Meluruskan Salah Kaprah Pelantikan Presiden & Wapres oleh MPR

4 weeks ago 6

tirto.id - Minggu, 20 Oktober 2024, presiden terpilih dan wakilnya, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akan resmi dilantik sebagai kepala pemerintahan anyar. Agenda pengambilan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden terpilih akan digelar di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta.

Namun, sejumlah pakar hukum tata negara memandang masih ada kekeliruan dalam proses pelantikan presiden dan wakil presiden. Pasalnya, MPR masih menerima mandat untuk melantik presiden dan wakil presiden. Padahal, setelah amandemen Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), kedudukan MPR dan presiden secara organisatoris harusnya sederajat.

Sejak 1999 hingga 2002, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen. Amandemen ini dilakukan dalam sidang umum maupun sidang tahunan MPR. Amandemen terakhir atau yang keempat, dilakukan pada Sidang Tahunan MPR 2002 untuk menyempurnakan perubahan-perubahan sebelumnya, termasuk penghapusan atau penambahan pasal atau bab di dalamnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai, setelah amandemen UUD 1945 sebetulnya adalah kekeliruan menyebut MPR yang melantik presiden dan wakil presiden. Pasalnya, kata Castro, superioritas MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat sudah dihapuskan dan menjadi setara dengan lembaga lain.

“MPR lembaga negara yang setara dengan lembaga-lembaga lain, jadi kalau disebut MPR melantik presiden [dan wakilnya] itu sebetulnya keliru,” kata Castro dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/10/2024).

Castro melihat, UUD 1945 setelah amandemen tidak lagi menjelaskan pelantikan presiden dan wakil presiden dilakukan MPR. Justru, ditegaskan pada UUD 1945 setelah amandemen bahwa presiden dan wakil presiden mengucapkan sumpah jabatan di hadapan MPR.

Hal ini mengacu pada bunyi Pasal 9 UUD 1945 berkaitan dengan sumpah dan janji presiden dan wakil presiden. Dalam pasal ini, disebutkan bahwa sebelum memangku jabatan sebagai presiden dan wakil presiden, keduanya harus bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MPR atau DPR.

Isi sumpah dan janji itu adalah komitmen untuk menjalankan pemerintahan negara dengan lurus dan adil, serta sesuai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Jika MPR atau DPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR yang disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA).

“Presiden hanya membaca sumpah di hadapan MPR, jadi MPR tidak melantik Presiden,” ucap Castro.

Di sisi lain, frasa MPR ‘melantik’ presiden dan wakil presiden malah ditegaskan di dalam Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam Pasal 33 disebut: “MPR melantik presiden dan wakil presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR.”

Lebih lanjut, Pasal 34 di UU MD3 justru menegaskan UUD 1945, yakni prosesi pelantikan itu adalah pengucan sumpah jabatan presiden dan wakil presiden yang dilakukan di hadapan MPR dalam sidang paripurna. Di Pasal 34 juga turut memperlihatkan bahwa dalam prosesi ini, MPR hanya berperan laiknya penyelenggara acara.

“UU MD3 yang keliru, kan, acuannya harusnya ke UUD 45. Bahwa presiden hanya diambil sumpahnya di hadapan MPR. Jadi MPR tidak punya kewenangan melantik,” jelas Castro.

Jika mengacu pada KBBI: frasa pelantikan berasal dari kata lantik yang berarti proses, cara, perbuatan melantik; upacara melantik. Pelantikan memiliki dua unsur: adanya pelantik dan yang dilantik. Jika salah satu tidak ada atau tidak melakukan prosesnya, maka tak terpenuhi maksud dan tujuan dari kata pelantikan.

Dalam lingkungan birokrasi, umumnya memang pelantikan dilakukan oleh pejabat tertinggi kepada pejabat di bawahnya. Sebagai contoh adalah pelantikan jabatan kementerian negara oleh presiden.

Maka, setelah amandemen UUD 1945, jika proses pelantikan dilakukan MPR untuk melantik presiden dan wakil presiden, secara tidak langsung ada kesan superioritas MPR. Menurut Castro, hal ini justru mengesankan bahwa presiden ada di bawah MPR.

“Kalau punya kewenangan berarti MPR lebih tinggi dong kedudukannya dari presiden,” ujar Castro.

Sebelum reformasi dan amandemen 1945, MPR memang terakhir kali mengangkat presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada 20 Oktober 1999 silam. Saat itu, Gus Dur langsung dilantik oleh MPR pada hari yang sama sekaligus melakukan sumpah jabatan.

Perkara Konsistensi

Direktur Eksekutif dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama, punya pendapat berbeda. Menurut Rizky, akar kekeliruan ini timbul karena tafsir pada frasa ‘melantik’ yang ditujukan kepada MPR. Jika melihat KBBI, kata dia, melantik bisa mendapat dua arti yakni mengangkat dan meresmikan.

Rizky menegaskan, memang keliru bila MPR melantik presiden dan wakilnya diartikan sama dengan mengangkat presiden dan wakil presiden. Arti paling tepat menurutnya adalah MPR meresmikan presiden dan wakil presiden.

“Maka yang dimaksud dalam UU MD3 adalah melantik dalam hal meresmikan presiden dan wakil presiden yang dalam pelaksanaannya itu dengan mengucapkan sumpah jabatan,” jelas Rizky kepada reporter Tirto.

Ia menilai pelantikan pejabat lainnya juga dilakukan dengan prosesi pengucapan sumpah di hadapan lembaga lain. Namun hal itu tidak otomatis membuat lembaga yang melantik dan dilantik memiliki kedudukan berbeda. Misalnya, kata dia, DPR dan DPD yang disumpah di hadapan Ketua MA.

“Apakah MA menjadi lebih tinggi dari DPR? Tidak, jadi itu hanya prosesi formal pengucapan sumpah,” terang Rizky.

Justru Rizky menilai, jika ingin konsisten, seharusnya presiden dan wakil presiden dilantik – dalam hal ini diresmikan – lewat sumpah jabatan yang dilakukan di hadapan Ketua MA. Ia menyatakan praktik ini sudah lumrah dilakukan di negara lain, misalnya Amerika Serikat.

Mesi melakukan sumpah jabatan di hadapan Ketua MA, tidak lantas presiden berarti ada di bawah Mahkamah Agung. Selain itu, kata Rizky, jika ini bisa dilakukan, maka akan sejalan dengan UUD 1945 setelah amandemen yang sudah menggerus superioritas MPR.

“Tapi sekarang saat konstitusi berubah, MPR setara dengan presiden, namun karena ada faktor historis mungkin itu yang jadi landasan kenapa harus MPR yang saat ini melantik,” ucap dia.

Menurut Rizky, sudah banyak akademisi yang mempertanyakan eksistensi MPR. Ia menilai bahwa MPR sudah tidak memiliki relevansi secara fungsi setelah adanya amandemen UUD 1945. Meskipun, kata dia, UUD 1945 masih menggolongkan MPR sebagai lembaga resmi.

Alasannya, MPR sendiri dipandang laiknya sesi bersama (join session) antara anggota DPR dan DPD. Di Indonesia sendiri, menerapkan sistem parlemen bikameral di mana hanya ada dua kamar yakni DPR dan DPD. Adapun MPR, hanya bertugas di dalam sidang-sidang yang memiliki kekhususan tertentu.

Padahal, sidang MPR itu sendiri adalah unsur anggota DPR dan DPD. Menurut Rizky, akan lebih efektif jika hal ini cukup dilakukan dengan sidang join session antara DPR dan DPD.

“Melihat fungsi dan kewenangannya hari ini, MPR tak relevan lagi disebut kamar [tersendiri] dalam parlemen atau lembaga negara tersendiri,” tutur Rizky.


tirto.id - News

Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz

Read Entire Article
Berita Rakyat | Tirto News |