tirto.id - PT BYD Motor Indonesia memastikan pembangunan pabrik mobil listrik berjalan sesuai rencana dan rampung pada akhir 2025. Pembangunan pabrik sesuai target ini juga menjadi komitmen manajemen kepada pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu produsen mobil listrik yang nantinya akan difokuskan kepada penjualan ekspor.
Sementara dalam rencananya, pabrik yang berada di kawasan industri Subang Smartpolitan, Subang, Jawa Barat ditarget akan mulai produksi pada awal 2026. Dengan kapasitas produksi kendaraan listrik mencapai 150 ribu unit per tahun.
“Kami sampaikan bahwa itu semua (pembangunan pabrik) on track, sesuai komitmen kami kepada pemerintah. Karena diskusi soal manufaktur, buat kami itu B2G (business to government) discussion. Tentunya komunikasi pelaporan kami terhadap pemerintah,” ujar Head of Marketing, PR & Government Relations BYD Motor Indonesia, Luther T. Pandjaitan, di Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Selain unit mobil, BYD juga berkomitmen untuk mengembangkan baterai untuk beragam kendaraan berbasis energi terbarukan, termasuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan kendaraan hybrid (Plug-in Hybrid Electric Vehicle/PHEV). Namun demikian, tak menutup kemungkinan BYD akan menggunakan baterai yang sudah dibuat pabrikan-pabrikan Tanah Air untuk memenuhi komitmen Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Perlu diketahui, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan, mobil listrik yang diproduksi di dalam negeri harus memenuhi TKDN 40 persen pada 2026.
“Itu jadi bagian komitmen yang harus kita penuhi. Komitmen kepada pemerintah. Bahkan, kita beberapa kali sudah melakukan business matching antara BYD dengan industri lokal,” sambung Luther.
Sebagai salah satu produsen mobil listrik sekaligus baterai di dunia, baterai jelas menjadi salah satu kebutuhan BYD. Meski begitu, untuk menggunakan baterai lokal perlu kajian lebih lanjut.
“Baterai adalah salah satu solusinya, tapi banyak kajian terhadap itu (penggunaan baterai produksi pabrikan Indonesia). Tapi kita itu belum, bukan tidak mungkin. Kalau memang itu solusi memenuhi TKDN dan adanya nilai tambah dari sisi industri di Indonesia, harusnya kenapa tidak?” kata dia.
Sementara itu, sebagai imbal dari komitmen investasi sebesar 1 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar Rp16,2 triliun, pemerintah telah memberikan beberapa kemudahan kepada produsen mobil listrik asal Cina tersebut. Beberapa di antaranya adalah bebas bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Mewah (PPnBM) impor mobil listrik jadi alias CBU (Completely Built Up). Dengan kebijakan ini, sejak Juni lalu BYD telah memasukkan beberapa model listrik, seperti BYD Seal, Atto 3 dan M6.
Sementara itu, pembangunan pabrik BYD dilakukan atas kesepakatan dengan PT Suryacipta Swadaya, pengembang dari Kawasan Industri Subang Smartpolitan pada Agustus lalu. Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan P. Roeslani, meyakini, masuknya BYD ke Indonesia akan memberikan nilai tambah industri dan memperluas penciptaan lapangan kerja. Adapun pengembangan fasilitas produksi mobil listrik dan baterai untuk jenis kendaraan hybrid ini dinilai akan membutuhkan sekitar 18.814 tenaga kerja.
“Investasi ini juga sejalan dengan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi karbon pada tahun 2060, atau mungkin diharapkan lebih cepat. Terlebih lagi saat ini perusahaan tidak hanya melihat pasar Indonesia yang cukup besar tetapi juga untuk pasar ekspor,” ucap Rosan, dalam keterangan resminya, dikutip Jumat (25/1/2025).
Bisa Pacu Pertumbuhan Mobil Listrik
Sementara itu, Pakar Otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus, menilai pembangunan pabrik BYD di Indonesia berpotensi besar memacu pertumbuhan industri EV di Tanah Air. Pada saat yang sama, investasi ini juga akan mendorong transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan ekosistem industri pendukung.
“Kehadiran pabrik BYD juga dapat meningkatkan persaingan dan mendorong pemain lain untuk berinvestasi lebih serius, serta menurunkan harga EV karena diproduksi secara lokal,” kata dia, kepada Tirto, Jumat (25/1/2025).
Perkembangan industri EV Indonesia memang menunjukkan tren positif, meski tertinggal jauh dibandingkan Cina, Eropa, Amerika Serikat, bahkan Jepang. Beragam insentif dari pemerintah serta mulai masuknya berbagai merek EV, terutama dari Cina dan Vietnam bahkan belum mampu membuat harga kendaraan EV, apalagi jenis hybrid di pasaran menjadi lebih murah.
Perlu diketahui, pada 2025 Kementerian Keuangan telah memberikan fasilitas berupa PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) 100 persen untuk mobil listrik impor, PPN DTP 10 persen untuk pembelian mobil listrik berbasis baterai atau battery electric vehicle (BEV) yang dirakit di dalam negeri (completely knocked down atau CKD), PPnBM 15 persen impor mobil listrik CBU dan CKD, serta insentif PPnBM sebesar 3 persen untuk mobil hybrid.
“Namun, untuk mengakselerasi pertumbuhan, insentif yang ada perlu dievaluasi dan ditingkatkan efektivitasnya. Fokus pada pengurangan harga EV agar lebih terjangkau, percepatan pembangunan infrastruktur pengisian daya secara masif, serta kemudahan perizinan menjadi krusial,” jelas Yannes.
Kapasitas produksi EV di Indonesia berpotensi mencapai ratusan ribu hingga satu juta unit per tahun dalam 5-10 tahun mendatang. Dus, penurunan harga EV bisa mencapai 20-30 persen bahkan lebih rendah. Pada 2024 setidaknya mobil-mobil ICE berbahan bakar fosil dapat dibeli mulai harga Ro100 juta. Sedangkan mobil listrik berkisar mulai Rp250 juta. Sedangkan produksi mobil listrik pada periode Januari-Juli 2024 sebanyak 15.659 unit dan 1,19 juta unit mobil ICE diproduksi di sepanjang 2024.
“Dipengaruhi oleh peningkatan skala produksi, lokalisasi komponen, insentif, dan tren penurunan harga baterai global yang diprediksi turun 5-10 persen per tahun. Hal ini akan mempercepat tercapainya paritas harga antara EV dan mobil ICE (internal combustion engine), yang diperkirakan terjadi pada 2028 hingga kisaran 2030,” tambahnya.
Sementara itu, strategi untuk meningkatkan kapasitas produksi kendaraan EV harus dilakukan dengan sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, industri, dan lembaga keuangan. Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat memperluas dan memperbesar insentif fiskal, seperti pembebasan pajak penjualan dan bea masuk komponen, serta subsidi langsung untuk menekan harga jual EV.
Pada saat yang sama, pemerintah daerah harus segera merealisasikan pembelian semua mobil dinas barunya dengan EV. Yannes mengatakan, harga yang sudah makin terjangkau memungkinkan pemerintah daerah membeli mobil listrik sesuai pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
“Percepatan pembangunan infrastruktur SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) secara masif dan merata, penyederhanaan perizinan, serta kampanye masif tentang manfaat EV perlu digalakkan,” ucapnya.
Sementara itu, industri perlu berinvestasi dalam riset dan pengembangan dalam kolaborasinya dengan perguruan-perguruan tinggi teratas di Indonesia. Selain itu juga perlu pula adanya kolaborasi dalam pengembangan ekosistem dan rantai pasok, termasuk dengan UMKM lokal. Untuk lembaga keuangan, perlu dilibatkan dalam mendorong adopsi EV oleh konsumen untuk menyediakan skema pembiayaan yang inovatif dan terjangkau.
“Pengawasan yang ketat dan konsisten untuk pemenuhan TKDN yang memastikan pembangunan industri komponen di dalam negeri harus dijalankan. Kemitraan strategis dengan pemain EV global untuk transfer teknologi dan peningkatan kapasitas produksi juga penting,” tegas Yannes.
Dengan target penjualan 450 ribu unit di tahun ini, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan ketersediaan infrastruktur ekosistem EV yang paling penting, yaitu SPKLU. Sayangnya, jumlah SPKLU yang dibangun dan dikelola PLN baru mencapai 2.015 unit hingga Agustus 2025.
Jumlah tersebut tak sebanding dengan penjualan mobil listrik yang dicatat Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) pada periode Januari-November yang mencapai 37.302 unit. Angka ini setara dengan 4,7 persen dari total penjualan mobil nasional yang mencapai 784.788 unit pada periode yang sama. Selain itu, dibanding periode Januari-November 2023, penjualan BEV mengalami lonjakan hingga 168 persen, dari sebelumnya hanya terjual sebanyak 13.916 unit.
“Penjualan mobil listrik bagus. Ke depan akan tetap meningkat seperti halnya (mobil) hybrid maupun PHEV,” kata Ketua I Gaikindo, Jongkie Sugiarto, kepada Tirto belum lama ini.
Seiring dengan tren pertumbuhan penjualan positif dan juga adanya target ambisius pemerintah, penyediaan SPKLU yang memadai harus menjadi komitmen tersendiri, baik bagi pemerintah maupun produsen kendaraan EV. Pun dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN yang juga harus mampu mengimbangi permintaan penyediaan listrik sampai ke rumah-rumah khusus untuk kendaraan.
“Kalau bicara untuk kendaraan, kan bisa untuk motor, bisa untuk mobil, dan bisa untuk kendaraan yang rodanya lebih dari 4. Nah, ini kan berarti kan kerja besar,” kata Pakar Otomotif, Bebin Djuana, saat dihubungi Tirto, Jumat (24/1/2025).
Dalam hal ini, penyediaan SPKLU tidak bisa hanya dilakukan oleh PLN saja. Pada tahun ini saja, jumlah pembangunan SPKLU diharapkan sudah terpasang sebanyak 4.300 unit, dengan PLN menargetkan pembangunan sebanyak 1.100 unit sampai akhir 2025.
“Harus ada pihak swasta yang dilibatkan. Dan SPKLU-nya juga seperti mobil listrik, dibuat di negara kita. Siapa yang mau investasi, bangun pabrik di sini, bikin SPKLU, gitu kan. Karena kebutuhan di negara kita banyak. Bisakah SPKLU misalnya menjadi kewajiban setiap dealer harus punya tempat charging?” tambah Bebin.
Selain itu, PT Pertamina (Persero) sebenarnya juga bisa masuk pada penyediaan SPKLU. Dalam hal ini, Pertamina dapat membangun SPKLU-SPKLU di setiap SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) sama halnya dengan yang telah diterapkan di Norwegia.
Pun, perbankan-perbankan yang memiliki cabang di setiap wilayah, bahkan sampai ke pelosok Indonesia. Hal ini, selain juga dapat membantu memperbanyak jumlah SPKLU, juga dinilai dapat menambah pendapatan, baik Pertamina maupun perbankan.
“Kenapa di tempat parkirnya tidak juga buat charging? Bayarnya ke bank yang bersangkutan. Kan new business buat banknya. Sudah terbayang tidak ke situ? Kira-kira seperti itulah ide dari saya,” tukas Bebin.
tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Anggun P Situmorang