tirto.id - Tahun 1995, Suharnoko Harbani berkenalan dengan Irna H. N. Hadi Soewito, sejarawan sekaligus dosen luar biasa di Fakultas Sastra UI. Mereka dipertemukan oleh Kol. Purn. Moeljati (pendiri Kowad). Melalui pertemuan itu, secara personal, Suharnoko mengharap bantuan Irna membukukan penelitian ihwal perjuangan AURI.
Harapan itu kini telah bersemayam dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945, terbitan Yayasan Obor Indonesia (2008). Dalam bagian prakata, Irna mengaku sempat mengalami kemandekan cukup lama lantaran Suharnoko jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Namun lewat kegigihannya beserta bantuan tim redaksi lainnya, ia berhasil menyelesaikan buku ini setelah melalui proses panjang lebih kurang 12 tahun.
Suharnoko Harbani (30 Maret 1925-5 November 2001) adalah salah satu penggawa kenamaan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Publik tak banyak mengenal namanya di masa-masa awal kemerdekaan. Terlebih karier awalnya di kedirgantaraan menjadi seorang petugas pemeriksa kadar bensin dan minyak di bengkel pesawat Wonocatur, Yogyakarta.
Namun sejak insiden pengeboman tangsi Belanda di Semarang, Salatiga, dan Ambarawa, publik nasional mulai mengelu-elukan namanya.
Tanggal 29 Juli 1947 adalah salah satu momen paling spesial dalam hidupnya. Bersama sejawat kadet (taruna) penerbang lainnya: Mulyono, Dulrachman, Sutardjo Sigit, Sutarjo, Kaput, dan Bambang Saptoadji, mereka menggoreskan tinta sejarah.
Para Kadet dan Keterbatasan Pesawat
Suharnoko merupakan kadet angkatan pertama di Sekolah Penerbang Maguwo (Yogyakarta). Kawan sejawatnya waktu itu di antaranya A. Patah, Aryono, Jusran, Makmur Suhodo, Mulyono, Sudaryono, Sugoro Sastrodimejo, Wim Prayitno, dan Prayitno. Mereka semua adalah kadet-kadet yang minim atau malah nihil pengalaman.
Dikutip dari buku babon Dinas Penerbangan TNI AU, Sejarah Pendidikan Perwira Penerbang, 1945-1950, Suharnoko hanya memiliki satu pakaian kerja yang terbuat dari kain belacu yang dicelup air rebusan kulit pohon mahoni. Maka itu, warna kainnya cenderung kuning kecokelatan.
Baju itu ia pakai berulang kali setiap pagi, bahkan ketika kerahnya telah kumal. Pakaian itu saksi bisu puluhan atau mungkin ratusan latihan yang ia jalani.
Sekolah Penerbang Maguwo tak memiliki gedung. Para kadet secara darurat belajar di bawah pohon ceri. Jika bosan, sesekali mereka berpindah ke pohon waru dekat menara di tepi lapangan. Sementara kalau hujan menerpa, mereka menepi di selasar Asrama Hotel Tugu.
Beruntung, Jepang meninggalkan pesawat Cureng (Yokosuka K5Y) buatan tahun 1933. Oleh Sekutu, pesawat itu disebut Willow. Itulah satu-satunya jenis pesawat latih yang tersedia di Sekolah Penerbang Maguwo.
Suharnoko dan kawan-kawannya berlatih kurang lebih 15 jam dalam sehari. Bahkan dengan segala keterbatasan, sudah ada beberapa kadet yang mahir mengudara solo.
Dengan modal kemantapan hati serta daya juang penuh kobar, para taruna didik sekolah ini dengan cekatan menguasai pengetahuan-pengetahuan dasar penerbangan.
Misi Balas Dendam para Amatir
Senin, 21 Juli 1947, di siang terik sebuah pemandangan mencekam di Pangkalan Maguwo (kini Lanud Adisucipto) menyayat hati. Enam buah pesawat terbakar. Di antaranya Cukiu, Nishikoreng, dan beberapa Cureng. Sebagian besar tinggal kerangka dan abu.
Insiden itu disebabkan aksi polisionil atau Agresi Militer Belanda I. Belanda tak cukup puas dengan Perjanjian Linggarjati. Pesawat-pesawat Republik dibombardir. Tak hanya menimbulkan kerusakan di pangkalan udara, tapi juga turut menelan korban jiwa.
Selama agresi militer, sekolah penerbang diliburkan. Para kadet dilarang meninggalkan kompleks pangkalan. Bila siang, mereka diperintahkan wajib jaga. Sementara malamnya, mereka mengungsi ke kompleks perkantoran Wonocatur.
Dalam situasi seperti ini, Suharnoko dapat menyaksikan serangan udara dahsyat dari dekat. Empat buah pesawat Kitty Hawk menukik tajam ke arah kamp. Sebuah manuver yang disebut lazy eight dilakukan dua-dua bergantian, sembari membabi buta melepaskan meriam (20 mm) serta lesatkan misil machine gun (12,7 mm).
Para kadet penerbang dan penembak pada operasi pemboman pertama Angkatan Udara RI pada 29 Juli 1947. (FOTO/TNI Angkatan Udara)
Pemandangan ini membikin melahirkan dendam kesumat pada diri Suharnoko. Di Pangkalan Maguwo, ia tak jengkel sendirian. Bersama dengannya, berkumpul para kadet lain yang hendak digembleng untuk menjadi calon penerbang AURI. Mereka adalah Bambang Saptoaji, Sutarjo Sigit, dan Mulyono.
Mereka sama-sama muda, tersulut patriotismenya, serta marah harga diri bangsanya diinjak-injak. Mereka berunding, merencanakan strategi, dan berniat melancarkan operasi balasan terhadap kompeni.
“Rupanya anak-anak [kadet] itu merasa gemas. Apalagi kemudian banyak sekali [pesawat] yang hancur akibat serangan udara. Lantas dianggapnya kekuatan Indonesia sudah tidak ada lagi. Semangat anak-anak amatiran itu yang ingin kita angkat,” ungkap Marsekal Elang Suryadi Suryadarma menukil dari Sutrisno Kutoyo, Marsekal TNI Suryadi Suryadarma (1985).
Diam-diam, mereka meminta bantuan para teknisi untuk memperbaiki serta memodifikasi sisa-sisa pesawat yang masih layak pakai. Kemudian dengan mantap menghadap Komodor Muda Udara (KMU) Halim Perdanakusuma.
Halim dikenal dekat dengan para kadet. Selain muda dan masih bujang, ia juga tinggal di kamp bersama para amatir muda di pangkalan. Namun soal perizinan operasi bukanlah kewenangannya.
Tak mau usahanya mengalami kebuntuan, para kadet sepakat menunjuk Suharnoko menjadi perwakilan mereka untuk menghadap Marsekal Suryadarma.
Suryadarma bukan orang yang gampang memberikan izin. Ia bersikeras menolak. Alasannya tentu lantaran kecukupan umur, pangkat, dan pengalaman yang belum pernah mereka jumpai.
Saat itu, Suharnoko yang berusia 22 tahun berani membantah.
“... yang berjuang di front juga masih muda-muda dan bersenjata seadanya. Para kadet sudah mampu terbang; AURI mempunyai pesawat terbang dan bom. Mengapa tidak boleh unjuk gigi?” ungkap Irna menulis kesaksian Suharnoko.
Setelah menyaksikan kegigihan dan semangat juang anak-anak muda di depan matanya, Suryadarma melunak dan menyatakan, “Saya tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang.”
Bahu-membahu Mempersiapkan Serangan Balasan
Usai mendapat restu dari Suryadarma, Halim segera memberi arahan taktis dan rincian strategi penyerangan. Ia menghendaki para kadet membombardir tangsi-tangsi Belanda di Semarang dan Salatiga.
Empat buah pesawat telah disiapkan: pengebom-tukik (dive-bomber) Guntai, fight-trainer Hayabusha, dan dua buah pesawat latih dasar (basic trainer) Cureng.
Kaca-kaca kokpit telah dilepas. Badan dan sayap dicat warna hijau militer. Sementara itu, modifikasi diutamakan pada mekanisme penjatuhan bom yang tergantung di kedua sayap.
Masing-masing pesawat membawa bom seberat 50 kg berupa brisant (fragmentation bombs). Enam buah untuk Guntai, dan masing-masing dua buah untuk setiap Cureng.
Di samping itu, Guntai juga dilengkapi mekanisme fixed machine guns di kedua sayapnya. Sedangkan Hayabusha, dua buah di hidungnya, di atas cowling mesin baling-baling putar.
Mulyono dengan Dulrachman sebagai juru tembak ditugaskan menyerang Semarang memakai pesawat Guntai. Pesawat mereka dikawal Hayabusha dengan pilot Bambang Saptoaji.
Kemudian Sutarjo Sigit yang mengendarai Cureng modifikasi diperintahkan membombardir Salatiga. Sebagai fight leader, ia melaju bersama penembak yang bernama Sutarjo.
Para kadet penerbang dan penembak pada operasi pemboman pertama Angkatan Udara RI pada 29 Juli 1947. (Instagram/@militer.udara)
Sementara itu, Suharnoko Harbani bertindak sebagai wingman. Beserta juru tembak udara Kaput, ia diberi tugas khusus bermanuver dan mengacaukan fokus pertahanan dengan Cureng modifikasi.
Halim kembali menginstruksikan, dilarang melesat langsung menuju sasaran, tetapi harus menggunakan taktik dog-leg (kaki anjing, istilah formasi garis bengkok).
Usai mendengarkan dengan lengkap instruksi yang dijabarkan, pesawat-pesawat itu siap terbang. Di luar masih gelap gulita, bulan bersembunyi, tetapi cuaca terlihat cerah dengan bintang-bintang menghiasi langit kelam.
Hari Selasa, 29 Juli 1947, Pukul 05.00 pagi, Pangkalan Maguwo jadi saksi bisu kepulan asap pesawat para kombatan muda, melesat di udara melancarkan operasi pengeboman pertama.
Pengeboman di Ambarawa
Saat lepas landas, Sutarjo Sigit (fight leader) yang dikawal Suharnoko sebagai wingman tampak kebingungan. Hingga satu putaran di atas Pangkalan Maguwo, Suharnoko belum juga tampak batang hidung pesawatnya.
Akhirnya, ia putuskan sesuai arahan taktis Halim, siapkan formasi dog-leg sembari terus sorotkan senter ke segala penjuru untuk memberi isyarat ke wingman.
Kenyataan yang terjadi, ekor asap yang dibuntuti oleh Suharnoko adalah gas buangan milik Mulyono. Hal tersebut terjadi lantaran Guntai yang dikemudikan Mulyono berbadan paling besar. Karenanya, ia salah mengira pesawat itu adalah Cureng yang dikendarai Sutarjo Sigit.
Saat menyadari bahwa pesawat yang dibuntutinya bukan Sutarjo Sigit, Suharnoko mengambil inisiatif. Ia mengambil jurusan lain di luar jalur. Sampai kemudian pada ketinggian tertentu, ia melihat sebuah danau di pusat kota. Ia mengira itu adalah Ambarawa daerah yang diduduki musuh.
Hal itu di luar perkiraan siapa pun, termasuk Belanda. Mereka tak menyangka akan kedatangan pesawat AURI. Suharnoko dengan dua buah bom di sayap siap lepas mengambil kuda-kuda. Mula-mula, ia melepaskan bom di sayap kiri. Sasarannya lapangan parkir kendaraan tentara Belanda.
Saat hendak menargetkan sasaran kedua, ia baru sadar pesawatnya berada pada titik terbang yang terlalu rendah. Karenanya, bom kedua jatuh kurang kuat, sehingga ia tak tahu pasti apakah bom tersebut meledak atau tidak. Setelah kedua bom selesai diluncurkan, ia bergegas melesat rendah menuju Salatiga.
Dalam operasi itu, rupanya Suharnoko adalah pilot terakhir yang mendarat di landasan. Hal tersebut dikarenakan rute spekulatif yang diambilnya mengharuskan memutar cukup jauh. Setelah sukses mendarat, pesawatnya segera disembunyikan oleh Kliwon di sebuah desa dan tertutup rimbun pepohonan.
Tindakan para kadet muda ini patut diacungi jempol. Sekalipun tak memberikan kerusakan yang “berarti”, tetapi setidaknya hal ini menunjukkan bahwa para kaum Republik masih memiliki nyali.
Dampak psikologisnya cukup terasa dan kentara. Bahkan semenjak insiden tersebut, Belanda gelagapan mengubah strategi dengan mematikan seluruh arus listrik di Jawa Tengah pada malam hari.
Agaknya, para calon perwira Sekolah Penerbang ini memilih cara penggemblengan yang tak biasa dan di luar anggapan normal. Insiden ini sekaligus menandai kesuksesan operasi pengeboman udara pertama Indonesia.
Perjuangan para kadet muda pelaku pengeboman udara pertama dibawa ke layar lebar dengan tajuk Kadet 1947 (2021). Film ini digarap oleh Temata Studios yang didukung oleh TNI AU. Film ini ditulis dan disutradarai oleh Rahabi Mandra dan Aldo Swastia.
tirto.id - News
Kontributor: Abi Mu'ammar Dzikri
Penulis: Abi Mu'ammar Dzikri
Editor: Irfan Teguh Pribadi