tirto.id - Produsen Jerman merupakan standar emas bagi industri otomotif dunia, itu tak lagi terbantahkan. Konsistensi para pabrikan Jerman dalam membuat mobil berkualitas tinggi sudah teruji selama beberapa dekade. Akan tetapi, kini mereka sedang dalam kondisi terdesak.
Jerman menjadi panutan otomotif dunia ketika mesin berpembakaran dalam (internal combustion engine) masih menjadi satu-satunya opsi. Kini, di tengah semarak mobil listrik yang melibatkan berbagai pemain baru dari berbagai belahan dunia, situasinya tak lagi sama.
Terlebih, Uni Eropa, organisasi supranasional tempat Jerman bernaung, semakin galak soal lingkungan. Mereka terus mendorong supaya produksi mobil dengan mesin pembakaran dalam dihentikan dan digantikan dengan mobil listrik.
Pada 2022, Uni Eropa resmi mengeluarkan aturan yang melarang penjualan mobil berbahan bakar bensin dan solar selepas tahun 2035. Sebenarnya, putusan ini disambut cukup baik oleh berbagai produsen otomotif Benua Biru. Namun, di tengah itu semua, muncul tentangan keras dari Jerman.
Di bawah tekanan pabrikan otomotifnya, Pemerintah Jerman melobi Uni Eropa untuk memberi pengecualian: mobil dengan mesin pembakaran dalam tetap bisa dijual selepas 2035 dengan syarat menggunakan bahan bakar bebas CO₂.
Bahan bakar seperti itu biasa disebut electrofuel atau e-fuel. Menurut perusahaan-perusahaan otomotif Jerman, e-fuel adalah solusi agar kendaraan bermesin pembakaran dalam tetap hidup sembari terus berupaya mencapai netralitas karbon. Namun, benarkah anggapan tersebut atau, jangan-jangan, ini cuma semacam Hail Mary agar laju kendaraan listrik bisa terbendung untuk sementara waktu?
Apa Itu E-Fuel?
Secara sederhana, e-fuel bisa didefinisikan sebagai bahan bakar sintetis yang diproduksi dengan menggunakan listrik terbarukan, air, dan CO₂. Tak seperti bahan bakar fosil, e-fuel diklaim netral karbon karena CO₂ yang dilepaskan dalam proses pembakaran diimbangi CO₂ yang ditangkap selama proses produksi.
Proses pembuatan e-fuel melibatkan beberapa tahapan. Pertama, listrik terbarukan digunakan untuk memecah air (H₂O) menjadi hidrogen dan oksigen lewat proses elektrolisis. Hidrogen kemudian berperan sebagai fondasi untuk bahan bakar sintetis.
Setelah itu, CO₂ ditangkap dari udara bebas atau dari emisi industri untuk memastikan bahwa bahan bakar yang dihasilkan nanti tidak berkontribusi pada penambahan CO₂ di atmosfer bumi. CO₂ yang telah ditangkap kemudian kombinasikan dengan hidrogen tadi dalam sebuah proses kimia bernama sintesis Fischer-Tropsch untuk menciptakan cairan hidrokarbon yang menyerupai bensin, solar, dan kerosin.
Terakhir, bahan bakar sintetis tersebut dimurnikan dan didistribusikan melalui pom bensin yang sudah ada sehingga bisa digunakan oleh mobil atau kendaraan dengan mesin pembakaran dalam tanpa perlu modifikasi apa pun.
Ilustrasi Efuel. foto/istockphoto
Kompatibilitas dengan infrastruktur serta jenis kendaraan yang telah tersedia ini menjadi keunggulan utama e-fuel. Tak seperti sel tunam hidrogen atau baterai listrik, penggunaan e-fuel tidak membutuhkan perubahan besar-besaran dari sisi stasiun pengisian bahan bakar, desain mesin, atau rantai pasok.
Bisa dibilang, yang berbeda dari sini hanyalah jenis produk bahan bakarnya. Inilah mengapa e-fuel dipandang sebagai pilihan menarik bagi pabrikan yang enggan meninggalkan teknologi mesin berpembakaran dalam sepenuhnya.
Sayangnya, aplikasi e-fuel di kehidupan sehari-hari tidaklah sesederhana apa yang tertulis di atas kertas.
Masalah-Masalah E-Fuel
Ada tiga masalah besar e-fuel yang sampai sekarang belum ditemukan solusinya. Yakni, soal efisiensi energi, biaya produksi, serta skalabilitas.
Efisiensi energi dari e-fuel bisa dibilang rendah. Ada 80 persen energi yang hilang dalam proses konversi listrik menjadi e-fuel, lalu membakarnya dalam sebuah mesin. Proses elektrolisis yang terjadi dalam produksi e-fuel hanya 70-80 persen efisien yang artinya banyak energi yang terbuang ketika mengubah air menjadi hidrogen. Kemudian, proses penangkapan CO₂ dan sintesis bahan bakar hanya 50-60 persen efisien yang berarti semakin banyak energi terbuang.
Terakhir, ketika e-fuel digunakan untuk bahan bakar, yang terpakai untuk menggerakkan mesin hanya sekitar 30-40 persen. Sementara, sisanya hanya berubah menjadi panas. Dengan demikian, untuk setiap 100 kWh listrik yang digunakan untuk memproduksi e-fuel, hanya sekitar 10-15 kWh yang akhirnya terkonversi untuk menggerakkan mobil.
Kebalikannya, mobil listrik jauh lebih efisien. Pada saat proses pengisian daya, efisiensi energinya berada di angka 85-90 persen. Kemudian, efisiensi saat listrik digunakan untuk menggerakkan motor bahkan lebih tinggi lagi, yaitu 90-95 persen. Ini berarti, sebuah mesin kendaraan listrik bisa menggunakan sekitar 70-80 persen dari listrik aslinya untuk menggerakkan kendaraan. Mobil listrik, dengan demikian, sekitar delapan kali lebih efisien ketimbang mobil yang berbahan bakar e-fuel.
Masalah kedua adalah biaya produksi. Sampai saat ini, e-fuel belum bisa diproduksi dengan skala massal karena tingginya biaya produksi. Per April 2023, menurut hitung-hitungan Potsdam Institute for Climate Impact Research, untuk memproduksi satu liter e-fuel dibutuhkan biaya sampai £44 (sekitar Rp887 ribu). Ini belum termasuk biaya distribusi dan lain-lain. Bandingkan dengan bahan bakar fosil yang, untuk tiap liternya, cuma butuh biaya produksi Rp4-7 ribu.
Tingginya biaya produksi e-fuel jelas menjadi persoalan, karena setelah diproduksi dalam skala industri sekalipun, harganya bakal tetap lebih tinggi dibanding bahan bakar fosil yang ada saat ini. Sebuah proyeksi menunjukkan bahwa di Jerman pada 2030, harga e-fuel bisa lebih tinggi 50 persen dibanding harga bahan bakar fosil.
Ilustrasi Efuel. foto/istockphoto
Masalah terakhir yang dihadapi e-fuel adalah skalabilitas. Untuk benar-benar jadi solusi global, produksi e-fuel harus dilakukan secara massal menggunakan energi terbarukan. Namun, saat ini, produksi e-fuel secara global masih kurang dari satu persen dari total permintaan bahan bakar.
Agar e-fuel bisa jadi pengganti bahan bakar fosil, dibutuhkan ekspansi besar-besaran terhadap kapasitas listrik terbarukan. Akan tetapi, mengingat sebagian besar negara masih kesulitan memenuhi kebutuhan listrik untuk rumah tangga dan industri, mengalokasikan energi dalam jumlah besar untuk produksi e-fuel tampaknya kurang realistis.
Bahkan Porsche, salah satu pendukung terbesar e-fuel, mengakui bahwa produksi bahan bakar ini akan tetap terbatas. Pabrik percontohan mereka di Cile hanya mampu memproduksi sebagian kecil dari permintaan global, yang semakin menunjukkan bahwa skala besar produksi e-fuel untuk kendaraan penumpang masih jauh dari kenyataan.
Selain tiga masalah utama di atas, ada juga persoalan mengenai seberapa hijau e-fuel. Tak seperti kendaraan listrik yang sama sekali tidak mengeluarkan polutan dari knalpot, kendaraan berbahan bakar e-fuel masih mengeluarkan polutan seperti nitrogen oksida. Artinya, semakin jelaslah bahwa e-fuel, setidaknya berdasarkan semua informasi yang ada saat ini, bukanlah pesaing sepadan untuk kendaraan listrik.
Awal dari Kejatuhan Pabrikan Jerman?
Pemerintah Jerman, yang didorong oleh lobi otomotifnya, boleh saja terus mengupayakan agar e-fuel bisa menjadi solusi kendaraan berpembakaran dalam pada masa depan. Namun, kemungkinan ini terwujud sangatlah kecil.
Selain tidak benar-benar hijau, e-fuel juga tidak efisien, mahal, dan sulit diproduksi secara massal mengingat keterbatasan dari listrik terbarukan itu sendiri. Mungkin, e-fuel bisa jadi solusi di sektor-sektor yang lebih kecil seperti penerbangan dan perkapalan di mana proses elektrifikasi jauh lebih sulit dilakukan.
Apabila produsen mobil Eropa, terutama Jerman, memilih untuk tetap keukeuh dengan pendiriannya terkait e-fuel, bukan mustahil posisi mereka sebagai produsen kendaraan kelas wahid bakal tergusur dalam beberapa waktu ke depan. Perlu diingat bahwa saat ini produsen mobil listrik Tiongkok sedang ganas-ganasnya melakukan ekspansi. BYD, misalnya, sudah betul-betul bisa jadi pesaing Tesla dari segi penjualan.
Selain Tiongkok, negara lain yang cukup agresif dalam melakukan elektrifikasi otomotif adalah Amerika Serikat (AS). Produsen-produsen otomotif tradisional mereka seperti Ford dan General Motors terbukti lebih fleksibel dalam menghadapi tren elektrifikasi yang ada sekarang, tak seperti produsen Jerman (juga Jepang) yang cenderung lebih kaku.
Yang jelas, saat ini kendaraan listrik memang belum mendominasi jalanan. Akan tetapi, para pabrikan tradisional itu harus mengakui bahwa pertumbuhan kendaraan listrik, utamanya dari Tiongkok, memang sangatlah pesat. Tanpa kemauan untuk beradaptasi dengan dunia yang bergerak cepat, tergilas oleh zaman akan menjadi keniscayaan.
tirto.id - Mild report
Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Irfan Teguh Pribadi