Masjid Cheng Ho Surabaya Terbuka bagi Semua Orang

1 day ago 8

tirto.id - Laksamana Cheng Ho, begitu dia sekarang dikenal. Laksamana yang lahir di Yunnan pada 1371 itu adalah seorang muslim. Hui, asal sukunya, merupakan salah sebuah suku terbesar di Cina yang orang-orangnya banyak memeluk Islam. Itulah mengapa identitas ISlam melekat padanya.

Dan banyak muslim Indonesia kiwari membanggakan serta terutama mengenangnya. Terlebih, liku lekuk hidupnya pernah bersentuhan dengan sejarah Nusantara.

Di usia yang masih belia, dia ikut tertangkap dalam serbuan Dinasti Ming ke Yunnan pada 1381. Dia dibawa ke pusat pemerintah Kekaisaran Cina untuk menjadi kasim setelah dikebiri.

Ditunjuk menjadi pelayan di kediaman Pangeran Yan (Zhu Di), Cheng Ho tumbuh menjadi pemuda yang setia sekaligus cakap. Pangeran itu takjub padanya hingga kemudian menaruh kepercayaan pada pundaknya. Sejak itu, ia sering dilibatkan oleh sang pangeran dalam berbagai peristiwa penting.

Satu contoh yang patut dicatat adalah kontribusi besarnya pada sang pangeran dalam merebut takhta Kekaisaran Cina.

Pangeran Yan akhirnya menduduki singgasana Dinasti Ming pada 1402 dan sejak saat itu dikenal sebagai Kaisar Yongle (1402-1424). Cheng Ho pun mendapat jabatan tinggi di kerajaan. Ia diangkat menjadi panglima yang paling diandalkan sang kaisar, jabatan yang membawanya menjadi laksamana penjelajah samudra, termasuk menyambangi Kepulauan Nusantara,” begitu tulis Iswara N. Raditya dalam artikelPerjalanan Armada Laut Laksamana Cheng Ho ke Wilayah Nusantara”.

Cheng Ho melakoni ekspedisi samudra dari 1405 hingga 1433 bersama 307 rombongan kapal yang berkapasitas lebih dari 27.800 orang. Cheng Ho dititahkan oleh Kaisar Yongle untuk memperluas pengaruh Cina di negeri-negeri seberang lautan melalui perdagangan.

Pelayaran Cheng Ho dilakukan dalam 7 periode. Sebagian kalangan berpendapat dia turut pula meninggalkan jejak Islam di beberapa tempat yang disinggahinya, termasuk Nusantara. Karena itulah, komunitas muslim mengabadikan namanya bukan hanya pada literatur, cinderamata, atau pigura, melainkan juga tempat ibadah.

Tak heran bila sejumlah masjid di sejumlah kota di Indonesia memacak nama “Cheng Ho” di bawah atapnya, termasuk di Surabaya.

Perjumpaan Budaya Tionghoa dan Islam

Barangkali orang akan terkesiap memandang fasad bangunan Masjid Cheng Ho Surabaya. Sekilas, ia tak menampakkan fitur-fitur khas sebagaimana masjid yang lazim dikenal orang.

Masjid yang berdiri di Bilangan Gading Nomor 02, Ketabang, Kecamatan Genteng, Surabaya itu beratap melengkung membentuk persegi delapan, gentingnya berwarna hijau dengan dinding yang dicat merah dan kuning. Di bawah genting itu, bertengger lampion yang menyala sepanjang malam.

Kontras dengan fitur-fitur khas Cina itu, ukiran-ukiran kaligrafi arab menghiasi sejumlah dinding masjid. Juga ada lafadz “Allah” yang bertengger di puncak bangunan itu.

Untuk desain bangunan ini, kami meniru arsitektur Masjid Niu Jie yang ada di Beijing, Cina. Kami sengaja membuat seperti itu untuk mengenalkan komunitas Tionghoa pada publik,” ucap Ahmad Hariyono Ong, Ketua Takmir Masjid Cheng Ho, kepada kontributor Tirto, Selasa (28/1/2025).

Namun, desain yang demikian bukan hanya polesan belaka. Ada makna terpendam di balik bangunan itu. Menurut Hariyono, arsitektur bangunan sengaja dibentuk seperti itu untuk menunjukkan perjumpaan budaya antara Tiongkok dan Islam.

Dengan begitu, kaum muslim di Indonesia, khususnya Surabaya, dapat melihat bahwa orang tetap bisa menjadi muslim tanpa menanggalkan identitas etnisnya.

Perjumpaan budaya itu juga dapat dilihat pada bangunan utamanya yang memiliki luasan 11 x 9 meter. Angka 11 menyimbolkan ukuran Ka’bah pada saat pertama kali dibangun, sementara angka 9 melambangkan Walisongo—sembilan orang suci yang memiliki kontribusi besar dalam penyebaran Islam di Nusantara

Kalau 11 ditambah 9 itu kan jadinya 20. Nah, ini melambangkan 20 sifat wajib bagi Allah. Sedangkan, kalau 11 dikali 9 itu kan jadinya 99. Ini melambangkan nama baik Allah yang disebut juga dengan Asmaul Husna,” tambah Hariyono.

Merunut sejarahnya, Masjid Cheng Ho Surabaya didirikan oleh komunitas Cina muslim di Surabaya yang tergabung dalam organisasi Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Mulanya, Haji Muhammad Yusuf, pendiri PITI, memiliki keinginan membangun masjid yang dapat mengekspresikan komunitas Cina muslim di Surabaya.

Untuk itu, PITI menerbitkan buku Juz Amma edisi tiga bahasa—Arab, Inggris, Indonesia—untuk dijual ke khalayak umum. Keuntungan yang diperoleh dari penjualan itu lantas digunakan sebagai dana untuk membangun masjid.

Alhamdulillah keuntungan yang diperoleh saat itu mencapai Rp500 juta. Mulailah kemudian peletakan batu pertama di sini. Itu bertepatan dengan peringatan Isra Miraj tanggal 15 Oktober 2001,” kata Haryono menerangkan.

Pembangunan masjid itu rampung setahun kemudian, tepatnya pada 13 Oktober 2002.

“Itulah mengapa kalau setiap tanggal 13 Oktober itu diperingati sebagai hari milad [ulang tahun] masjid ini,” imbuhnya.

Masjid Cheng Ho kemudian diresmikan oleh Said Agil Husin Al-Munawar, mantan Menteri Agama RI, pada 28 Mei 2003. Bersamaan dengan itu, masjid ini memperoleh penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI) sebagai salah satu masjid yang memiliki arsitektur khas Tiongkok.

Masjid Cheng Ho SurabayaBatu peresmian Masjid Cheng Ho Surabaya yang ditandatangani oleh Menteri Agama RI pada 28 Mei 2003 (FOTO/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra)

Membina Kerukunan

Hariyono bercerita bahwa mayoritas penduduk yang tinggal di sekitar Masjid Cheng Ho adalah nonmuslim. Namun, alih-alih berlaku diskriminatif, mereka justru mendukung peribadatan dan berbagai kegiatan di masjid.

Merespons hal itu, pengurus dan jemaah masjid juga menunjukkan penghormatan. Mereka akan menghentikan kegiatan masjid bila masuk jam tidur malam. Lalu, setiap 10 hari sebelum mengadakan acara besar, semacam tabligh atau pengajian, mereka akan menginformasikan dan meminta izin pada penduduk setempat.

Tak jarang pula, mereka melibatkan penduduk sekitar bila mengadakan kegiatan atau acara. Salah satu contohnya adalah pada perayaan Imlek yang mereka adakan pada Minggu (18/1/2025).

Memang masyarakat di sini mendukung kegiatan kami. Acara Imlek pada tanggal seminggu kemarin, misalnya, kami memberikan angpau pada masyarakat Tionghoa di sekitar sini, entah itu muslim atau bukan. Banyak masyarakat yang antusias. Terhitung ada 2000 angpau yang mereka terima,” ungkapnya.

Terbuka Bagi Semua Orang

Masjid ini dominan warna merah. Karena menurut kaum Tionghoa, warna itu warna hokki (keberuntungan). Sementara, warna kuning emas melambangkan kedamaian dan untuk warna hijau pada atap ini melambangkan kedamaian,” ungkap Haryono sembari menemani saya duduk di pelataran Masjid Cheng Ho.

Pria yang memiliki nama asli Ong Kiem Shui itu berharap bahwa warna itu bukan hanya sebatas lambang, melainkan juga menjadi laku nyata bagi pengurus masjid ini.

Agaknya cukup mengherankan ketika tahu bahwa pada puluhan tahun silam, masyarakat Tionghoa dilarang mengekspresikan simbol etnisnya setelah terbit Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang larangan ekspresi agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa di ruang publik.

Setelah Gus Dur mencabut Inpres itu, mereka bisa kembali mengekspresikan simbol budayanya di hadapan publik. Itulah alasan masjid berasitektur Cina ini dibangun di era Reformasi, sebuah era ketika kebebasan berekspresi mulai dapat mereka rengkuh.

Masjid Cheng Ho SurabayaRelief Cheng Ho dengan kapanya di salah satu dinding Masjid Cheng Ho Surabaya (FOTO/Muhammad Akbar Darojat Restu Putra)

Mengadopsi nama Cheng Ho bukan hanya sebatas nomenklatur, melainkan juga teladan. Sekira 6 abad yang silam, Cheng Ho dijadikan kasim setelah ditangkap dan dikebiri. Namun, itu tak menjadikan harapan hidupnya menjadi terhenti. Dia justru menjadi pelayan kesayangan Pangeran Yan dan pada berkembangnya waktu ditunjuk menjadi komandan dalam tugas penjelajahan samudra.

Laiknya Cheng Ho, komunitas Cina masih ingin memupuk harapan, walau hak berekspresi mereka dikebiri. Namun, tak seperti Cheng Ho yang di atas lautan, harapan keberuntungan, kedamaian, dan kemakmuran itu mereka pegang di atas bumi yang terpijak ini.

Itulah mengapa masjid ini tidak memiliki pintu pada sisinya. Ini memiliki filosofi bahwa masjid ini menerima kelompok apa pun, tak peduli suku atau agamanya apa. Artinya, kami ingin merangkul semua kelompok,” pungkas Haryono.


tirto.id - News

Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu
Penulis: Muhammad Akbar Darojat Restu
Editor: Fadrik Aziz Firdausi

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |