengatakan bahwa pemerintah akan menginisiasi proses pemiskinan terhadap mafia tanah untuk memberikan efek jera. Nusron merasa tak puas jika mafia tanah nantinya hanya dikenakan delik pidana hukum. Menurutnya, harus diimbangi dengan delik tindak pidana pencucian uang.

Supaya persoalan mafia tanah ini benar-benar tidak ada di Indonesia. Karena, itu menyangkut kepastian hukum dan mempermainkan orang-orang kecil yang itu mempunyai hak yang diserobot,” kata Nusron saat rapat kerja dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, Rabu (30/10/2024).

Nusron sendiri mengakui masih ada “orang dalam” pemerintah yang terlibat dalam praktik mafia tanah. Nusron berharap, pemerintah ke depan lebih menaruh keberpihakan kepada masyarakat kecil.

Mafia tanah, menurut Nusron, melibatkan sejumlah pihak pendukung seperti kepala desa, pengacara, PPAT, notaris, Permata (Persatuan Makelar Tanah), hingga Bimantara (Bisnis Makelar dan Perantara).

Yang pertama, mohon maaf, mungkin melibatkan oknum orang dalam. Yang nomor dua adalah pemborong tanah berkepentingan. Yang nomor tiga pasti adalah pihak ketiga yang menjadi pendukung,” ujar Nusron.


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |