tirto.id - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) memiliki potensi besar menggenjot konsumsi pangan lokal lewat diversifikasi pangan. Pamor pangan lokal mampu naik kelas apabila pemerintah punya keseriusan dalam menggali dan memanfaatkan potensinya. Selama ini, diversifikasi pangan terus menjadi jargon pemerintah belaka dengan program yang berjalan mandek. Hal ini seharusnya menjadi peluang bagi program MBG untuk melakukan akselerasi.
Upaya menggunakan pangan lokal ini memang sudah mulai tercium aromanya ketika Badan Gizi Nasional (BGN) melirik potensi sumber daya daerah dalam program MBG. Kepala BGN, Dadan Hindayana, pada pekan lalu bahkan menyoroti salah satu sumber protein di beberapa daerah didapat dari konsumsi serangga. Dadan menilai peluang menggunakan menu itu tak tertutup karena BGN tidak menetapkan standar menu nasional, namun menetapkan standar komposisi gizi nasional saja. Artinya, variasi menu kearifan lokal amat memungkinkan.
"Mungkin saja ada satu daerah suka makan serangga (seperti) belalang, ulat sagu, bisa jadi bagian protein,” kata Dadan saat pemaparan dalam Rapimnas Perempuan Indonesia Raya.
Periset pangan dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, justru merasa heran dengan wacana Badan Gizi Nasional yang ingin menggunakan serangga untuk menu makan bergizi gratis. Pemerintah seolah-olah tidak punya referensi soal menu-menu pangan lokal yang tinggi protein. Serangga semacam belalang atau ulat sagu mungkin tinggi protein, tetapi pemerintah juga harus memikirkan apakah menu-menu itu bisa diterima anak-anak.
“Meskipun ada beberapa daerah yang memang secara budayanya dia memakan serangga, tapi kan ini belum tentu bisa diterima oleh semua anak,” ucap Eliza kepada wartawan Tirto, Kamis (30/1/2025).
Eliza menjelaskan, definisi pangan lokal adalah bahan pangan yang tersedia di satu daerah secara melimpah. Dengan begitu, alih-alih sibuk mencari-cari serangga, ada banyak pangan lokal yang bisa lebih dimanfaatkan dan tersedia melimpah: seperti jagung dan sagu.
Jagung bisa dibuat menjadi nasi jagung yang merupakan santapan khas beberapa daerah di Jawa Timur. Sagu, bisa diolah menjadi berbagai menu sedap yang biasa dikudap di wilayah Papua. Dua contoh itu saja dapat menggantikan konsumsi nasi yang berlebihan.
Sementara untuk sumber protein, kata Eliza, banyak sekali opsi menu selain serangga yang khawatir justru ditolak anak-anak. Seperti daerah pesisir yang bisa memanfaatkan ikan hasil tangkapan nelayan atau budidaya lokal sebagai menu makan bergizi. Memanfaatkan jenis ikan lokal bisa lebih diterima masyarakat karena sudah dikonsumsi turun-temurun. Selain itu dapat menekan pengeluaran program MBG apabila terlalu berfokus pada daging ayam atau sapi.
Maka prinsip penggunaan pangan lokal yakni memanfaatkan ketersediaan bahan baku yang memang tersedia melimpah di daerah. Jangan sampai bahan baku MBG justru lebih banyak didatangkan dari luar kota. Menurut Eliza, jika didatangkan dari luar kota, produsen akan terbebani biaya distribusi sehingga harga bahan baku di daerah menjadi lebih mahal.
“Kan nggak akan masuk nih anggarannya karena kan ada yang terbatas anggaran yang Rp10 ribu per porsi. Jadi memang sebaiknya pemerintah fokus kepada sumber protein yang memang bisa dibudidayakan,” ucap Eliza.
Sementara itu, Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman, setuju saja jika pemerintah punya wacana memanfaatkan serangga seperti belalang sebagai menu makan bergizi gratis. Menurutnya, produk pangan berbasis olahan dari serangga sudah ada di berbagai belahan dunia. Negara-negara seperti Thailand, Belanda, hingga negara-negara Amerika Latin sudah memiliki industri pangan dari olahan serangga.
Siswa bersiap menyantap menu makan bergizi gratis perdana di SD Santo Michael Bilogae, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Senin (20/1/2025). ANTARA FOTO/Martinus Eguay/app/tom.
Dicky menjelaskan bahwa, serangga seperti belalang atau jangkrik memiliki kandungan kaya protein. Serangga juga mengandung asam amino esensial, zat besi, juga omega 3. Namun, kata dia, implementasinya di Indonesia sebagai menu makan bergizi sebaiknya disesuaikan dengan budaya di masyarakat.
“Sebagian besar dari masyarakat Indonesia kan belum terbiasa ya mengkonsumsi serangga sebagai makanan sehari-hari, walaupun di beberapa daerah sudah itu,” kata Dicky kepada wartawan Tirto, Kamis.
Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tercatat sekitar 1.900 spesies serangga yang aman dikonsumsi manusia. Serangga kaya akan protein berkualitas tinggi dan asam lemak esensial yang berperan dalam menjaga kesehatan jantung dan fungsi otak. Dalam laporan bertajuk Edible Insect: Future Prospects for Food and Feed Security (2013) itu disebut bahwa konsumsi serangga membantu mengurangi polusi dan pemanasan global serta mampu meningkatkan asupan gizi dan mengatasi kelaparan.
Sementara dalam artikel ilmiah bertajuk Nutritional composition and safety aspects of edible insects (2013) yang ditulis O Schlüter dan Birgit Rumpold, disebut bahwa banyak serangga yang dapat dimakan menyediakan energi dan protein yang memadai untuk manusia. Seperti kebutuhan asam amino, tinggi MUFA dan PUFA, serta kaya beberapa mikronutrien. Di sisi lain, mereka menyebut entomofagi atau konsumsi serangga harus memperhatikan risiko zat alergen dan beracun serta adanya patogen. Olahan serangga dapat dikembangkan dengan memastikan aspek keamanan pangan.
Dicky Budiman melihat adanya potensi besar untuk menggali inovasi pemanfaatan pangan lokal dalam program makan bergizi gratis. Indonesia merupakan rumah dari berbagai jenis buah dan sayuran. Indonesia juga kaya dalam sektor pangan fermentasi seperti tempe atau oncom.
Ia menilai inovasi pangan lokal dalam program makan bergizi hanya bisa sukses jika fokus pada prinsip berkelanjutan. Selain pemberian makanan, juga perlu ada integrasi edukasi gizi untuk mengedukasi anak-anak dan orang tua. Pemerintah diminta melibatkan pemerintahan daerah untuk mengajak tokoh-tokoh lokal atau adat dalam menggali potensi pangan lokal.
“Termasuk melibatkan petani lokal untuk memasok bahan-bahan pangan, sehingga program ini mendukung perekonomian setempat,” ujar Dicky.
Libatkan Masyarakat Daerah
Ahli pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, setuju jika program makan bergizi gratis merupakan salah satu pintu masuk untuk mengarusutamakan pangan lokal. Sebab, kata dia, amat riskan dan berisiko memaksakan satu jenis komoditas sebagai sumber pemenuhan gizi program MBG. Misalnya, menasbihkan beras sebagai satu-satunya sumber karbohidrat dalam program ini.
“Kalau ada kendala dalam distribusi, ini bisa jadi masalah. Terutama di daerah-daerah yang bukan produsen, sementara jalur dan infrastruktur distribusi dan pergudangan belum baik,” ucap Khudori kepada wartawan Tirto, Kamis.
Karena itu, sebaiknya pemerintah daerah yang proaktif untuk mempromosikan pangan lokal. Daerah penghasil sagu misalnya, perlu mendorong tanaman itu sebagai sumber karbohidrat pada program makan bergizi di tempat mereka. Demikian pula daerah penghasil jagung, ubi kayu, sorgum, dan palawija lainnya.
Selain itu, jika anak-anak tidak terbiasa dengan konsumsi pangan lokal, maka bisa dilakukan secara bertahap dan perlahan. Tidak bisa dipaksakan dalam jangka pendek. Mengubah pola makan yang sudah jadi kebiasaan (habit) tidak mudah. Namun, bisa dilakukan secara pelan dengan penguatan edukasi gizi.
“Belalang misalnya, bisa jadi yang tidak biasa makan akan jijik. Tapi dengan diolah menjadi bagian makanan katsu atau perkedel, akan baik,” ucap Khudori.
Khudori percaya pemanfaatan pangan lokal di program MBG akan membantu perekonomian lokal. MBG harus dimanfaatkan benar untuk mendorong diversifikasi pangan. Jangan ulangi kesalahan masa lalu yang menggiring pangan sumber karbohidrat itu ke satu sumber, yakni beras.
Indonesia merupakan negara yang kaya dengan sumber pangan. Diversifikasi pangan lokal adalah kekayaan bagi sumber pangan. Jika pangan lokal bisa menjadi pangan penting dan pokok di daerah penghasil, secara nasional akan berdampak besar pada resiliensi pangan.
Siswa menyantap makanan bergizi gratis saat pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di SD Negeri 25 Palembang, Sumatera Selatan, Senin (6/1/2025). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/nz
Di sisi lain, Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai usulan memanfaatkan serangga bisa saja efek dari kurangnya anggaran MBG yang dimiliki pemerintah. Dampak anggaran yang kurang pasti akan berimbas pada sajian yang akan diterima oleh penerima program. Hal ini amat kentara dari harga per porsi yang dikorting.
Huda mengingatkan, wajib ada satu standar yang harus dipenuhi oleh penyedia makanan: yakni bergizi di tengah anggaran yang terbatas. Padahal, guna memenuhi standar gizi itu dibutuhkan modal yang tidak sedikit. Mulai dari penyediaan bahan hingga menjaga kualitas dari makanan yang disajikan.
“Saya ragu apakah ide itu mampu diimplementasikan atau tidak, mengingat serangga bukan makanan yang umum dimakan anak-anak. Kita tidak bisa memukul rata daerah tertentu,” ucap Huda kepada wartawan Tirto, Kamis.
Huda menyarankan agar pemerintah memilih menu yang umum-umum saja. Meskipun tetap menggunakan pangan lokal, tetapi mesti teruji secara gizi dan bisa diterima oleh anak-anak.
Memang ada potensi pangan lokal dengan gizi sesuai standar, bisa meningkatkan ekonomi lokal. Menu lokal bisa diterapkan di daerah asalkan menjadi konsumsi umum. Maka tidak bisa menu lokal dipukul rata di setiap daerah. Pemerintah juga wajib menjaga keamanan pangan serta penerimaan dari anak-anak.
“Semisal susu kambing etawa yang menjadi pengganti susu sapi, karena daerah tersebut penghasil susu kambing etawa setempat. Atau papeda sebagai pengganti nasi. Tapi tentu perlu dicek apakah setiap anak mempunyai alergi makanan tertentu,” jelas Huda.
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang