Senjakala Petani: Lahan Tergilas, Dukungan Pemerintah Tak Jelas

3 hours ago 2

tirto.id - Kebijakan swasembada pangan kembali digenjot dengan target capaian tiga tahun. Namun, langkah yang diambil tak jauh-jauh dari pembukaan lumbung pangan atau food estate. Cetak sawah juga direncanakan akan dilakukan seluas 3 juta hektare di luar Jawa. Fokusnya pada pada tanaman padi, jagung, singkong, kedelai, hingga tebu.

Presiden Prabowo juga berencana memodernisasi pertanian yang mencakup percepatan pembangunan infrastruktur pertanian, pemanfaatan teknologi pangan terpadu, mekanisasi, dan inovasi digital. Kebijakan lain seperti penyediaan input pertanian untuk mendapatkan pupuk, benih unggul, dan pestisida.

Namun, kondisi lapangan tak seideal seperti yang diinginkan pemerintah. Keadaan perekonomian petani yang semakin memburuk dan menyempitnya lahan pertanian di Indonesia seakan mencerminkan program pemerintah dalam satu dekade terakhir tidak banyak mengubah kondisi para petani.

Padahal, Indonesia berupaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 untuk mencapai kondisi yang mampu membangun sistem produksi pangan berkelanjutan dan menerapkan praktik pertanian tangguh serta meningkatkan produktivitas. Terlebih, target untuk mencapai ekosistem pertanian yang mampu menghadapi perubahan iklim dan cuaca ekstrem.

Anak Muda Enggan Bertani

Pada 2013 silam, sektor pertanian tercatat menyerap 39,22 juta tenaga kerja atau setara 34,78 persen terhadap total penyerapan tenaga kerja nasional, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). Angka itu terjun bebas menjadi 38,7 juta tenaga kerja sektor pertanian atau 28,61 persen saja pada 2022. Ini menunjukkan minat pekerjaan sektor pertanian tengah mengalami kondisi yang mengkhawatirkan.

Hasil Sensus Pertanian 2023 merekam, jumlah usaha pertanian perorangan (UTP) turun sebesar 7,47 persen sepanjang 2013-2023. Dari 31,71 juta unit menjadi 29,34 juta unit. Utamanya dalam subsektor jasa pertanian (66,28 persen), perkebunan (14,82 persen), dan tanaman pangan (12,28 persen). Menggambarkan jumlah petani yang terus berkurang dalam jumlah masif.

Dalam 10 tahun, jumlah unit usaha pertanian turun sebanyak 2,35 juta unit, dari 31,72 juta unit usaha pertanian pada 2013, menjadi 29,37 juta unit usaha pertanian pada 2023.

Tidak hanya menyusut secara jumlah, masalah regenerasi juga terpotret dari Sensus Pertanian 2023. Proporsi petani berusia di atas 54 tahun menunjukkan peningkatan, sementara petani berusia di bawah 45 tahun menunjukkan tren penurunan dibanding sensus 10 tahun lalu.

Di lapangan, fenomena tersebut juga menjadi keluhan Bernadete Deram (55), petani bahan pangan lokal di Flores Timur.

Kakak Dete, panggilan Bernadete, menyebut para anak muda yang coba dia bimbing masih minim inisiatif. “Itu tantangan terbesarnya. Jadi kakak sedang membuka namanya Sekolah Lapang. Di situ ada beberapa murid (petani muda). Tapi itu mereka kesusahan, karena belum terbiasa (di lahan pertanian), padahal teorinya mereka sudah bagus, pintar,” ceritanya kepada Tirto, Rabu (5/2/2025).

Kak Dete menilai, anak-anak bimbingannya saat ini masih minim minat terhadap sektor pertanian. Hal ini tergambar dari pasifnya mereka dalam mengolah lahan yang sebenarnya potensial. Padahal, menurutnya, di sekitar wilayah Lembata, Flores Timur, terdapat lahan dengan topografi yang bagus untuk bercocok tanam, hanya saja tak banyak orang yang mau mengelolanya.

Hal yang sama diungkapkan Muhammad Bayu Hermawan (26), petani muda yang merambah ke bisnis olahan Sorgum sejak tahun 2015, lewat produk di bawah merek ‘Tambiyaku’. Ia menyebut terdapat permasalahan menyeluruh terkait dengan anak muda yang ingin masuk sektor pertanian.

"Di lapangan sendiri kendalanya anak-anak muda yang bertani, kita tuh gak punya ekosistem sebenarnya. Ekosistem dalam artian, jika ingin menjadi petani, dia harus tau kan benih dan peralatannya beli di mana, sewa lahan bagimana, dan sebagainya," cerita Bayu kepada Tirto, Selasa (4/2/2025).

Menurutnya, minimnya informasi dan besarnya modal ini jadi awal mula sulitnya anak muda untuk memulai menjadi petani.

Secara khusus, terkait lahan, Bayu juga menyebut akan sulit bagi anak muda untuk memiliki lahan. Namun, menurutnya, sebenarnya ada potensi besar dari lahan-lahan milik pemerintah daerah yang 'nganggur'. Jika ada skema sewa atau bagi hasil yang terjangkau, tentu hal ini bisa menjadi peluang bagi anak muda untuk terjun ke sektor pertanian.

"Menurut saya masih banyak sih lahan-lahan BUMN, Perhutani, yang bisa digarap sama anak muda," ujar dia.

Lahan Jadi Problem Besar

Seperti yang dikeluhkan petani yang mencoba menarik minat anak muda ke sektor pertanian, senjakala petani Indonesia semakin dipertebal dengan hilangnya lahan-lahan yang menjadi tempat mereka menggantungkan hidup. Bahkan, diperkirakan lahan pertanian pada daerah urban atau perkotaan menuju kepunahan.

Statistik Pertanian 2023 keluaran Kementerian Pertanian merekam data soal luas lahan pertanian antara tahun 2015-2019. Berdasar data tersebut, luas total lahan pertanian di Indonesia pada tahun 2019 ada sekitar 36,82 juta hektare. Nilainya turun dibanding tahun 2015 yang mencapai 37,49 juta ha. Meski trennya konstan antara 2015-2019, namun lahan pertanian mengalami penurunan dalam periode tersebut.

Data statistik tersebut juga termasuk lahan yang sementara tidak diusahakan. Besarnya sendiri selalu mencapai 10 juta hektare, menunjukkan besarnya potensi lahan yang bisa digarap.

Senada, temuan Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) teranyar menunjukkan dalam 10 tahun terakhir, lahan sawah di Jawa – terutama di kawasan aglomerasi Jakarta – mengalami ancaman serius akibat urbanisasi yang tidak terkendali. Sepanjang 2013-2019, luas lahan baku sawah (LBS) nasional secara resmi berkurang 287 ribu hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019.

Sementara itu, LBS kawasan aglomerasi Jakarta (Jabodetabek, plus Cianjur, Karawang dan Serang) pada 2019 diketahui sekitar 374.582 hektare. Seluruhnya hampir terkonsentrasi di 6 kabupaten: Karawang (27,2 persen), Cianjur (18,0 persen), Bekasi (15,4 persen), Serang (13,2 persen), Bogor (12,3 persen) dan Tangerang (10,5 persen).

IDEAS menemukan pada 2024, luas lahan sawah kawasan aglomerasi Jakarta jadi tersisa 296.871 hektare. Dengan kata lain, antara 2019 – 2024 setidaknya 77.711 hektare sawah telah hilang di Jabodetabek Raya. Alias setara dengan tingkat konversi lahan sawah 4,54 persen per tahun. Dari 77.711 hektare lahan sawah yang diestimasi telah hilang sepanjang 2019 – 2024 di kawasan aglomerasi Jakarta, nyaris seluruhnya terjadi di 6 kabupaten sentra sawah.

Hasil ini didapatkan dengan metode digitasi tutupan lahan berbasis citra satelit dari Google Earth yang memiliki resolusi spasial tinggi. IDEAS melakukan proses interpretasi dan digitasi data citra satelit olahan secara on-screen untuk menghasilkan peta tutupan lahan (sawah).

Hilangnya 77.711 hektare lahan sawah di kawasan aglomerasi Jakarta membuat pangsa luas sawah terhadap luas wilayah kawasan aglomerasi menurun tajam dari 26,3 persen pada 2019 menjadi hanya 20,8 persen pada 2024. Penurunan intensitas luas sawah paling tajam terjadi di Bekasi, dari 46 persen pada 2019 menjadi 29,2 persen pada 2024.

Hanya dalam waktu lima tahun (2019-2024) Bekasi telah kehilangan 21.027 hektare sawah, setara dengan tingkat konversi lahan sawah 8,70 persen per tahun. Diikuti hilangnya lahan sawah di Cianjur (13.809 hektare), Bogor (12.956 hektare), Karawang (8.823 hektare), Serang (8.571 hektare) serta Tangerang (6.824 hektare).

Peneliti IDEAS, Sri Mulyani, dalam keterangan resmi yang diterima wartawan Tirto, Selasa, 3 Januari 2025, menyatakan kebijakan pemerintah yang menetapkan Jabodetabek-Punjur sebagai kawasan strategis nasional, justru diikuti oleh sejumlah proyek infrastruktur berskala besar. Langkah tersebut mempercepat urbanisasi dan memperluas konversi lahan sawah menjadi nonsawah.

IDEAS memperkirakan jika pemerintah tidak mengambil langkah signifikan untuk melindungi sawah yang tersisa, maka akan terjadi kepunahan sawah wilayah aglomerasi Jakarta dalam beberapa dekade ke depan. Dampaknya, bukan hanya keberadaan profesi petani semakin terancam, namun juga angan pemerintah yang hendak menuju ketahanan pangan, semakin menjauh.

Jika tidak ada kebijakan tegas pemerintah melindungi lahan sawah, maka dalam beberapa dekade ke depan, kawasan yang dahulu menjadi lumbung pangan di sekitar Jakarta akan kehilangan fungsi pertaniannya. Produksi padi juga akan mengalami pelemahan apabila tak ada ketegasan dalam menjaga lahan-lahan sawah.

“Laju pertumbuhan kota yang pesat, kebutuhan akan perumahan, industri, dan infrastruktur telah menyebabkan alih fungsi lahan yang semakin tak terkendali. Di koridor timur, selatan, dan barat Jakarta, lahan sawah semakin tergerus, mengancam ketahanan pangan dan masa depan pertanian di kawasan ini,” kata Sri Mulyani.

Sayangnya, intervensi pemerintah lewat kebijakan dan program di sektor pertanian agaknya belum dirasakan dampaknya begitu signifikan oleh petani. Dalam hasil Survei Persepsi Petani 2024 yang dilakukan LaporIklim dan organisasi non-pemerintah lain, menunjukkan 32,6 persen responden petani tidak setuju bahwa mereka memperoleh akses terhadap lahan yang lebih baik selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024). Survei melibatkan 304 petani dari 24 provinsi di Indonesia.

Terlebih, sebanyak 14,5 persen petani sangat tidak setuju ketika ditanya terkait kemudahan memperoleh lahan dari pemerintah. Apabila digabungkan dengan kondisi sama saja/tidak ada perubahan sama sekali, maka persentasenya menjadi sebesar 65,4 persen. Hanya ada 34,5 responden petani yang merasa setuju (23 persen) dan sangat setuju (11,5 persen).

Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih menyatakan fakta di lapangannya pun anak muda tidak punya minat terhadap pertanian, karena kesulitan akses tanah ini. "Jadi program pemerintah untuk reforma agraria, untuk mendistribusikan tanah kepada petani yang lahannya sempit itu belum terjadi," terangnya kepada Tirto (4/2/2025).

Tak heran, data Sensus Pertanian 2023 menunjukkan kenaikan jumlah petani gurem sebesar 2,64 juta orang dibanding tahun 2013. Kenaikan ini setara dengan 18,54 persen. Jumlahnya menjadi 16,89 juta dibanding 14,25 juta pada Sensus Pertanian 2013.

Rumah tangga usaha petani gurem didefinisikan BPS sebagai rumah tangga yang menggunakan/menguasai lahan (pertanian dan tempat tinggal) kurang dari 0,50 ha. Hal ini bisa juga menjadi indikasi semakin berkurangnya lahan pertanian

Proporsi petani gurem juga naik. Persentase Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) gurem terhadap total RTUP pengguna lahan di Indonesia meningkat dari 55,33 persen pada 2013 menjadi 60,84 persen pada 2023.

Henry juga memberi tanggapan terhadap banyaknya petani gurem. Menurutnya, pemerintah seharusnya mencegah kompresi lahan dari pertanian padi ke non-padi. "Termasuk kayak sekarang yang masif di Banten itu kan, di mana perusahaan real estate diberikan wewenang untuk membeli dengan murah, dengan paksa tanah-tanah petani," ujarnya.

Ia mengusulkan tanah yang dikuasai perusahaan besar untuk perkebunan ataupun kehutanan bisa dibagikan kepada petani. Hal ini dapat menjadi skema reformasi agraria. "Banyak tanah yang ditanam, tanaman perkebunan kelapa sawit itu sebenarnya bisa untuk tanaman pangan, seperti padi," tambahnya.

Kesejahteraan Petani Masih Jadi Tanda Tanya

Pemerintah juga dinilai belum mampu menelurkan solusi juga untuk akses permodalan dan bantuan untuk bertani.

Survei Persepsi Petani 2024 dari LaporIklim menunjukkan, 30,6 persen petani tidak setuju dan 13,2 persen sangat tidak setuju apabila diklaim akses permodalan bertani telah membaik. Mereka mengatakan akses modal dari pemerintah, bank, atau lembaga keuangan masih sulit. Sementara petani yang merasa tidak ada perubahan sama sekali selama 10 tahun terakhir mencapai 14,1 persen. Adapun petani yang merasa dapat akses modal memadai sebanyak 42,1 persen.

Meski persentase petani yang menganggap akses permodalan bertani meningkat, nyatanya persentase petani yang kesulitan modal masih cukup besar. Bisa jadi realitas di lapangan, banyak petani yang tidak memiliki akses memadai. Akibatnya petani melakukan pinjaman ke rentenir atau pengijon terus terjadi hingga hari ini.

Petani meminjam untuk modal tanam musim berikutnya sebab hasil panen yang tidak memadai. Besarnya pinjaman petani tidak hanya menempatkan mereka pada jerat utang, namun juga menyebabkan persoalan sosial seperti perpecahan keluarga, perceraian, hingga bunuh diri.

Heni Sri Sundani (37), misalnya, masih terkenang betul keterkejutannya ketika mendengar kabar bahwa seorang petani di dekat tempatnya tinggal, tewas gantung diri. Saat itu, perempuan tersebut masih tinggal di Ciamis, Jawa Barat, kampung halamannya. Heni, yang juga merupakan sesama petani, ikut teriris hatinya saat tragedi itu sampai di telinganya. Kini, setelah bertahun-tahun silam kejadian tersebut, ia masih ingat dengan jelas peristiwa itu.

Semua berakar dari satu persoalan dalam kehidupan seorang petani: ekonomi yang rendah. Heni menyatakan bahwa kondisi kesejahteraan petani masih tak jauh berbeda saban tahun. Hal ini diperparah dengan keberpihakan dari pemangku kebijakan yang tak jelas arahnya.

“Gara-gara terjerat hutang ke tengkulak. Terus di sisi lain, panennya gagal terus gitu. Ketika panen berhasil, panennya bagus, harganya malah anjlok,” kenang Heni mengingat peristiwa memilukan itu, saat berbincang bersama wartawan Tirto lewat telepon, Rabu (5/2/2025).

Heni akhirnya sadar bahwa bersandar kepada bantuan pemerintah tidak akan membantu mengubah nasib petani di daerahnya. Maka Heni membentuk yayasan dan organisasi yang punya misi memberdayakan dan membantu perekonomian keluarga petani: Empowering Indonesia Foundation. Didirikan pada 2017 silam, cikal bakal yayasan itu sebetulnya sudah lahir sejak 2011 ketika Heni membentuk Gerakan Anak Petani Cerdas.

Sejak 2016, Heni pindah ke Cimande, Kabupaten Bogor. Di sini, Heni membantu para petani lansia yang masih produktif dan ingin memiliki penghasilan. Ia turut memberdayakan para pemuda dari keluarga petani bekerja menggarap sawah, perkebunan, hingga peternakan.

Di Cimande, Kabupaten Bogor, Heni menghibahkan seluruh 2 hektaree lahan perkebunannya untuk gerakan pemberdayaan keluarga petani. Di Ciamis, Jawa Barat, ada sekitar 5 hektaree sawah dan kebun yang digunakan untuk program pemberdayaan. Jumlah luasan sawah dan kebun itu dinilai Heni sangat terbatas, namun buktinya bisa bermanfaat banyak untuk petani yang tidak punya lahan.

Menurutnya, permasalahan utama yang dihadapi petani adalah minimnya lahan. Di Cimande saja, lahan-lahan pertanian sudah berubah menjadi perumahan, villa, ruko, hingga pabrik. Otomatis banyak petani di Cimande meninggalkan profesi petani.

Sayangnya, sejak 2016 menetap di Cimande, kondisi petani di sana bisa dibilang tak terlalu ada kemajuan. Petani yang tidak memiliki tanah/sawah (landless), akhirnya bersandar pada tengkulak atau pemodal. Kondisi ini melahirkan lingkaran setan persoalan yang membuat perekonomian petani terus rendah.

Karena tak punya lahan, petani pinjam uang ke tengkulak untuk bertani. Tentu dengan harga sewa yang cukup tinggi. Lantas, ketika panen, hasil bertani mereka dibeli oleh tengkulak itu dengan harga yang seenak jidat. Belum lagi jika pemerintah tidak melakukan keberpihakan harga saat petani panen. Alhasil, petani terjerat skema utang dan ketergantungan pada para pemodal dan tuan tanah.

“Mereka [tengkulak] menanam tidak, tapi mereka beli dengan harga murah, dijual, dan mereka untung. Sementara petani, ketika untuk bisa untung, misalkan sejuta saja, untuk bisa dapat untung dua juta saja, mereka keluar modalnya besar,” ucap Heni.

Maka dari itu, Heni berusaha membantu kondisi petani di sekitarnya dengan menyediakan lahan digarap bersama. Sepanjang tahun, Heni dan kolektifnya menanam berbagai jenis komoditas seperti: buah-buahan, kayu jati, palawija, hortikultura, hingga pangan. Pola tanam yang digunakan adalah tumpang sari sehingga sepanjang tahun bisa terus menghasilkan.

Heni menyayangkan program pemerintah untuk sektor pertanian dan pangan terasa minim dampaknya bagi petani yang betul-betul membutuhkan. Hani mencontohkan program pupuk subsidi yang justru banyak didapat oleh pihak yang berkecukupan. Bahkan, tak jarang kasus di lapangan program-program ini direngkuh oleh para pemodal lewat upaya kongkalikong.

Keadaan ini membuat proses miskinisasi dan guremisasi petani Indonesia bertumbuh pesat. Jika begini terus, Heni yakin tak akan ada anak-anak muda yang ingin menjadi petani. Tidak heran, di Indonesia, menjadi petani sama saja melemparkan nasib pada ketidakpastian.

“Jadi pertanian sekarang itu cost tuh tinggi gitu. Tapi tidak ada jaminan ketika nanti panen juga berhasil. Bisa dapet untung gitu. Jadi ya mungkin hanya yang berhasil itu dimonopoli oleh orang-orang tertentu,” ucap Heni.

Senada, peneliti bidang pangan Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, menyatakan kebijakan sektor pangan yang dibidani pemerintah belum menguntungkan bagi petani. Hal ini sebab kebijakan pemerintah lebih menguntungkan konsumen ketimbang para produsen. Ia memberikan contoh: ketika harga pangan naik di pasaran, pemerintah justru melakukan kebijakan impor untuk menstabilkan harga.

Sebaliknya, ketika harga beli di level petani sangat rendah, tidak ada intervensi yang diambil pemerintah. Dengan kebiasaan ini, bisa dibilang kebijakan saat ini tidak melindungi petani.

“Jadi ya petani lama-lama tergerus dong kesejahteraannya. Karena nggak ada perlindungan dari sisi harga kepada mereka. Jadi instrumen-instrumen adanya HET, adanya HPP, itu kan nggak begitu efektif melindungi kesejahteraan,” kata Eliza kepada wartawan Tirto lewat sambungan telepon, Rabu (5/2/2025).

Eliza juga setuju bahwa akses permodalan petani semakin sulit didapatkan. Padahal, biaya produksi untuk menanam semakin mahal. Untung sewa lahan saja bisa mencapai 50 persen biaya produksi. Kondisi ini diperburuk dengan keberpihakan pemerintah untuk menjaga dan menyediakan lahan-lahan pertanian atau sawah.

Banyak petani yang menjual sawahnya karena tidak memiliki modal. Pilihan lainnya petani melakukan konversi sawah menjadi bangunan agar daya jualnya semakin tinggi. Sayangnya program reforma agraria yang didorong pemerintah belum berjalan dengan maksimal. Eliza melihat selama sepuluh tahun terakhir, fokus reformasi agraria pemerintah cuma melakukan sertifikasi legalitas tanah ketimbang mendistribusikan lahan.

Menurut Eliza, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan land reform yang efektif dan memiliki prinsip win-win solution dengan petani. Sementara itu, meningkatkan kesejahteraan petani perlu menjadi pertimbangan dalam paradigma kebijakan sektor pangan pemerintah. Hal ini dapat dicapai dengan memastikan akses pasar dan kepastian harga bagi petani yang berbasiskan data terpusat.

“Esensi reforma agraria ini adalah untuk mengurangi ketimpangan lahan yang lahannya kebanyakan. Ini kan diberikan kepada para petani kita yang lahannya sempit dan juga yang landless,” ucap Eliza.

Dengan begitu, diharapkan kebijakan sektor pangan dan pertanian pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bisa berpihak kepada petani. Kebijakan yang dibuat seharusnya sejalan dengan upaya kesejahteraan para petani. Namun, beberapa kebijakan yang digaungkan ke khalayak terlihat belum memiliki perubahan signifikan dengan periode Jokowi.

Apa yang Pemerintah Lakukan?

Dalam acara Outlook Sektor Pertanian 2025 yang diselenggarakan INDEF, Senin (3/2/2025) lalu, Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang Investasi Pertanian, Suwandi, memaparkan bahwa pemerintah Presiden Prabowo percaya bahwa swasembada pangan bisa dilakukan dengan pengertian tidak terjadi impor beras. Suwandi mengungkapkan beberapa program disiapkan seperti pompanisasi dan perbaikan pengairan di hulu, seperti perbaikan waduk.

Pemerintah juga berencana melakukan rekayasa kelembagaan dengan membentuk Brigade Pangan. Program ini akan menggabungkan kolaborasi petani milenial dan lokal mengelola lahan sawah yang diberikan pemerintah. Termasuk mengedepankan transformasi teknologi dan mekanisasi di sektor pertanian.

“Intinya optimistis kita bisa memacu produksi 2025 lebih baik dibandingkan kemarin produksi meningkat dengan berbagai upaya program-program yang sudah disampaikan. Seperti optimasi lahan, cetak sawah, menanam tumpang sari di lahan-lahan marginal,” ujar Suwandi seperti dilansir akun YouTube resmi INDEF.

Sementara itu, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menyarankan agar pemerintah Presiden Prabowo sebaiknya berfokus membangun fondasi dan melakukan aneka langkah untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Dalam konteks itu, perlu menambah ketersediaan lahan, membenahi infrastruktur irigasi, dan melakukan pembenahan riset dan pengembangan (R&D) bidang pertanian.

Untuk kesejahteraan, kunci lainnya adalah menjamin petani dengan harga menguntungkan dan memastikan ketersediaan pasar bagi hasil panen. Khudori menilai hingga kini Prabowo dan jajaran kabinet belum menjelaskan apa yang dimaksud dengan swasembada pangan. Sebab, kata dia, pengertian pangan itu cakupannya luas.

“Tidak mungkin dicapai semuanya, itu hal bin mustahil. Karena, penting bagi presiden dan pembantunya menjelaskan detail apa yang dimaksud swasembada pangan,” ucap Khudori kepada wartawan Tirto, Kamis (6/2/2025).

Ini penting agar publik dapat menagih di ujung Prabowo mengakhiri kekuasaan. Namun, ia melihat fokus swasembada yang dimaksud Kabinet Merah Putih sepertinya dimaksudkan untuk komoditas. Apabila begitu, di tahun pertama rezim anyar ini, Prabowo perlu menekan impor 4 komoditas: beras, jagung, gula dan garam.

Di sisi lain, mimpi swasembada pangan lewat lumbung pangan sebaiknya tidak menambah masalah baru. Proyek mercusuar lumbung pangan terbukti sering mengalami kegagalan. Ini perlu menjadi evaluasi pemerintahan Prabowo agar tidak tergesa-gesa membuka lahan baru untuk proyek food estate.

Kebutuhan terhadap lahan sawah dan pertanian, tidak mesti lewat pembukaan lahan-lahan baru. Terlebih, kata Khudori, yang harus mengorbankan ekosistem hutan.

“Sebaiknya pemerintah menggarap lokasi food estate yang terbengkalai yang dibuka sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Jangan buru-buru buka lahan baru, dari hutan misalnya. Karena lahan eks FE masih banyak yang terbengkalai,” tandas Khudori.


tirto.id - News

Penulis: Alfons Yoshio Hartanto & Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |