tirto.id - Pada awal Maret 2025, sebagian wilayah Jabodetabek dilanda banjir yang meluas. Di sebagian area, itu menjadi banjir terparah dalam beberapa waktu belakangan. Publik menyoroti peristiwa kali ini sebagai siklus banjir lima tahunan.
Parahnya dampak banjir Jabodetabek itu lantas memunculkan pertanyaan besar mengenai efektivitas infrastruktur pengendalian banjir yang telah dibangun oleh pemerintah selama ini.
Salah satu proyek pengendalian banjir yang paling disorot adalah Bendungan Ciawi-Sukamahi. Dua bendungan yang terletak di Kabupaten Bogor itu merupakan bagian dari sistem pengendalian banjir Jakarta dan sekitarnya yang diresmikan oleh mantan Presiden Joko Widodo pada akhir 2023.
Bendungan Ciawi dan Sukamahi pun digadang-gadang mampu menampung kelebihan air dari hulu Sunga Ciliwung dan mengalirkannya secara terkontrol ke hilir.
Bendungan Ciawi memiliki daya tampung 6,05 juta meter kubik dan luas area genangan 39,49 hektare. Bendungan yang mulai dibangun pada 2016 ini juga bisa mereduksi debit air Sungai Ciliwung sebelum sampai ke Jakarta dengan kapasitas 111,75 meter kubik per detik.
Sementara itu, Bendungan Sukamahi mulai dibangun pada 2017. Bendungan ini mempunyai daya tampung 1,68 juta meter kubik dan luas area genangan 5,23 hektar. Ia dapat mereduksi debit air sebesar 15,47 meter kubik per detik. Bendungan ini berfungsi untuk mereduksi aliran dari beberapa anak sungai yang mengalir ke Sungai Ciliwung, seperti Sungai Sukabirus.
Bendungan Ciawi dan Sukamahi kini tentu sudah beroperasi, tapi ternyata banjir besar tetap terjadi. Hal itu menunjukkan bahwa fungsi dua bendungan itu kurang maksimal dalam menanggulangi banjir.
Fenomena Cuaca Berubah
Pakar infrastruktur dan tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan bahwa perencanaan teknis Bendungan Ciawi dan Sukamahi bisa dibilang kurang matang. Sebab, pemerintah hanya berfokus pada satu tempat yang intensitas curah hujannya tinggi, dalam hal ini adalah kawasan Puncak Bogor.
“Jadi, barangkali perhitungan-perhitungan pemerintah itu mengantisipasi kalau terjadi curah hujan yang tinggi di Puncak. Dan itulah disiapkan skenario Bendungan Ciawi-Sukamahi untuk dijadikan sebagai pengendali potensi air,” kata Yayat saat dihubungi Tirto, Selasa (11/3/2025).
Apabila curah hujan berintensitas tinggi terjadi di hulu atau kawasan Puncak, Bendungan Ciawi dan Sukamahi memang bisa berperan optimal menampung dan mengatur debit air. Masalahnya, menurut Yayat, fenomena cuaca bisa berubah.
“Satu yang kita harus terima bahwa ada hal-hal yang mungkin tidak terbaca selama ini ketika fenomena cuaca itu berubah,” kata Yayat.
Hal itulah yang luput dari perhitungan pemerintah. Pasalnya, banjir yang melanda wilayah Jabodetabek di awal Ramadhan kemarin adalah akibat curah hujan tinggi di wilayah Kota Bogor, Katulampa, Sentul, dan sekitarnya, bukan di wilayah Puncak.
“Ketika hujan berada di situ, itu tingginya luar biasa dan tidak ada bendungan atau tanggul di tengah Ciliwung. Jadi, airnya tetap turun,” kata Yayat.
Di Kota Bogor, memang masih ada Bendungan Katulampa. Sebagian air Ciliwung yang melaluinya dialirkan lewat pintu air ke Kali Baru Timur. Namun, di hilir tidak ada bendungan lagi yang bisa mengontrol debit air Sungai Ciliwung.
“Di Katulampa ke bawahnya tidak ada bendungan lagi ya. Itu maka mengakibatkan Jakarta Timur, Kalibata, kemudian di Kebon Pala sekitarnya itu kebanjiran,” jelas Yayat.
Kondisi Bendungan Ciawi setelah diresmikan di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (23/12/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nz.
Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umum, Lilik Retno Cahyadiningsih, mengklaim bahwa Bendungan Ciawi dan Sukamahi sejatinya sudah berfungsi dan menunjukan kinerja yang baik.
Bendungan Ciawi, seturut Lilik, mampu menahan hingga 2 juta meter kubik air, sementara Bendungan Sukamahi menampung 0,3 juta meter kubik air. Keberhasilan ini menunjukkan efektivitas sistem pengelolaan air yang ada.
“[Bendungan] Ciawi dan Sukamahi sudah menunjukkan kinerjanya,” kata Lilik saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (11/3/2025).
Namun, pihaknya tak bisa memungkiri bahwa itu belum bisa jadi solusi tunggal atas curah hujan ekstrem yang menyebabkan banjir di wilayah Jabodetabek.
“Kemarin, yang terjadi di bawah Ciawi dan Sukamahi hujan ekstrem,” imbuh dia.
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yus Budiono, mengamini bahwa banjir di Jabodetabek dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya peningkatan intensitas peristiwa ekstrem. Perubahan iklim global menyebabkan lebih banyak hujan ekstrem, seperti yang terjadi pada 1 Januari 2020 dan akhir Januari 2025 ketika curah hujan mencapai lebih dari 300 mm—jauh di atas normal.
Lebih lanjut, Yus menjelaskan bahwa banjir di Jabodetabek bisa dikategorikan ke dalam tiga jenis utama, yakni banjir akibat hujan lokal (torrential rain flood), banjir akibat luapan sungai (fluvial flood), serta banjir akibat pasang laut (coastal flood).
"Banjir yang terjadi beberapa waktu lalu lebih dominan sebagai fluvial flood, di mana hujan terjadi lebih intens di bagian hulu dan menyebabkan luapan air di sungai-sungai besar," ujar Yus dikutip dari laman BRIN, Selasa (11/3/2025).
Apa yang Perlu Dilakukan?
Untuk mengantisipasi terulangnya bencana di masa depan, Kementerian Pekerjaan Umum berencana membuat kolam retensi di beberapa titik. Kendati demikian, pendanaan proyek itu belum dimasukan anggaran tahun ini.
"Dan juga untuk jangka pendeknya adalah kita melakukan penanganan-penanganan darurat," kata Lilik.
Menurut pakar tata kota, Nirwono Yoga, Kementerian PU idealnya perlu melakukan evaluasi terhadap efektivitas Bendungan Ciawi dan Sukamahi yang belum sesuai harapan. Evaluasi ini bertujuan untuk menilai dampaknya terhadap pengendalian banjir dan aliran air Sungai Ciliwung.
“Keberadaan sodetan menuju Banjir Kanal Timur (BKT) juga menjadi salah satu fokus dalam upaya pengelolaan air yang lebih baik,” kata Nirwono kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).
Selain itu, aliran Sungai Ciliwung idealnya harus bebas dari bangunan. Penataan dan pemanfaatan lahan hijau atau lahan kosong untuk pembangunan embung, danau, atau waduk baru juga menjadi salah satu langkah penting untuk mengurangi debit air sungai dan menampung luapan air.
Warga merekam video debit air Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (3/3/2025). Hujan deras di wilayah Bogor dan sekitarnya sejak Minggu (2/3/2025) siang hingga malam hari mengakibatkan Tinggi Muka Air (TMA) Sungai Ciliwung di Bendung Katulampa, Kota Bogor, naik mencapai 220 sentimeter dengan status Siaga satu banjir pada pukul 21.33 WIB. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/YU
Dalam jangka panjang, pemerintah juga perlu memperkuat upaya penertiban tata ruang dan alih fungsi lahan di sepanjang kawasan hulu hingga hilir Sungai Ciliwung. Langkah ini merupakan respons terhadap ancaman banjir yang semakin sering melanda wilayah Jabodetabek selama musim hujan.
Alih fungsi lahan dan perubahan tata ruang yang tidak terkontrol menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir di Jabodetabek. Pembangunan perumahan, kawasan komersial, dan infrastruktur lain di daerah resapan air serta di sepanjang aliran sungai telah mengurangi kapasitas sungai untuk menampung air.
Selain itu, adanya pembangunan di daerah-daerah kritis juga menyebabkan penyempitan saluran air yang memperparah potensi banjir.
“Pemerintah juga perlu melakukan pembongkaran bangunan yang melanggar serta merelokasi permukiman yang langganan banjir ke rusunawa,” kata Nirwono.
Dengan penertiban tata ruang dan pengawasan ketat terhadap alih fungsi lahan, wilayah Jabodetabek diharapkan dapat terhindar dari ancaman banjir yang semakin membahayakan masyarakat dan infrastruktur kota. Upaya ini diharapkan dapat mengurangi risiko banjir serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang terdampak.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi