tirto.id - Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka resmi membuka layanan pengaduan masyarakat ‘Lapor Mas Wapres’ di Kantor Wakil Presiden per Senin (11/11/2024) kemarin. Selain layanan pengaduan secara langsung, masyarakat bisa mengajukan pengaduan melalui kontak WhatsApp resmi ‘Lapor Mas Wapres’ di nomor 081117042207.
Layanan ‘Lapor Mas Wapres’ di Gedung Sekretariat Wakil Presiden, dibuka pada Senin hingga Jumat mulai pukul 08.00 hingga 14.00 WIB. Kuota aduan dalam sehari khusus warga yang ingin jalur tatap muka dibatasi hanya sebanyak 50 aduan.
Deputi Administrasi Setwapres, Sapto Harjono, menyampaikan aduan dari masyarakat nantinya akan diproses selama 14 hari kerja. Pengadu nantinya bisa mengikuti perkembangan aduan disampaikan melalui situs setwapreslapor.go.id.
Gibran sendiri, kata Sapto, menginginkan aduan yang masuk dapat diproses secara cepat. Jika nantinya aduan yang masuk adalah berkaitan dengan instansi lain, ia akan langsung dikoordinasikan untuk segera diselesaikan.
"Beliau (Wapres Gibran) menginginkan respons yang secepat-cepatnya dan segera dikoordinasikan dengan instansi terkait apabila memang membutuhkan koordinasi seperti itu. Karena beliau konsen dengan aduan ini," ujar dia kepada di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2024).
Pembukaan layanan pengaduan masyarakat yang diinisiasi oleh Gibran ini pun menuai kritik dari sejumlah pihak kendati niatnya adalah baik. Tak sedikit sejumlah pihak menilai langkah tersebut berlebihan dan gimik politik ketimbang solusi nyata bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai penyediaan hotline untuk wakil presiden terasa terlalu berlebihan. Mengingat laporan dan pengaduan pada dasarnya bersifat administratif dan bisa ditangani oleh level yang lebih rendah.
Sementara posisi wakil presiden sendiri sejatinya berada di puncak kepemimpinan, seperti halnya posisi top manajemen dalam sebuah perusahaan. Pada level ini, seorang pemimpin seharusnya lebih fokus pada pengembangan konsep-konsep strategis dan inovasi kebijakan yang dapat membawa dampak luas bagi bangsa.
“Dengan kata lain, wakil presiden idealnya berperan sebagai perumus visi dan arah kebijakan besar, bukan terlibat dalam detail-detail operasional yang seharusnya dikerjakan birokrasi di bawahnya,” ujar Felia kepada Tirto, Senin (11/11/2024)
Terlebih, kata Felia, Kabinet Merah Putih sudah memiliki beragam kementerian/lembaga terkait yang seharusnya bisa menangani hal tersebut. Dan seorang Gibran yang menjabat wakil presiden, seharusnya mendapatkan laporan berdasarkan catatan yang masuk dan direkap oleh birokrasi di bawahnya, terutama yang ada dalam ranah koordinasinya.
“Adanya hotline yang langsung terhubung ke wakil presiden bisa justru menciptakan persepsi proses kerja lembaga kepresidenan, terutama wakil presiden, yang kurang efektif,” jelas Felia.
Menurut Felia, ketimbang berfokus pada isu-isu fundamental atau masalah struktural, Gibran Rakabuming Raka lebih baik mengurusi hal-hal strategis dan solutif sesuai tugas, fungsi, dan wewenangnya. Karena khawatir wakil presiden justru nantinya terjebak dalam hal-hal teknis yang sebenarnya bisa dikelola oleh lembaga-lembaga atau instansi terkait di bawahnya.
Toh, kata Felia, pemerintah selama ini juga memiliki alur birokrasi yang sudah terstruktur, di mana aspirasi dari tingkat bawah disampaikan secara berjenjang, hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Selama ini sudah ada model kontak aduan seperti musyawarah rencana pembangunan (musrenbang), bahkan aplikasi untuk mengajukan laporan.
“Justru mekanisme yang ada inilah yang perlu dievaluasi dan diperbaiki kinerjanya dan dampaknya, dan bukan menghadirkan hotline seperti itu,” ujarnya.
Memunculkan Masalah Baru
Felia justru khawatir, jika aspirasi atau laporan ini langsung diarahkan ke pejabat di level puncak, justru memunculkan masalah baru. Pertama, potensi tumpang tindih dengan fungsi instansi lain yang sebenarnya memiliki wewenang menangani isu tersebut.
Kedua, mekanisme pemerintah dalam merespons setiap aspirasi yang masuk dengan efektif akan seperti apa nantinya, mengingat jumlahnya yang bisa sangat besar. Ketiga, persoalan dalam menentukan skala prioritas dari berbagai laporan yang diterima seperti apa. Ini penting agar isu-isu yang paling mendesak atau berdampak luas mendapatkan perhatian yang layak.
“Selain itu, hal ini juga bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat. Belum lagi kita tahu di DPR juga ada Badan Aspirasi Masyarakat, juga setiap komisi di parlemen di beragam level juga memiliki tugas menyerap aspirasi sesuai dengan tupoksi masing-masing,” jelasnya.
Menurutnya hal-hal di atas perlu dipertimbangkan, karena jika pada akhirnya tidak efektif, lebih baik tidak perlu dilakukan karena akan berlebihan dan sia-sia. Alih-alih mendukung efisiensi, hal ini justru bisa mempersulit tata kelola karena waktu dan tenaga Gibran tersita untuk menangani hal-hal yang sifatnya teknis.
“Mungkin kebijakan ini dimanfaatkan untuk memberikan pengaruh lebih pada isu yang mungkin dianggap penting dari segi pencitraan,” kata Felia.
Burhanuddin, warga Lamandau, Kalimantan Tengah yang mengadukan lemahnya penegakan hukum di daerahnya ke Lapor Mas Wapres di Istana, Merdeka Selatan, Senin (11/11/2024). tirto.id/Ayu Mumpuni
Dalam hal ini, Gibran seolah menanamkan kesan bahwa posisinya berperan secara langsung dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat memberi kesan kontras dengan wapres sebelumnya yang terkadang dipersepsikan "kurang terlihat" atau bahkan dianggap "tidak bekerja”.
“Ini sebuah citra yang sering kali memudarkan makna dan peran strategis jabatan tersebut di mata publik,” ujar Felia.
Di sisi lain, hotline ini dapat dilihat sebagai cara untuk memperkuat citra Gibran di mata masyarakat. Ini karena Gibran seringkali dinilai dengan skeptis, baik karena usianya yang masih sangat muda, karier politiknya yang baru dan belum teruji, maupun kontroversi yang mengiringi langkahnya di panggung politik.
Kebijakan semacam ini, kata Felia, bisa jadi dirancang sebagai strategi komunikasi untuk menunjukkan bahwa sebagai wapres, Gibran dapat mudah dijangkau dan dapat diandalkan, serta memiliki kepedulian langsung terhadap aspirasi masyarakat dan kesanggupan mengambil langkah nyata dalam kepemimpinannya.
“Selain itu, kebijakan ini juga mungkin dimaksudkan sebagai cara bagi Gibran untuk membangun kepercayaan publik dan memperbaiki persepsi yang kurang positif terkait dirinya,” jelasnya.
Apakah Murni Hanya Gimik?
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengatakan apa yang dilakukan Gibran sejatinya bisa dikerjakan oleh para menterinya, baik itu di tingkat menteri koordinator (menko) ataupun tingkat menteri saja.
“Untuk itu aduan yang dibuka Wapres murni gimik politik, karena aduan itu tidak lantas bisa diselesaikan oleh wapres,” ujar Dedi kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Menurut Dedi, Gibran dengan berbagai kontroversinya potensial menjalankan jabatan wakil presiden secara politis dan populis, ini justru mengkhawatirkan. Selain berpeluang akan habiskan anggaran negara untuk kegiatan tidak berdampak, juga potensial membangun simpati publik secara manipulatif.
“Maka, Prabowo punya hak menyetujui dan tidak atas program Wapres, karena kekuasaan yang dilindungi UU adalah Presiden,” jelas Dedi.
Analis Sosio-politik dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Musfi Romdoni, justru melihat bahwa layanan ‘Lapor Mas Wapres’ ini adalah cara Gibran untuk tetap diperbincangkan. Ketika jadi Wali Kota Solo kemarin, Gibran juga membiarkan nomornya untuk melakukan pengaduan.
“Kalau bicara orisinalitas gagasan, bisa dikatakan Gibran meniru Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dulu. Waktu itu juga SBY memberikan nomornya ke publik bagi yang mau curhat langsung. Jadi, kalau dikatakan kebijakan ini bukan levelnya, saya kira tidak begitu. Toh dulu Presiden SBY juga melakukannya,” jelas Musfi kepada Tirto, Senin (11/11/2024).
Tapi, lanjut Musfi, harus dilihat juga seberapa efektif kebijakan lapor langsung ini. Dulu ketika SBY membiarkan nomornya di SMS dan ditelepon, tidak banyak yang bisa dilakukan karena handphone SBY menjadi rusak karena ada ribuan SMS dan telepon yang masuk. Di periode kedua, SBY kemudian membuat nomor SMS resmi yang dibalas melalui pesan otomatis.
“Kalau pakai pesan otomatis berarti kan tidak ada interaksi langsung di sana. Kebijakan itu bisa dikatakan tidak efektif,” jelas dia.
Musfi sendiri justru mempertanyakan bahwa kebijakan ‘Lapor Mas Wapres’ ini, apakah mungkin menanggapi ribuan aduan dalam waktu berdekatan? Kemudian, bagaimana memilih aduannya, menanggapinya, atau sekadar membalasnya?
“Ada banyak persoalan teknis sebelum ke masalah prinsipil seperti menyelesaikan aduan,” imbuhnya.
Maka, jangan sampai kebijakan ‘Lapor Mas Wapres’ ini hanya jadi gimik-gimik politik agar terkesan selalu yang paling siap untuk mendengarkan rakyat.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Publik Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan satu sisi layanan ‘Lapor Mas Wapres’ bisa merespons isu-isu yang mungkin terlewat di tingkat daerah.
Wapres dalam hal ini, bisa menampung keluhan rakyat yang seringkali terhambat di birokrasi daerah, sekaligus meningkatkan akuntabilitas dan pengawasan terhadap pemerintah daerah atau kementerian dalam menangani masalah-masalah mendesak.
Namun, kata Media, efektivitas layanan ini akan sangat bergantung pada kejelasan mekanisme tindak lanjutnya. Jika pengaduan masyarakat tidak direspon dengan tindakan nyata, maka langkah ini mungkin hanya strategi pencitraan atau sekadar gimik politik.
tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto