tirto.id - Bagi Belanda, Nusantara tidak hanya menarik secara komersial dan politik, tapi juga dalam segi ilmu pengetahuan. Jacobus Bontius, kelahiran Leiden yang datang ke Batavia pada 1627, yang mula-mula mengkaji dan melahirkan karya sohor dalam bahasa Latin tentang fauna Nusantara pada abad ke-17.
Kegiatan ini dilanjutkan oleh petualang Johan Nieuhof, lalu oleh Georg Eberhard Rumphius dengan Herbarium Amboinense-nya. Studi zoologi dan botani yang mereka lakukan umumnya kegiatan sambilan sebagai dokter atau amtenar.
Tidak hanya menyerahkan kepada inisiatif pribadi para pencinta sains, Kerajaan Belanda juga mencoba mewadahi upaya mengkaji alam Nusantara dengan mendirikan lembaga semacam Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1778-1962) serta memfasilitasi penerbitan jurnal-jurnal periodik berkelas.
Salah satu lembaga sains bentukan Belanda yang paling menarik adalah Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië atau Komisi Pengetahuan Ilmu Alam untuk Hindia Belanda(1820-1850).
Menurut Huibert Johannes Veth (1846-1917) dalam disertasinya tahun 1879 berjudul Overzicht van hetgeen, in het bijzonder door Nederland, gedaan is voor de kennis der fauna van Nederlandsch Indië (Tinjauan tentang Kinerja Pemerintah Belanda untuk Memajukan Pengetahuan Fauna Hindia Belanda), komisi ilmu pengetahuan tersebut tidak lepas dari inisiatif Raja Belanda, Willem I, yang ingin agar kekayaan alam koloni dipelajari dengan saksama.
Willem I kemudian mengutus Caspar Georg Carl Reinwardt, seorang Jerman yang menjadi profesor di Amsterdam serta direktur het Koninklijk Museum van Natuurlijke Historie (Museum Kerajaan Sejarah Alam). Reinwardt tiba di Batavia pada 27 April 1816, lalu memulai ekspedisi ilmiah di Jawa dan bagian timur Nusantara dengan gaji 24.000 gulden setahun, transportasi gratis, dan sejumlah besar uang untuk perlengkapan dan berbagai kebutuhan.
Penelitian Reinwardt direncanakan berakhir pada 1820, tapi dia meminta perpanjangan waktu ekspedisi khususnya ke wilayah timur Nusantara hingga 1821. Karena hasil kerjanya cukup memuaskan dan tak ingin terputus jika nanti Reinwardt pulang, Pemerintah Belanda berniat membentuk komisi pengetahuan khusus melalui Koninklijk besluityang dikeluarkan oleh Raja Willem I di Den Haag pada 2 Mei 1820.
Sebagai anggota ditunjuk Heinrich Kuhl dan Johan Conrad van Hasselt, dibantu Gerrit van Raalten sebagai ahli anatomi dan Gerrit Laurens Keultjes pelukis/ilustrator. Misi mereka sama seperti Reinwardt, yakni mengunjungi berbagai koloni di Hindia Belanda untuk mengeksplorasi kekayaan alamnya secara ilmiah.
Johan Conrad van Hasselt. wikimedia commons/Publik domain
Hasil koleksi dan sampel yang dikumpulkan serta lukisan-lukisan yang dibuat menjadi milik kerajaan dan dikirim segera ke Belanda. Langsung di bawah patronasi Raja Belanda, mereka menikmati gaji besar dan fasilitas perlengkapan, transportasi, dan akomodasi istimewa.
Dalam perjalanannya, komisi tersebut telah menunjuk total 14 ilmuwan di berbagai bidang berkebangsaan Jerman, Belanda, dan Prancis, yakni Heinrich Kuhl, Johan Conrad van Hasselt, Gerrit van Raalten, Heinrich Boie, Heinrich Bürger, Pierre-Médard Diard, Eltio Alegondus Forsten, Ludwig Horner, Franz Junghuhn, Pieter Willem Korthals, Heinrich Christian Macklot, Salomon Müller, Carl Anton Schwaner, dan Alexander Zippelius.
Selain ilmuwan, komisi juga menunjuk 8 orang sebagai juru gambar dan 3 orang peneliti yang menangani satu jurnal ilmiah: Jurnal sejarah alam koloni-koloni Belanda di seberang lautan.
Dari semua itu, yang dipandang paling produktif adalah dua orang Jerman, yakni Salomon Müller yang sebenarnya lebih dulu memperkenalkan garis batas imajiner fauna Nusantara dibanding Alfred Russel Wallace, dan Franz Wilhelm Junghuhn dengan pembagian iklimnya yang biasa kita pelajari di sekolah.
Para Ilmuwan dan Juru Gambar Berguguran
Setelah Komisi Pengetahuan Ilmu Alam untuk Hindia Belanda dibubarkan pada 17 April 1850 oleh Willem III, seluruh publikasi, objek koleksi sampel flora, fauna, dan mineral dengan jumlah ribuan, diari, catatan, korespondensi, dan daftar pengiriman yang dibuat lembaga ini ditempatkan di Rijksmuseum van Natuurlijke Historie, Leiden, yang sekarang menjadi Naturalis Biodiversity Center.
Meski hanya eksis selama 30 tahun, lembaga ini amat produktif. Selain karya ilmiah, para anggotanya juga berkontribusi dalam merekam alam dan peristiwa di masanya, seperti sketsa awal Pangeran Diponegoro yang ternyata dibuat oleh seorang juru gambar komisi ini bernama Adrianus Johannes Bik.
Hal yang tragis dari komisi yang berumur singkat ini adalah kematian sejumlah anggotanya selama ekspedisi. Yang pertama kali berpulang adalah tiga anggota perdana hanya dalam waktu dua tahun, yakni H. Kuhl, Keultjes, J.C. van Hasselt. Kisah mereka dituangkan oleh Charles Klaver dalam bukunya yang terbit pada 2007 berjudul Inseparable Friends in Life and Death.
Berangkat ke Hindia Belanda menjalankan misi ilmiah, Heinrich Kuhl hanya sempat 9 bulan beraktivitas sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir di Buitenzorg (sekarang Bogor) pada 14 September 1821 akibat infeksi liver. Sementara sang ilustrator, Gerrit Laurens Keultjes, berpulang dua hari kemudian disebabkan penyakit tropis yang belum diketahui pasti. Dan J. C. van Hasselt yang juga seorang dokter, menyusul sahabatnya dua tahun kemudian pada 8 September 1823 akibat amebiasis ketika ekspedisi ke Banten.
Heinrich Kuhl dan J. C. van Hasselt sama-sama dimakamkan di Kebun Raya Bogor. Walau hanya meneliti dengan fokus bagian barat Jawa, tim mereka berhasil mengumpulkan dan mengirimkan 200-an rangka serta kulit dari 65 mamalia, 2.000 burung, 1.400 ikan, 300 reptil dan amfibi, berikut ratusan serangga dan krustasea. Sejumlah peninggalan manuskrip dan catatan deskripsi ragam spesies serta lebih dari 1.200 lukisan hewan dan tumbuhan pun telah dibuat.
Hermann Schlegel: Lanspuntslang Trimeresurus sumatranus. wikimedia commons/publik domain
Butuh waktu empat tahun seorang ilmuwan penting komisi pengetahuan Hindia Belanda meninggal dunia lagi: Heinrich Boie. Pakar zoologi asal Jerman kelahiran Meldorf ini baru bergabung dalam komisi pada 5 Desember 1823, bersama dengan dua pemuda Jerman lain, Heinrich Christian Macklot dan Salomon Müller.
Dia diajak oleh Coenraad Jacob Temminck, direktur Rijksmuseum van Natuurlijke Historie di Leiden yang terkesan dengan tulisan kritisnya hingga ia ditunjuk menjadi konservator koleksi fauna museum dengan gaji 700 gulden setahun.
Sebagai persiapan untuk ekspedisi ke Hindia Belanda, ketiganya mengunjungi sejumlah museum di Paris dan Jerman. Baru pada 1825 mereka bertolak ke Jawa. Namun sayang, Buitenzorg yang arti harfiahnya "bebas beban masalah" lagi-lagi menjadi tempat terakhir salah satu anggota komisi.
Boie harus kalah selamanya oleh penyakit tropis menakutkan, malaria, pada 4 September 1827. Obatnya (pil kina) baru berhasil dibudidayakan di Lembang oleh anggota komisi lain, Junghuhn, tiga puluh tahun kemudian.
Pada31 Desember 1828, meninggal lagi ilmuwan komisi yang baru bergabung setahun sebelumnya, Alexander Zippelius. Ahli botani asal Würzburg, Jerman, ini sebelumnya menjadi asisten kurator di kebun botani Bogor sejak 1823.
Setelah menjadi anggota komisi, dia ikut ekspedisi dengan kapal korvet de Triton ke Papua Nugini pada 1828, yang juga singgah di Maluku dan Timor. Sayangnya, di tempat terakhir ini dia meninggal akibat malaria. Namanya diabadikan dalam nama salah satu genus botani lada: Zippelia, juga sejumlah nama spesies lain berakhiran zippeliana, zippelii, dan zippelianum.
Setelah Zippelius, giliran anggota perdana komisi terakhir, Gerrit van Raalten, yang harus tumbang. Ahli taksidermi ini meninggal di Laut Timor akibat demam tropis pada 17 April 1829. Dia dikuburkan di pesisir eksklave Oecusse.
Dua tahun sebelumnya, ketika melakukan ekspedisi di wilayah Preanger (Priangan) bersama Macklot, van Raalten cedera akibat diseruduk Badak Jawa. Bersama anggota-anggota komisi yang baru, mulai 1828 dia melakukan ekspedisi ke timur Indonesia (Papua, Papua Nugini, Sulawesi, Maluku, sampai Timor).
Peninggalan van Raalten cukup penting, selain merapikan koleksi H. Kuhl dan J.C. van Hasselt, dia juga mengirim banyak sampel spesimen ke Belanda, salah satunya type-exemplaar (sampel tubuh) dari Harimau Jawa yang statusnya kini telah punah. Di samping beberapa spesies baru ikan yang ditemukan, namanya diabadikan dalam salah satu spesies puyuh cokelat, Synoicus ypsilophora raaltenii.
Heinrich Boie. wikimedia commons/Vysotsky
Sudah enam anggota komisi yang meninggal dalam ekspedisi sebelum yang ketujuh tumbang, H. C. Macklot. Lahir di Frankfurt am Main, naturalis Jerman ini kehilangan nyawa di Purwakarta dalam usia 33 tahun. Kematian Macklot memang terjadi kala tugas ekspedisi di pesisir Jawa, tapi oleh sebab yang tidak disangka. Bukan karena penyakit tropis, melainkan tewas dalam kerusuhan berdarah etnis Cina di Purwakarta pada 12 Mei 1832.
Sebagian catatannya harus direlakan dalam kebakaran beberapa hari kemudian. Untuk menghormatinya, namanya lekat pada empat spesies fauna: ular piton di Timor (Liasis mackloti), semacam kelelawar (Acerodon macklotii), sejenis burung paok (Erythropitta macklotii), dan burung luntur Sumatra (Apalharpactes mackloti).
Pieter van Oort adalah anggota komisi kedelapan yang meninggal dunia. Bertugas sebagai ilustrator sejak 1825, orang Belanda kelahiran Utrecht ini meninggal di Padang pada 2 September 1834, diduga akibat malaria. Salomon Müller mengungkapkan rasa terkejutnya betapa cepat rekan se-timnya itu berpulang setelah mengalami demam sejak 25 Agustus dalam tulisannya "Berigten over Sumatra" (1837).
Selepas kematian Pieter van Oort, tidak ada lagi anggota Natuurkundige Commissie yang meninggal dunia dalam ekspedisi. Hanya dalam kurun 13 tahun, delapan orang atau sepertiga dari 25 ilmuwan, ilustrator, dan dewan redaksi lembaga ini meninggal, rata-rata dalam usia tiga puluhan awal dan masih bujangan.
tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Novelia Musda
Penulis: Novelia Musda
Editor: Irfan Teguh Pribadi