Tingkat Kelaparan Masih Jadi PR Besar, Pemerintah Harus Apa?

3 weeks ago 6

tirto.id - Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Berdasarkan laporan Global Hunger Indexatau GHI 2024, Indonesia tercatat memiliki skor indeks 16,9 danberada di peringkat ke-77 dari 127 negara 16,9.

Semakin tinggi skor GHI 2024, semakin besar pula tingkat kelaparan yang terjadi di suatu negara. Negara Asia Tenggara yang skor indeks kelaparannya lebih tinggi daripada Indonesia adalah Timor Leste dengan skor 27 dan Laos dengan skor 19,8.

Skor indeks kelaparan dihitung berdasarkan formula yang menggabungkan empat indikator yang merangkum sifat kelaparan multidimensi. Indikator pertama adalah tingkat kekurangan gizi, yakni jumlah populasi yang asupan kalorinya tidak mencukupi. Dalam hal ini, Indonesia mendapatkan bobot skor 7,2 persen.

Indikator kedua adalah jumlah anak yang mengalami stunting, yakni jumlah anak di bawah usia lima tahun yang memiliki tinggi badan rendah untuk usia mereka. Ini mencerminkan kekurangan gizi kronis. Berdasarkan penilaian GHI, sebanyak 26,8 persen anak di bawah lima tahun masih mengalami hambatan pertumbuhan.

Indikator ketiga adalah child wasting, yakni jumlah anak di bawah usia lima tahun yang memiliki berat badan rendah dibanding dengan tinggi badan mereka. Hal ini mencerminkan kekurangan gizi akut. Pada indikator ini, Indonesia mendapatkan skor 10,0 persen anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan gizi.

Indikator terakhir adalah tingkat kematian anak, yakni jumlah anak yang meninggal sebelum ulang tahun kelima mereka. Ini mencerminkan kombinasi fatal dari nutrisi yang tidak memadai dan lingkungan yang tidak sehat. Dari penilaian GHI, sebanyak 2,1 persen dari anak-anak meninggal sebelum ulang tahun kelimanya.

Pekerjaan Rumah Besar Pemerintah

Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Tira Mutiara, mengatakan bahwa masalah kelaparan tersebut jelas merupakan pekerjaan rumah (PR) besar harus diselesaikan oleh pemerintah. Pasalnya, kelaparan disebabkan oleh permasalahan struktural, seperti kesenjangan sosial, kemiskinan, konflik, hingga perubahan perubahan iklim.

Berdasarkan Laporan GHI 2024, Indonesia menempati peringkat ke-77 dari 125 negara di seluruh dunia skor 16.9. Artinya, indeks kelaparan Indonesia masih ada di level “moderat” atau sedang.

Dalam laporan tersebut, diketahui bahwa penyumbang angka kelaparan yang tinggi adalah stunting dan wasting,” kata Tira kepada Tirto, Jumat (18/10/2024).

Penurunan angka stunting di Indonesia saat ini masih jauh dari target pemerintah. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan pada 2022 angka stunting sebesar 21,6 persen, sedangkan pemerintah sendiri menargetkan angka stunting turun hingga 14 persen pada 2024.

Target ini bisa dikatakan sangat ambisius,” kata Tira.

Pemerintah sendiri memang sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah ini. Namun, upaya-upaya tersebut dinilai menghadapi berbagai kendala.

Kendala-kendala itu di antaranya alokasi anggaran dana yang belum optimal, lemahnya koordinasi antarinstansi, perbedaan sifat dan tingkat permasalahan antar daerah, serta kelemahan pada rancangan cakupan, kualitas, sasaran, dan kapasitas pemerintah untuk melaksanakan program penanganan stunting.

Lebih lanjut, Tira mengatakan bahwachild wasting berkaitan erat dengan asupan makanan dan akses pangan pada masa-masa emas perkembangan bayi. Di sisi lain, penyebab langsung kelaparan adalah kurangnya asupan makanan dan penyebab tidak langsungnya adalah kerawanan pangan rumah tangga.

Tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam mengurangi angka kelaparan adalah kemiskinan dan akses terbatas terhadap pangan. Akses terhadap pangan adalah hak dasar setiap masyarakat. Namun, rendahnya pendapatan dan tingginya kemiskinan merupakan faktor utama yang menyebabkan masyarakat tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka,” kata dia.

Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Eliza Mardian, mengatakan bahwajika ingin mengurangi tingkat kelaparan, pemerintah bisa fokus membenahi kekurangan-kekurangan dalam indikator GHI yang bobotnya besar. Dua indikator yang menurutnya penting adalah tingkat kekurangan gizi dan tingkat kematian anak.

Eliza menyebut bahwa 7,2 persen populasi Indonesia mengalami kekurangan gizi. Angka itu tergolong tinggi jika dibandingkan skor negara lain di Asia Tenggara. Malaysia, misalnya, persentase penduduknya yang kekurangan gizi hanya sekitar 2,5 persen dari populasi, sementara Vietnam hanya 5,2 persen.

Pun demikian dengan tingkat kematian anak di Indonesia berdasarkan GHI yang mencapai 2,1 persen. Itu jelas lebih tinggi ketimbang Malaysia yang tingkat kematian anaknya hanya 0,8 persen.

Maka fokus di indikator yang bobotnya besar tersebut,” kata Eliza kepada Tirto, Jumat (18/10/2024).

Program Makan Siang Gratis Bisa Jadi Jawaban?

Di tengah upaya-upaya tersebut di atas, Presiden Prabowo Subianto menjadikan penanggulangan stunting sebagai salah satu prioritas dalam bidang kesehatan. Salah satu program yang digadang-gadang sebagai solusi masalah stunting oleh Prabowo di masa kampanye Pilpres 2024 lalu adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Program MBG mulanya ditujukan hanya untuk anak sekolah. Belum lama ini, tim Prabowo menyebut cakupannya penerimanya akan diperluas untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan balita. Tujuannya untuk memastikan anak dan ibu mendapatkan asupan nutrisi yang dibutuhkan demi mendukung tumbuh kembang anak yang optimal.

Program semacam MBG itu sebenarnya bukan hal baru. Di berbagai negara, seperti India dan Brasil, program makan gratis di sekolah sudah lama diterapkan dan terbukti efektif meningkatkan asupan gizi anak, terutama di kalangan masyarakat miskin.

Lantas, seberapa efektif program ini menyelesaikan masalah stunting yang sangat kompleks di Indonesia?

Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan bahwa program MBGhanya cukup untuk menjawab satu variabel saja, yakni kebutuhan gizi anak-anak.

“Targetnya di anak-anak, itu satu hal. Oke bisa dijawab dengan itu, misalnya, beres, bagus,” kata Said kepada Tirto, Jumat (18/9/2024).

Namun, masalah asupan gizi pada dasarnya bukan hanya untuk anak-anak saja. Jika konteksnya diperluas, yakni untuk membenahi indeks kelaparan, variabel dan dimensi ukuran solusinya jelas harus mencakup satuan keluarga.

“Kan gak cuma anak-anak [yang butuh asupan gizi]. Juga, persoalan keadilan akses terhadap pangan bagi keluarga-keluarga miskin yang tidak hanya pada pangan pokok, tetapi pangan yang sehat dan bergizi,” ujar dia.

Ketidakcukupan Pangan di RI Masih Tinggi

Eliza dari CORE menilai bahwa pemerintah masih harus memprioritaskan pemenuhan kecukupan konsumsi pangan dan memperbaiki akses ketersediaan pangan bagi masyarakat. Pasalnya, tingkat kerawanan pangan di Indonesia juga masih tinggi.

Dari 38 provinsi, hanya 12 provinsi yang tingkat prevalensi ketidakcukupan pangannya di bawah rata-rata nasional (8,53 persen). Dua puluh enam provinsi lainnya memiliki tingkat prevalensi ketidakcukupan pangan yang tinggi.

"Bahkan 15 provinsi tingkat prevalensi ketidakcukupan pangannya itu dua digit," ujar Eliza.

Jika dirinci, ke-15 provinsi yang dimaksud itu adalah Papua (35,63 persen), Maluku (30,27 persen), Maluku Utara (29,56 persen), Papua Barat (24,00 persen), Kalimantan Utara (15,92 persen), Gorontalo (15,10 persen), Kalimantan Barat (15,03 persen), Nusa Tenggara Timur (14,98 persen), dan Kepulauan Bangka Belitung (13,35 persen).

Selanjutnya yakni Jambi (12,83 persen), Riau (12,33 persen), Sulawesi Tengah (10,09 persen), Jawa Tengah (10,44 persen), Sulawesi Tenggara (10,49 persen), Daerah Istimewa Yogyakarta (10,08 persen).

Ironisnya, kata Eliza, Provinsi Kalimantan Utara, Riau, dan Sulawesi Tengah yang prevalensi ketidakcukupan pangannya dua digit itu termasuk dalam enam besar provinsi yang memiliki Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) per kapita enam tertinggi di Indonesia.

Hal itu menandakan tingginya ketimpangan ekonomi di daerah-daerah itu. Salah satunya karena kekayaan alam yang dimiliki daerah tersebut tidak dioptimalkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat setempat.

Padahal, Pasal 33 Ayat 3 UUD 19445 telah mengamanatkan bahwa, "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

"Untuk hal basic seperti pangan saja mereka tidak mampu memenuhinya," pungkas Eliza.

Melihat persoalan tersebut, Tira dari IDEAS menyarankan pemerintah untuk menjaga ketersediaan pangan yang memadai dan mempermudah aksesnya bagi seluruh lapisan masyarakat.

Menurut Tira, ketersediaan pangan dalam jumlah yang memadai amat penting perannya. Begitu pula akses pangan yang berkelanjutan; pemanfaatan pangan yang aman dan bergizi; dan menjaga stabilitas pangan terhadap guncangan ekonomi, bencana alam, dan konflik sosial-politik.

Perlu dilakukan upaya untuk meminimalkan risiko agar distribusi pangan tidak terganggu dan harga kebutuhan pokok tidak melonjak, yang bisa membebani masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil,” kata dia.

Selain itu, edukasi juga perlu digencarkan. Pasalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia masih awam tentang pentingnya gizi seimbang. Hal ini menyebabkan banyak masyarakat yang tidak mengikuti pola makan yang sehat dan pada akhirnya menyebabkan kurangnya asupan pangan bergizi.

Edukasi tentang pangan bergizi perlu digencarkan kepada masyarakat, terutama pada ibu hamil dan menyusui untuk mengantisipasi terjadinya stunting dan child wasting pada anak.

Menurut Tira, pemerintah, terutama pemerintah daerah, bisa memperkuat program-program pemberdayaan untuk kader kesehatan dan posyandu agar bisa memberikan edukasi dengan baik tentang pemberian gizi seimbang dengan memanfaatkan pangan lokal yang bergizi tinggi.


tirto.id - News

Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |