Seabad Silam, Tan Malaka Melahirkan Naar de Republiek Indonesia

9 hours ago 8

tirto.id - “Jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka,” begitu Sukarno menulis testamen pada hari-hari genting menjelang datangnya Sekutu. Wasiat itu jelas memantik polemik di antara orang-orang terdekatnya, termasuk Dipa Nusantara Aidit

Masih seturut buku Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), D. N. Aidit dikabarkan memburu kebenaran testamen Sukarno itu. Ia sukar percaya, bagaimana mungkin orang yang dia penjarakan sendiri selama dua tahun, tanpa proses pengadilan, beroleh wasiat demikian istimewa?

Padahal, Aidit bersama PKI adalah salah satu rekanan kuat yang menyokong tabiat politik Sukarno. Harusnya namanya yang tertulis dalam testamen itu, pikirnya.

Terkait testamen, Sukarno tak sedang mementaskan teatrikal sulap. Ia juga tak sedang bersandiwara atau berbasa-basi. Akan tetapi, yang jelas, gelagatnya memang amat sulit ditebak.

Kabar mutakhir menyatakan, belum lama setelah testamen itu ditulis, Sukarno segera membakarnya. Ia khawatir tafsiran-tafsiran atas mandatarisnya membuat gonjang-ganjing republik.

Mengilhami Gagasan Republik

Riwayat hidup Tan Malaka senantiasa terselubungi kabut misteri. Bahkan, hari lahirnya saja memiliki ragam tafsir. Lebih-lebih kematiannya.

Djamaludin Tamin, dalam Kematian Tan Malaka (1965), dan Helen Jarvis, melalui artikel “Tan Malaka: Revolutionary or Renegade?” (1987), menyebut Tan lahir sekitar tahun 1896. Di sisi lain, Harry Albert Poeze, sejarawan yang menggali napak tilas Tan sejak 1972, menyatakan bahwa sang tokoh lahir pada 2 Juni 1897. Adapun Wasid Suwarto, lewat tulisannya berjudul Mewarisi Gagasan Tan Malaka (2006), menafsirkan lain, yakni 14 Oktober 1897.

Nama aktivis cum intelektual itu memang selalu kedengaran sayup. Nyalanya lebih redup dibanding negarawan sohor lainnya.

Terlepas dari kehidupan pribadinya yang misterius, jejak intelektual Tan Malaka tak bisa dianggap sebelah mata. Bisa dibilang, ia merupakan penggagas mula konsep Republik Indonesia. Buku berjudul Naar de Republiek Indonesia 'Menuju Republik Indonesia', yang ditulisnya pada 1925, melampaui dwi-tunggal Sukarno-Hatta.

Hatta menulis Indonesia Vrije 'Indonesia Merdeka' sebagai pleidoi di muka pengadilan Den Haag pada 1928. Sementara itu, Sukarno baru rampung menulis gagasan "Menuju Indonesia Merdeka" pada 1933.

Tak ayal bilamana Hatta dan Sukarno disebut-sebut terinspirasi oleh ide dan intuisi kemerdekaan Tan. Dialah yang mengilhami, sekalipun bukan atau tak pernah sempat membidani persalinan republik.

Kendati dicap sebagai “konsep pertama” yang mengemukakan ontologi kemerdekaan, Naar de Republiek Indonesia tak pernah luput dari kejaran politik.

Mulanya, Tan menguraikan gagasan tersebut menggunakan Bahasa Belanda pada 1924. Akan tetapi, ia baru bisa menuntaskannya pada April 1925. Hebatnya, ia menulis ide itu selama masa pengasingan di Kanton, Tiongkok.

Di catatan “INTERUPSI”, Tan menggarisbawahi bahwa buku tersebut tak luput dari kesalahan-kesalahan redaksional. Harap maklum, para penyuntingnya ialah redaktur Tionghoa yang asing dengan Bahasa Belanda.

Selain itu, rujukan sumber Tan sungguh terbatas. Ia mengaku terisolasi dari warta-warta dunia, walau sebetulnya sukar dibendung. Selama tiga tahun di pengasingan, ia tak pernah lagi mendapat informasi dari surat kabar Hindia Belanda, bahkan Asia.

Tanpa bantuan kawan-kawan Tionghoa—salah satunya Gubernur Jenderal Dirk Fock—sebagai kanon perlawanan, buku itu mungkin tak pernah terdorong keluar hingga ke penerbitan. Dari sini dapat terbayang betapa besarnya pengaruh pengalaman pahit penjajahan memengaruhi jalan pikiran Tan.

TAN MALAKATan Malaka. Foto/istimewa

Di satu sisi, cukup sulit membayangkan bahwa selama dua dekade awal abad ke-20, Indonesia telah memiliki pemikir dengan gagasan secemerlang Tan. Lebih-lebih intelektual yang hidup berkelindan dengan kolonialisme dan peperangan.

Lumrahnya, akses seseorang terhadap ekonomi, pendidikan, dan politik, di wilayah jajahan, akan sengaja dibuat “terhambat” oleh imperialis. Namun, Tan mampu melampaui anggapan demikian.

Di dalam bukunya, Tan masih cukup rapi menulis detail-detail kejadian selama “masa damai” Perang Dunia I, yang berakhir pada 11 November 1918. Tan selalu skeptis dengan romantisisme kedamaian politik dunia.

Ia tak percaya negara adidaya macam Prancis, Inggris, dan AS, mengalami masa paceklik finansial. Para kapitalis dunia selalu menyiapkan muslihat untuk memuluskan ekskavasi modal. Bahkan, tinjauannya berlaku pula untuk negara yang kalah perang, seperti Jerman dan Jepang.

Karena perang, kapitalis dunia mengharuskan praktik imperialisme alias penjajahan. Kenyataan inilah yang tidak boleh dibiarkan oleh proletariat dunia, sebagaimana Tan mengklaim berdiri di sana (hlm. 10-11).

Tan menganalogikan, situasi kapitalisme di dunia bak satu gedung, yang ditopang oleh tiang-tiang. Jika diibaratkan, Indonesia merupakan salah satu dari tiang tersebut. Lewat imperialisme Belanda, sokongan tersebut berwujud politik "tongkat karet dan pistol".

Dalam politik, terdapat metafora “wortel dan tongkat” yang mengacu pada realitas kekuasaan “lunak dan keras”. Tongkat mewakili karakter keras. Itu bisa berupa praktik politik yang mengharuskan pistol menodong di atas kepala.

Sebagaimana surat Winston Churchill pada 6 Juli 1938 menjelaskan bahwa lewat politik “wortel dan tongkat”, Nazi Jerman dapat memaksa keledai Austria yang kurus untuk menarik gerobak ke atas bukit curam. Dalam hal ini, Austria mewakili penggambaran wortel atau tongkat karet, yang lemah dan tak berdaya.

Tan tak menghendaki Indonesia bernasib sama, meskipun imperialisme tak bisa ujug-ujug dicegah dengan sembrono tanpa taktik matang.

Melahirkan Gagasan Radikal

Boleh dibilang, Naar de RepubliekIndonesia berusaha menyongsong gerakan rakyat Indonesia agar beranjak dan memukul balik imperialisme. Dalam kasus ini, komunisme dipilih sebagai jalan keluar olehnya. Selaras dengan perkataan Karl Marx, “Proletariat tak akan kehilangan sesuatu miliknya, kecuali belenggu budaknya.” (hlm. 17)

Lewat gagasan-gagasan komunisme, Tan mencanangkan program-program PKI, sesuai tujuan utama idealismenya: menggantikan sistem kapitalisme dengan komunisme.

Pemikiran Tan yang menarik ialah peleburan kasta dalam struktur politik yang ia dambakan. Ia tak ingin lagi melihat kelas-kelas ekonomi yang tampak kontras: borjuis dan proletar. Demi menyukseskannya, ia meyakini, perlu adanya penghapusan kasta. Baginya, sudah semestinya dua kelas ini dapat melebur untuk berjuang bersama merebut kemerdekaan.

Kelak, gagasan “abstrak” ini akan diperkaya oleh Aidit dalam pidatonya memperingati HUT ke-35 PKI tanggal 23 Mei 1955 di Jakarta. Jelasnya, dalam Lahirnja PKI dan Perkembangannja (1955), PKI memerlukan terobosan tingkat lanjut demi gerakan revolusi. Hal itu penting agar mereka tak pernah terbuai oleh kontes teoretisasi ideologi belaka.

Pelepasan diri dari kungkungan Belanda dan penghancuran imperialisme membutuhkan dukungan reaksioner dari pemerintah serta kaum borjuis. Likuidasi, atau yang oleh Tan disebut “nasionalisasi", aset para buruh dan petani kaya, dapat mendukung persatuan nasional.

Jelas ini adalah upaya Tan sekaligus Aidit mengkritik pembabakan sistem kelas kapitalis ala Marx: borjuis dan proletar. Jika imperialisme membutuhkan tipu daya dan kongkalikong untuk menghidupi gerakan, komunisme perlu meretas pertahanan mereka dengan membentuk semangat Internasionale.

Namun, kiranya konsep Internasionale ala Tan Malaka dan Aidit, juga para pendahulunya seperti Alimin dan Musso, mesti dimaknai berlainan.

Tan MalakaTan Malaka (kiri) Pembela kemerdekaan Indonesia yang berpihak pada golongan sayap kiri

Tan dengan terang menulis, belum ada sama sekali partai politik di Indonesia yang mampu dengan visioner mengejawantahkan program-program revolusionernya (hlm. 25), baik partai para intelektual macam Budi Utomo, Nasional Indische Partij, Sarekat Islam, maupun PKI.

Bagi Tan, program-program mereka masih stagnan, atau justru menuju dekaden. Belum ada cita-cita Internasionale III yang mewujud dalam semangat revolusi mandiri. Suatu program bukanlah “daftar keinginan” omong kosong, melainkan didasarkan pada realisme rasional suatu negeri.

Tan tak mau revolusi dan kemerdekaan republiknya bersandar pada imperialisme. Ia tak mau menunggu atau berkiblat pada konsep republik ala Uni Soviet dan/atau Prancis. Kemerdekaan bisa diproklamasikan tanpa perlu perundingan.

“Tuan rumah takkan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya,” tulis Tan Malaka dalam Gerpolek: Gerilya-Politik-Ekonomi (1948). Kata-kata itu sangat mencirikan pegangan idealisme Tan. Ia pun menolak bulat-bulat perundingan yang dilakukan oleh Sutan Sjahrir dengan Belanda.

Namun, perlu digarisbawahi, pada periode itu, konflik antara Tan dan PKI belum memanas. Ia masih mendambakan partai komunisme terbesar di Asia Tenggara tersebut dapat mengawal kemerdekaan republik. Namun, pada akhirnya, ia memilih jalur politik sendiri dengan mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 1948.

Setidak-tidaknya, terdapat tiga “pukulan strategi” yang disiapkan Tan Malaka guna melancarkan program dan gagasan kemerdekaan. Pertama, PKI mesti memiliki disiplin baja. Semua anggota, seksi, dan organisator, harus melangsungkan mandat politik dengan jujur dan giat. Kedua, rakyat Indonesia harus berada di bawah kepemimpinan PKI. Ketiga, musuh utama negara, yakni para imperialis, baik di dalam maupun luar negeri, harus terpecah belah. Sebab itulah Tan mewacanakan adanya inisiatif ofensif yang harus dilancarkan terlebih dahulu, sebelum musuh mengendus gerak-gerik revolusi (hlm. 38-39).

Dengan lantang, Tan menegaskan, “Sekarang dan bukan nanti!”. Jika tidak, akan tiba masa ketika rakyat bergumam sambil meratap, “Kita dulu telah membiarkan kesempatan itu berlalu.” (hlm. 47)

Merancang Republik, di Balik Layar

Salah satu gagasan republik ala Tan yang tak kalah penting ialah pembentukan Majelis Permusyawaratan Nasional Indonesia. Itu sedikit mirip dengan Trias Politica Montesquieu, tetapi dengan implementasi yang lebih sederhana.

Tan tidak menolak atau menyanggah falsafah Trias Politica. Ia hanya berupaya menjelaskannya dengan lebih sederhana, sesuai realitas yang ia temui di medan laga.

Majelis Permusyawaratan Nasional Indonesia harus kokoh sebagai badan independen yang memegang kekuasaan sendiri, tanpa campur baur imperialisme, baik dengan persetujuan maupun penolakan. Tapi, yang terpenting adalah pemerintah Indonesia yang baru dapat “menundukkan” para imperialis. Dengan kata lain, jika mereka masih ingin tinggal di Indonesia, mereka harus mau bekerja dan patuh di bawah rezim Indonesia baru (hlm. 51).

Ketika membaca kalimat penutup Tan dalam Naar de Republiek Indonesia, “Kemerdekaan, kebudayaan, dan kebahagiaan bagi semua rakyat di dunia.”, terlintas macam-macam kegelisahan dan pertanyaan. Khususnya, apabila melihat penutup itu dalam kacamata republik pasca-kemerdekaan, di mana relevansinya?

Agaknya, pandangan Tan dalam bukunya yang lain dapat menjawab kegelisahan ini.

Beberapa tahun setelah Tan menghimpun gagasan revolusi dalam Naar de Republiek Indonesia, Sukarno dan Anwari memboyong serta mencoret-coret hal penting dari bukunya yang lain, Massa Actie (1926). Kisah ini sempat dikenang oleh pengikut radikal Tan, Sayuti Melik.

Tak hanya itu, komponis W. R. Supratman pun tak mau ketinggalan rombongan. Ia merasa harus menyisipkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” ke salah satu bait lagu nasional gubahannya, sebuah pernyataan yang juga termuat dalam bab “Khayal Seorang Revolusioner”.

Nahas, Sang Patron Republik tak bernasib sebaik orator di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Bahkan lebih sporadis, masa hidup Tan Malaka boleh dikata teramat tragis ketimbang sorak-sorai 200 ribu pasang mata di Lapangan Ikada.

Oleh Harry Albert Poeze dalam Tan Malaka: Strijder voor Indonesië’s Vrijheid Levensloop van 1897 tot 1945 (1976), Tan Malaka disebut selalu berada “di balik layar”. Ia tak bersembunyi, melainkan memainkan peran senyap yang tajam menikam lawan.

Tan adalah sosok mahaguru cum nasionalis kiri. Tetapi, realitas politik memaksanya jadi buronan abadi.

Tan begitu mencintai politik. Namun, rasa-rasanya, dia serupa sosok martir yang keasyikan bercinta. Pengorbanannya begitu luar biasa. Tak peduli berulang kali sejarahnya dikaburkan, diburu, atau dipaksa menyodorkan nyawa, ia tak pernah berpaling dari pujaan hatinya.

Sejak 1924 sampai ajal menjemput, Tan harus membagi fokusnya sebagai intelektual dan buronan Belanda, bahkan tentara Indonesia.

Tan hampir tak punya obsesi menjadi seorang pemimpin politik. Ia lebih memilih memotori pergerakan kaum muda. Berkat dia juga partai binaannya, Murba, lahirlah organisator muda macam Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik, dan Maruto Nitimihardjo.


tirto.id - News

Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Fadli Nasrudin

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |