Harga Gula Tak Terkendali Saat Pemerintah Mau Swasembada

3 hours ago 2

tirto.id - Harga gula pasir konsumsi menanjak naik, menyusul beras dan minyak goreng curah alias Minyakita. Berdasar data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga gula konsumsi pada Senin (30/1/2025) pukul 13.00 WIB, tercatat paling rendah berada di Kepulauan Riau, yakni Rp15.763 per kilogram, turun 9,93 persen dari hari sebelumnya. Sementara harga tertinggi terjadi di Papua Tengah, yang tercatat Rp21.100 per kilogram atau naik 14,05 persen dari sebelumnya.

Secara nasional, dari 38 provinsi yang ada, harga gula konsumsi di 15 provinsi di antaranya Sulawesi Barat, Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Sumatera Barat, Aceh, Papua, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Papua Tengah dalam status waspada. Harganya sudah lebih tinggi dari Harga Acuan Pemerintah (HAP) yang ditetapkan Bapanas sejak Mei 2024, yaitu Rp17.500 per kilogram untuk wilayah Indonesia non Timur dan Rp18.500 untuk wilayah Indonesia Timur.

Sebaliknya, ada 21 provinsi termasuk di antaranya DI Yogyakarta, Jawa Barat, Bali, Papua Barat Daya, hingga Kepualauan Riau yang harga gula konsumsinya di bawah HAP. Dengan kondisi ini, rata-rata harga gula konsumsi nasional ialah sebesar Rp18.209 per kilogram.

“Tadi beli yang merek GMP (produksi PT Gunung Madu Plantations) sekilo itu Rp19.000. Terus ditawarin yang Rosebrand kuning itu Rp18.000 sama yang (Rosebrand) ijo (gula premium) Rp20.000,” kata Anna Widayanti (55), saat ditemui Tirto, di salah satu toko sembako, di Pasar Rumput, Jakarta Selatan, Senin (30/1/2025).

Kata sang penjual, harga jual gula konsumsi yang sebesar Rp18.000-Rp19.000 per kilo sudah dipatoknya sejak pertengahan Januari 2025. Setelah sebelumnya harga gula-gula tebu itu bertahan di kisaran Rp17.000-Rp19.000 per kilogram sejak akhir 2024 sampai awal 2025.

“Katanya yang jual emang harganya sudah segitu dari lama. Sudah dua mingguan ini naik,” imbuh ibu rumah tangga tersebut.

Sementara di Jawa Tengah, tepatnya di Pasar Baledono, Purworejo, harga gula konsumsi masih berada di kisaran Rp17.500 per kilogram. Meski sama dengan HAP, terdapat selisih Rp500 dari harga saat ini dengan pertengahan Desember 2024.

“Tapi kalau di warung ada yang jual Rp18.000 sampai Rp19.000 sekilo. Dari awal tahun sudah segitu. Tapi kalau harga di warung ndak bisa dibuat patokan. Tetanggaku ada yang jual Rp20.000,” kata Aisyah (49), melalui pesan singkat kepada Tirto, Senin (30/1/2025).

Kendati begitu, penjaja susu kedelai di Pasar Baledono tersebut telah mengamati penaikan harga gula konsumsi telah terjadi sejak Oktober-Desember 2024, dengan rata-rata kenaikan sebesar Rp200 per kilogram.

“Sebelumnya (Oktober 2024) stabil Rp16.000,” imbuhnya.

Penaikan harga beberapa bahan pangan, termasuk gula konsumsi sudah diketahui Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas, usai mengunjungi Pasar Sei Sikambing, Medan, pada Selasa (21/1/2025). Dari hasil pantauannya, harga gula pasir di pasar itu mencapai Rp19.000 per kilogram, padahal semestinya berada di kisaran Rp17.000-Rp19.000 per kilogram. Meski begitu, ia menilai ini merupakan fenomena yang lumrah terjadi menjelang Ramadan.

Karena itu, Zulhas segera menggelar rapat dengan kementerian dan lembaga yang berada di bawah ampuannya untuk mencari solusi dari masalah ini.

Di sisi lain, Direktur Ketersediaan Pangan Bapanas, Indra Wijayanto, mengatakan, rata-rata kebutuhan nasional gula konsumsi per bulan untuk 2025 sebesar 236 ribu ton. Sedangkan produksi gula konsumsi pada 2025 diperkirakanakan mencapai 2,59 juta ton, dengan stok Gula Kristal Putih (GKP) yang berada di Pabrik Gula (PG) milik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) per 31 Januari 2024 adalah 985,67 ribu ton.

“Selain itu masih terdapat stok gula kristal mentah di pabrik gula sebesar 242.305,86 ton GKM (Gula Kristal Mentah) hasil importasi 2024 yang belum diolah. Sehingga jumlah tersebut cukup untuk kebutuhan puasa dan Lebaran sampai mulainya musim giling di Mei 2025,” kata dia, saat dihubungi Tirto, Senin (30/1/2025).

Sebagai informasi, melalui rapat terbatas (ratas) neraca komoditas, pemerintah sepakat untuk mengimpor gula konsumsi sebanyak 708 ribu ton di sepanjang 2024, turun dibandingkan rencana impor di tahun sebelumnya yang sebesar 991 ribu ton. Meski begitu, dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor gula konsumsi dan industri untuk periode Januari-September 2025 mencapai 3,66 juta ton atau senilai 2,15 miliar dolar Amerika Serikat (AS).

“Mei sudah musim giling. Setelah itu aka nada produksi lagi,” sambung Indra.

Sementara menunggu musim giling, Bapanas akan mencoba melakukan stabilisasi pasokan dan harga gula di tingkat konsumen. Hal ini di antaranya dilakukan melalui Gerakan Pangan Murah (GPM), Fasilitas Distribusi Pangan (FDP) dan Kios Pangan.

“Masyarakat juga dapat membeli gula di retail modern sesuai HAP,” jelas Indra.

Sementara itu, dengan produksi yang diperkirakan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan sampai akhir 2024 sebesar 2,47 juta ton, stok akhir yang akan menjadi stok awal 2025 diperkirakan masih sebanyak 1,48 juta ton. Setidaknya, stok ini akan dapat mencukupi kebutuhan konsumsi gula rumah tangga sampai Juni 2025.

Namun, dengan musim giling yang baru akan datang pada Mei 2025, stok gula konsumsi dinilai riskan dan masih membutuhkan tambahan stok untuk 1-2 bulan setelahnya.

“Stok yang ada terbatas. Sementara hasil giling perlu waktu untuk sampai ke pasar dan bisa diakses konsumen, (yang perlu waktu) 15 hari hingga sebulan,” ujar Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, kepada Tirto, Senin (30/1/2025).

Karena itu, untuk mengamankan pasokan gula konsumsi selama 1-2 bulan, ia menyarankan agar pemerintah setidaknya mengimpor gula. Hal ini juga perlu dilakukan untuk menjaga agar harga gula tak semakin melonjak, sebelum pada akhirnya pemerintah dapat menyetop impor gula tebu.

“Maksudnya stok tambahin itu (dari impor). Enggak ada lagi sumbernya kalau tidak dari impor,” imbuh dia.

Berbeda dengan Khudori yang menilai naiknya harga gula konsumsi disebab oleh keterbatasan pasokan, Tenaga Ahli Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Yadi Yusriadi, menduga kenaikan harga gula konsumsi terjadi karena faktor psikologis. Dalam hal ini, para pedagang khawatir penghentian impor gula konsumsi mulai 2025 untuk menyongsong swasembada gula akan berimbas pada terbatasnya pasokan gula lokal.

Maka, kata dia, para pedagang termasuk distributor saling berebut untuk mendapat pasokan gula dari pabrik-pabrik gula.

“Jadi, ada yang namanya distributor satu, yang beli gula banyak. D2 (distributor kedua), D3 (distributor ketiga), sampai ke pengecer, itu punya jaringan. Pedagang ini biasanya menguasai daerah sini, pedagang ini menguasai ini. Nah, mereka sekarang tidak mudah mendapatkan gula. Karena dulu kan ada gula dari impor sama dari pabrik gula. Sekarang cuma dari pabrik gula,” jelas Yadi, saat dihubungi Tirto, Senin (30/1/2025).

Bahkan, untuk mengamankan pasokan di antara mereka sendiri, para pedagang rela membeli gula lebih mahal dari harga normal, yakni di atas Rp16.000 dari yang sebelumnya hanya sekitar Rp15.000 per kilogram. Hal inilah yang kemudian memicu kenaikan harga gula di sisi konsumen.

Dengan kondisi ini, pemerintah jelas harus melakukan intervensi, namun bukan dengan cara kembali mengaktifkan keran impor. Untuk menstabilkan harga gula, pemerintah dapat masuk melalui perusahaan-perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pangan seperti PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) alias RNI atau Perum Bulog.

“Kalau pemerintah ini mengintervensi, dalam arti begini, kan sudah ada HET (Harga Eceran Tertinggi). Nah, itu kan ada toleransinya. Itu aja. Jadi, mana daerah-daerah yang kekurangan stok gula, itu dipenuhi melalui instrumen-instrumen pemerintah. Kan banyak, ada perusahaan-perusahaan BUMN, itu dimintai mendistribusikan stok-stok yang ada,” sambung dia.

Meski begitu, Yadi memastikan tak ada masalah dengan stok gula konsumsi nasional. Pada 2024 saja, produksi gula konsumsi di dalam negeri setidaknya mencapai 2,465 juta ton, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 2,2 juta ton. Pada 2025, ketika para petani tebu terpacu untuk meningkatkan produksi seiring dihentikannya keran impor gula, produksi gula diperkirakan dapat meningkat hingga 2,7 juta ton.

“Kalau dilihat dari stok kan kebutuhan gula ini kan sekitar 240-250 ribu ton per bulan. Kalau kita lihat dari itu, mestinya sampai Mei cukup. Sekarang sudah ada pabrik yang giling di Medan, nanti mungkin bulan depan itu di Lampung. Sehingga nanti di Maret, April, itu sudah ada penambahan gula tambahin, walaupun mungkin jumlahnya tidak terlalu banyak. Tapi paling tidak itu sudah cukup,” terangnya.

Karena itu, Yadi menilai, pemerintah tak perlu ragu untuk menghentikan impor gula konsumsi sepenuhnya. Karena, hanya dengan kebijakan ini para petani tebu dapat terdorong untuk menaikkan produksi tebu mereka.

“Dengan adanya setop impor ini, peluang harga gula itu relatif stabil dan cukup menggairahkan petani untuk memperluas areal tanamnya. Nah, dengan areal yang berkembang, produktivitas juga, petani akan lebih komit, ya. Karena dengan harga yang bagus, dia akan melihatlah tanamannya lebih baik,” tegas Yadi.


tirto.id - News

Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Abdul Aziz

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |